Ipar dan Mertua Toxic

Ipar dan Mertua Toxic

Sri Muliawati

0

"Tuh jendela kotor sekali. Kalian ngapain aja? Di tinggalin dua bulan rumah kaya rumah kosong, katanya teras juga jarang di pel. Pindah aja sana!" Mamah dengan nada marah membawa sapu dan lap pel. Aku tahu ini jam 2 siang, tapi beliau ribut untuk bersih - bersih, ngepel lantai dan beres - beres. 

Aku hanya bisa menarik nafas berat, ingin sekali aku menjelaskan bahwa aku sedang mengandung, dimana usia kandunganku baru dua bulan atau 8 minggu yang sedang lemah - lemah nya, kepala pusing dan muntah - muntah. Makanan gak ada yang masuk kecuali buah - buahan. 

"Sabar aja!" Rian, suamiku hanya merespon sebisanya. Dia juga gak bisa berbuat atau bertindak apapun untuk merubah sifat ibunya itu. 

"Namanya juga orangtua. Dengerin aja, kalau kamu salah jadikan intropeksi tapi kalau kamu benar, enggak salah, ya udah jawab sebisanya." Katanya lagi. 

Aku sadar diposisi sekarang memang salah, tapi ucapannya kasar sekali. Harapan terbesar ku adalah punya rumah atau setidak nya suamiku memutuskan mengontrak untuk menyehatkan batinku. 

Pada kenyataan nya suamiku bukan lah karyawan pabrik yang gajinya besar, atau pengusaha yang punya income besar. Dia hanya pekerja buruh biasa. Dia bekerja di tempat pamannya menjaga toko. Gajinya tidak seberapa, gak mungkin sanggup membawa ku pergi berpisah dari orangtuanya. Katanya sih begitu, setiap aku meminta pisah tempat tinggal alias mandiri, jawabannya selalu belum mampu dan menyuruhku bersyukur saja dengan apa yang ada. 

Bagiku memang aku harus bersyukur, tapi karena kerja jadi dia tidak pernah tahu ibunya kaya apa, Lisannya itu perlu sekolah lagi. 

***

"Rifda, kamu bisa naik motor kan? Antar mamah!"

"Kemana? Ayo!" Aku yang sedang duduk santai siang itu hanya menurut saja.

Aku pergi ke kamar mengambil kerudung dan kunci motor. 

"Pokoknya lurus aja ikuti jalan, nanti kalau mamah suruh berhenti ya berhenti!" 

"Oke!" Jawabku.

Aku membawa motor santai, pelan tidak ngebut pun tidak juga. Aku hanya perlu menurut saja tanpa ingin tahu kemana , itu urusan beliau. 

Kurang lebih 30 menit melaju, mamah tiba - tiba menyuruhku belok ke dalam gang kecil dan berhenti di depan rumah besar. 

"Mah, aku tunggu disini ya!" 

Mamah tidak merespon, beliau masuk ke dalam setelah mengetuk pintu dan di persilahkan masuk.  

"Rifda sinih, ikut!" Mamah akhirnya melambai dari arah dalam. Aku turun dari motor dan masuk ke ruangan. 

Aneh, iya aneh, aku merasakan hawa yang aneh saja. Tidak seperti rumah kebanyakan rumah yang hawa nya biasa saja. Tapi aku berusaha bodo amat lalu duduk santai menemani mertuaku ini.

"Tadi saya udah tuliskan ya bacaannya, dibaca saja setiap malam jumat dan jangan lupa sambil nyalakan lilin, sebut saja namanya 7 kali." Seorang bapak - bapak duduk di kursi sebrang sambil menyodorkan kertas pada mamah mertuaku. 

Aku tebak si umur nya sudah diatas 50 tahunan. Sesekali aku risih karena orang itu selalu melirik ke arahku. 

"Mantu?" Tanya nya tiba - tiba menunjuk ke arahku.

"Oh iya pak. Ada apa ya?"  Mamah menjawab seperti gelagapan, karena pandangan bapak itu serius sekali ke arahku.

"Hati - hati. Kandungan nya harus di jaga ketat ya, jangan stres." Katanya, sesekali melihat ke arahku. 

"Tapi, sepertinya janin nya tidak akan bertahan!" Katanya lagi, namun kali ini agak sedikit berbisik ke arah mamah dan aku cukup 

Aku mengangguk pelan, tanpa tahu kenapa bapak itu bisa tahu aku sedang mengandung. Setelah mamah selesai dengan urusannya, kita pun pulang kembali. 

"Dengar tadi? Kandungan kamu itu lemah, kalo emang bakal gugur, mending dari sekarang aja kamu kerumah sakit, daripada nanti - nanti. Sama saja, mumpung mamah disini belum berangkat kerja lagi, jadi ada yang nemenin ke rumah sakitnya!" Kata Mamah tiba - tiba saat kita tiba di rumah. 

JLEBB...

Aku mendengar apa barusan? Pidato kah? Atau ceramah kah? 

Aku tidak paham apa maksud nya tapi aku bisa menyimpulkan bahwa beliau bukan orangtua yang baik. Mana ada orangtua se- enteng itu mengatakan hal tersebut. Akh, aku sudah tidak sanggup meresponnya lagi, aku juga tidak sudi mendengar kan omongannya tadi. Aku langsung ke kamar, merebahkan diri. 

Nah, setelah itu aku tahu dari suamiku bahwa rumah yang tadi Mamah datangi adalah rumah nya orang pintar didesa kita ini. 

"Tadi kamu kesana ngapain?" Tanya suamiku, malam - malam setelah dia pulang bekerja, aku bercerita padanya.

"Aku tidak tahu, aku hanya nganter Mamah dan nunggu diluar." Jawabku bohong. 

"Oh, ya sudah palingan mau nanya - nanya soal kerjaan. Mamah memang begitu, pengen praktis, nanya ke orang pinter padahal aku udah berusaha negur bahwa cara itu gak baik. Makanya Mamah gak pernah minta anter ke aku."

"Tahu gitu, aku juga berusaha nolak buat nganter, tapi aku sama sekali gak tahu sebelumnya mas!" 

"Ya sudah, tidur gih. Udah malam, aku sih capek, duluan yaa!" Setelah mengecup tipis keningku, dia berbalik badan dan tidur.  

Awalnya memang aku tidak ingin tahu, tapi karena kata - kata Mamah terus berputar di kepalaku, jadinya aku bercerita dan bertanya pada suamiku dan jawabannya cukup mengagetkan.

"Kalau memang dia orang pintar wajar sih dia bisa tahu aku lagi hamil. Tapi kata - kata Mamah itu, apa jangan - jangan maksudnya itu aku akan keguguran?" Batinku. Sebelum tidur bahkan aku stres gak karuan. 

"Kalau aku akan keguguran, trus buat apa vitamin dan susu. Ya tuhan aku belum siap. Aku ingin bayi ini. Ekh, Astagfirullah, kenapa aku ini. Aku gak boleh terpengaruh sama omongan siapapun. " lagi - lagi batinku ramai sendiri. 

Se - Toxic itu mertua ku, satu baris ucapannya saja sudah membuat aku stres, belum lagi urusan pekerjaan rumah. Gak bisa lihat debu sedikit saja. Akhhhh....

"Kamu kok belum tidur?"

"Hah??" 

Aku kaget karena suamiku ternyata memperhatikan aku dari tadi. Aku pikir dia tidur.