Intuisi

Intuisi

Agung Pangestu

4.4

Adakah cinta yang tidak menyakitkan?

Mungkin pertanyaan itu hampir sama dengan: “Adakah garam yang tidak asin?” Cinta dan sakit adalah sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Saling mengikat satu sama lain untuk membentuk keberadaan yang lainnya. Setidaknya, itulah yang telah kurasakan dua bulan, dua minggu, dan tiga hari belakangan ini. Membiarkan lara dan cinta terus menari bersama di mata dan kepala. Mengetahui hati yang paling dicintai tak akan pernah bisa dimiliki.

Jika ada satu permintaan yang bisa dikabulkan oleh semesta, maka aku hanya minta satu. Yaitu menukar waktuku dengan dia, Maya. Seorang perempuan yang luar biasa. Dia mungkin tidak punya segalanya, namun dia punya sesuatu yang rela kutukar dengan segalanya, yaitu kamu. Dalam seluruh waktu Maya, ada kamu di dalamnya.

Jika bisa, ingin sekali esok pagi aku terbangun dengan mata milik Maya yang katamu seindah mentari senja, tersenyum dengan bibirnya yang katamu semenawan pelangi usai luruhnya hujan, atau mengibaskan rambut milik Maya yang menurutmu bagai ombak yang telah lama membawamu terhanyut. Maya punya semuanya untuk menambatkan hatimu dan aku punya semuanya untuk setengah mati iri padanya.

Maya yang merupakan seorang model tentu memiliki rutinitas luar biasa. Aku menduga, pagi hari adalah waktu Maya untuk menjaga tubuhnya dengan berlari di treadmill. Lalu dilanjutkan dengan meminum susu, orange juice, dan mungkin beberapa vitamin. Setelah itu, Maya baru mandi untuk merawat kulitnya yang sempurna. Namun, aku tahu dalam runtutan kegiatan itu pasti Maya masih menyempatkan diri untuk melihat telepon selulernya. Mengecek adakah pesan masuk atau telepon darimu yang lupa tidak ia angkat. Kemudian senyumnya merekah indah ketika mengetahui ada satu pesan masuk darimu. Ia pasti menekan tombol dengan dada berdegup merdu.

“Selamat pagi, Sayang. Apakah semalam kamu memimpikan aku?”

Mungkin begitu caramu menyapanya di pagi hari.

Aku pun suka dengan cara Maya mencintaimu. Aku suka cara Maya menuliskan sesuatu di dinding  Facebook-mu: “Kesatriaku, tak lelahkah kamu menyesaki pikiran dan imajiku?” kemudian kalian saling berbalas komentar di dinding tersebut. Kalimat-kalimat manis sekaligus romantis yang mungkin membuat sebagian orang yang membacanya jengah. Namun bukan aku. Aku membaca semua komentar kalian di dinding Facebook-mu dengan hati bahagia meskipun tidak pernah ikut berkomentar karena aku sangat tahu diri.

Secara sembunyi-sembunyi aku juga sering melihat semua foto kalian berdua di sana. Foto saat liburan, saat di kafe, saat di dalam mobil, saat jalan-jalan atau saat Maya datang ke kantor. Dari semua gambar itu, aku paling suka dengan cara Maya melampirkan tangannya di pundakmu. Kemudian pundakmu terlihat goyah menerima rangkulan tangan Maya seperti ada berton-ton cinta yang ia transfer di sana.

Dalam dinding  Facebook itu aku juga sering membaca status-statusmu yang selalu kau sempatkan men-tag Facebook milik Maya. Mulai dari status kangen, status sayang yang melimpah ruah, status yang kausadur dari pujangga ternama atau segala momen yang tidak ingin kau lewati tanpa ada Maya di sana. Bagi orang yang sedang dimabuk cinta, maka orang lain tak ubahnya penonton. Dan aku sudah lama jadi penonton yang setia untuk kalian.

Aku suka dengan cara Maya mencintaimu. Aku suka dengan cara Maya me-retweet semua statusmu di Twitter yang kemudian akan ia balas dengan kalimat singkat atau hanya sekadar emoticon. Dan betapa banyak status kalian satu sama lain yang kalian jadikan favorit. Aku membaca semuanya dengan tersenyum sambil menahan getir yang entah kenapa menyusup di dada. Sama seperti yang lain, aku tidak pernah ikut berkomentar, hanya sekadar melihat betapa kalian bergelimpangan bahagia dan cinta. Sesuatu yang sepertinya tidak pernah bisa kumiliki.

Aku hafal jam berapa kamu akan menjemputnya di depan rumah. Aku hafal senyuman Maya yang ia berikan seutuhnya padamu ketika tahu kamu tepat waktu menjemputnya. Aku hafal rengutan Maya yang ia berikan padamu ketika tahu kamu terlambat menjemputnya. Aku hafal gerakanmu membukakan pintu mobil untuk Maya seorang, bagai menyilakan seorang putri memasuki kuda kencana

 Di dalam mobil kalian mungkin bisa bercerita tentang apa saja. Mulai dari harga solar yang terus naik, acara televisi yang makin tidak jelas, film Holywood yang akhir bulan rilis, atau kembali bercerita tentang cinta kalian yang makin membludak. Aku tahu, di sana pasti tangan kalian berdua tak pernah terlepas. Sambil sesekali Maya menepuk dadamu perlahan ketika kamu terlalu ngebut atau Maya yang meremas tanganmu ketika tahu kamu terlalu lamban menggerakan mobil. Semuanya terpatri indah di dalam sana.

Adakah cinta yang tidak menyakitkan? Sepertinya tidak ada.

Aku tetap suka cara Maya mencintaimu. Cara Maya memanggilmu manja “Ndut”, cara Maya mencuri perhatianmu, cara Maya marah dengamu, cara Maya kangen denganmu, cara Maya memalingkan wajah ketika tahu kamu tidak memanggilnya dengan benar, cara Maya menggengam tanganmu atau cara Maya mencium mesra pipimu. Aku suka bagaimana Maya menghargai sesuatu yang tidak pernah bisa kumiliki, yaitu kamu. Seharusnya aku membenci Maya setengah mati karena ia sanggup memiliki sesuatu yang paling kuinginkan, namun entah kenapa aku tidak bisa. Tapi aku tetap suka bagaimana Maya memilikimu dengan berbagai cara miliknya. Sesuatu yang sepertinya hanya akan bisa singgah di sudut pikiranku.

Aku ingat tanggal berapa kalian bertemu, tanggal berapa kalian mulai berhubungan, tanggal  berapa kalian merayakan ulang tahun satu sama lain, tanggal berapa kalian pergi bersama, tapi yang pasti, aku selalu ingat kalau aku tidak pernah ikut serta dalam momen itu. Aku selalu menjadi penonton yang setia. Duduk di kursi yang sama selama dua bulan terakhir ini. Melihatmu dibatasi antara realita hubungan kerja dan keinginan terdalam untuk memiliki. Itu sangat menyiksa, jika kau ingin mengerti. Selama lima hari dalam seminggu, selama Sembilan jam dalam dua puluh empat jam, kau akan selalu berada di radius jangkuanku. Namun, meraihmu bahkan menyerupai meraih bintang jatuh. Indah, mustahil, sekaligus menghancurkan.

 

***

 

Tidak biasanya, tiga puluh menit sebelum jam lima pagi, mata sudah terbuka dengan lebar. Namun sepertinya aku mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah kuketahui sendiri tentang jawabannya. Hari pertama kerja tentu tidak bisa dilewatkan dengan memberikan kesan yang buruk. Bahkan setelah rapi, aku harus rela melewatkan sarapan milikku. Hanya demi bisa mengejar taksi dan tidak terjebak macet. Seandainya saja abangku tidak berangkat ke Jogja untuk menemui Bapak, mungkin aku bisa memakai jasanya untuk mengantarkanku di hari pertama ini. Namun sayangnya, Abang sudah berangkat dua hari yang lalu. Dan hari pertama kerja, harus aku hadapi sendiri.

Setelah berada di dalam taksi, entah kenapa jantungku berdebar tidak karuan. Bukan hanya karena ini adalah hari pertama kerja, namun karena aku akan bertemu pertama kali dengan pemimpin perusahaan advertising ini. Argani... aku terus mencoba merapal namanya di dalam hati. Agar pertemuan pertama nantinya, aku tidak salah menyebut nama pimpinanku sendiri. Apalagi pada saat interview kerja, Pak Argani malah mempercayakan wawancara kerja pada seorang account director bernama Grace. Pada akhirnya aku diterima meski aku yakin alasannya bukan hanya karena kualifikasi yang aku miliki—sebelumnya aku bekerja sebagai teller bank, melainkan karena perusahaan tersebut memang sedang benar-benar membutuhkan copy writer.

Pak Argani menjadi semacam momok tersendiri di tempat ini. Setidaknya, itulah yang kudengar ketika pertama kali mencoba mengetahui tentang seluk beluk tempatku bekerja. Pak Argani adalah seorang pria yang menjadikan  perusahaan advertising bernama Inspirasi ini bisa besar seperti sekarang. Pria yang baru berusia 27 tahun itu padahal seringkali dipandang sebelah mata oleh banyak pihak yang sudah lebih senior di bidang advertising. Tapi menurut yang kudengar, perusahaan advertising miliknya bisa sampai di titik ini juga gara-gara sifatnya yang visioner dan tegas. Sesuatu yang membuat sebagian orang menganggapnya galak. Bahkan katanya, Rani, karyawan copy writer yang kugantikan, resign karena sudah tidak tahan lagi dengan sifat dari Pak Argani. Sesuatu yang membuatku cukup gentar juga.

Untungnya di hari pertama kerja, aku ingat betul, Tania hadir dengan keramahannya. Pertemuan pertama kami terjadi di lantai dasar kantor. Wajahnya yang terlihat ramah dan juga selalu tersenyum membuat siapa saja langsung menjadi akrab dengannya.

“Lo Niken, kan? Junior copy writer yang baru?” tanya Tania waktu itu sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku.

“Iya, Mbak,” jawabku berusaha seramah mungkin.

“Jangan panggil mbak dong! Gile aja, eike tuh belum kawin bo! Punya pacar aja belon. Panggil Tania aja.” Aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya.

“Ini hari pertama lo kerja kan?”

Tania sepertinya bisa melihat dengan jelas kegugupan dari wajahku. Aku hanya bisa mengangguk pelan saja.

“Tenang aja, nanti gue dan tim bakal bantuin kok. Kita kan satu tim.”

“Terima kasih ya, Tania,” jawabku tulus.

Sepertinya keberuntungan memihak padaku karena bisa satu tim dengan Tania di perusahaan ini. Apalagi setelah melihat sifat Tania yang begitu ramah. Perusahaan ini sendiri punya berbagai tim, di mana biasanya sebuah tim terdiri dari seorang art director, copy writer, dan seorang junior copy writer seperti posisiku saat ini.

“Tania, aku mau tanya, emang benar Pak Argani itu galak?”

Mendengarnya, Tania malah terbahak.

“Lo adalah orang kesekian yang bilang seperti itu. Nggak kok, Pak Arga nggak galak, dia cuma kanibal. Suka makan orang!” jelas Tania dengan lantang.

“Hah?!”

Tania segera terbahak dengan keras, “Just kidding. Don’t be so serious. Boleh dibilang, Pak Arga itu orang yang nice banget nggak juga sih, intinya dia keras dan tegas terhadap apa yang dia yakini dan apa yang dia mau,” jelas Tania.

Langkah kaki kami mendadak terhenti ketika di depan pintu lift kantor terdapat seseorang yang terlihat sedang push up.

“Doni, lo kena lagi?” tanya Tania dengan segera.

Sedangkan orang yang sedang push up tersebut segera mendongak mendengar pertanyaan itu, “Apes lagi gua, Tan. Tadi sebelum masuk lift ketemu Pak Arga dan dia tahu kalo gue belum mandi. Ya kayak beginilah hasilnya. Penciumannya emang udah kayak anjing herder.”

“Itu sih bukan penciuman Pak Arga yang kayak herder, tapi bau lo aja yang emang udah kayak ikan mujair. Gua dan Niken aja bisa nyium bau lo dari radius 1 km. Ya kan, Ken?” Tania melirik k earahku dan kubalas dengan angguk pelan saja.

“Ya maklumlah, Tan, semalam ada Liga Champions,” jelas Doni sambil tetap melanjutkan push up. Terus pandangan mata dari Doni beralih ke arahku, “Lo anak baru ya? Yang katanya pindahan dari Jogja? Cakep juga....”

Hush! Anak baru nih. Mata lo emang gak bisa lihat yang rada beningan dikit. Kenalannya nanti saja kalo lo udah selesaian tugas militer loh tuh. Bisa-bisa ditambahin jadi wajib militer, mau lo?” Gertakan dari Tania langsung membuat Doni terlihat menciut. Membuat aku dan Tania segera bisa masuk ke dalam lift.

“Tugas militer?” Aku bertanya dengan nada penasaran ketika pintu lift menutup.

Tanpa perlu melihat ke arahku, Tania segera tertawa terbahak. “Itu cuma sebutan anak-anak di sini tentang level hukuman yang dikasih sama Pak Arga.”

“Ada levelnya juga?”

“Level pertama tuh ‘Tugas Militer’ hukumannya paling cuma sit up atau push up kayak Doni tadi. Level kedua, anak-anak di sini nyebutnya ‘Wajib Militer’, hukumannya bisa disuruh lari muterin kantor ini sampai sepuluh kali. Dan level paling amsyong tuh, ‘Perang Militer’, bisa-bisa disuruh ngepel seluruh kantor ini.” Penjelasan yang diberikan oleh Tania hanya bisa membuatku menarik napas berat. Membuatku mulai mengerti alasan dari karyawan lama yang memilih untuk resign dari kantor ini.

“Tenang aja, kalo lo nggak berbuat salah, maka nggak ada yang perlu lo khawatirin.”

Pintu dari lift segera terbuka. Karena masih pagi, sepertinya kesibukan masih belum terlihat kentara di ruangan ini. Hanya terlihat beberapa orang yang mondar-mandir membawa secangkir kopi. Tidak seperti kondisi di ruangan lantai dasar yang lebih rapi dan tenang, di ruangan ini ternyata terlihat lebih kreatif dan juga tidak terkesan kaku.

“Itu meja lo, Niken,” tunjuk Tania pada salah satu meja yang dilengkapi dengan komputer dan sebuah kursi. “Karena kita satu tim, meja kerja lo di sebelah gue. Jadi, kalo lo mau nanya apa-apa, jangkan sungkan-sungkan. Siapa tahu kita bisa sekalian ngerumpi,” jelas Tania sembari bercanda.

“Thanks ya, Tan. Kalau boleh tahu, ruang kerja Pak Arga di mana ya? Aku harus ketemu sama dia dulu.”

“Tuh!” ujar Tania menunjuk pada sebuah ruang kerja yang tertutupi kaca putih.

Aku meninggalkan Tania dengan perasaan yang campur aduk. Meski harus akui, perasaan gugup lebih mendominasi. Setelah membuka pintu ruangan tersebut dengan hati-hati, tampak seorang pria yang sedang sibuk menatap layar komputer dari tempat duduknya. Ada dua poster besar yang tertempel di dinding ruangannya. Masing-masing bergambar band The Beatles dan satu lagi gambar Superman. Gambar yang cukup untuk mengintimidasiku dalam sekali waktu.

“Selamat pagi...” Suaraku yang terdengar tercekat membuat Pak Arga segera mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku seperti kehilangan satu atau dua denyut jantungku ketika matanya segera menatapku.

Pak Arga lantas segera bangkit dari tempat duduknya. “Kamu junior copy writer yang baru, kan?”

“Niken.”

Aku masih ingat betul kata pertama yang kuucapkan di hadapanmu.

Kemudian kau tersenyum sambil mengulurkan tanganmu. “Arga. Selamat bergabung di Biro Iklan Inspirasi. Grace sudah ceritain tentang kamu. Sori ya, kemarin hanya bisa lewat telepon.” Entah kenapa, suaranya yang berat membuatku teringat pada aktor favoritku Alec Baldwin.

Aku hanya bisa mengangguk saja.

“Dan siap-siap untuk sibuk, karena kantor kita sudah banyak proyek yang ngantri untuk dikerjain.”

Ya, terima kasih atas pemberitahuannya. Karena ternyata kau benar, aku memang langsung sibuk. Bukan memikirkan proyek baru ataupun media campaign. Namun aku segera sibuk memikirkan cara terbaik untuk melupakan wajahmu yang sudah terpatri dalam sekali.

Arga... seharusnya kamu memberitahuku pada saat itu juga bahwa kamu telah punya Maya. Sehingga aku bisa membunuh perasaan itu detik itu juga. Tidak perlu menunggu dua hari kerja untuk kemudian baru mengetahui bahwa kau tak lagi sendiri. Bahkan aku mengetahuinya dari rekan kerjaku, yaitu Tania, bukan dari mulutmu sendiri.

“Maya?” tanyaku waktu itu, dengan sekuat tenaga menutupi keterkejutanku yang membludak.

“Ya, Maya Anastasia. Pacarnya Pak Arga. Yang model itu loh.” Penjelasan Tania entah kenapa membuat dadaku terasa nyeri.

“Sudah berapa lama?” Dengan bergetar aku bertanya.

“Hampir tiga tahun. Kayaknya sebentar lagi mau married deh. Ketutup deh udah kesempatan kita buat bisa ngegaet bos kita sendiri.”

Kalimat dari Tania masih seringkali berdengung di kepalaku hingga sekarang. Ternyata rasanya lebih sakit mengetahui kenyataan itu dari mulut orang lain. Meskipun seharusnya aku tahu, kau tidak memiliki keharusan apa pun untuk mengungkapkan hal tersebut. Namun mungkin memang beginilah rasanya cinta sendiri. Manis, pahit, bahkan getir pun harus dirayakan dalam keheningan. Sedangkan orang yang kaucintai merayakan cinta yang gemilang bersama dengan cahaya yang lain, cinta yang lain. Maya.

 

***

 

Dan setelah hari-hari itu, tak pernah sekali pun aku alpa untuk membuka sosial media milik kalian berdua. Aku ingin semakin tahu di mana perasaan cinta telah membawa kalian berdua. Walaupun seharusnya aku menyadari hal itu tak ubahnya menggali sumur sakit hati di dadaku sendiri. Tapi entah kekuatan macam apa atau bahkan kebodohan macam apa yang membuatku tidak ingin berhenti mencari tahu. Membuka informasi segala sesuatu yang berhubungan dengan kalian berdua. Membuat perasaan iri dan cemburu itu semakin perlahan-lahan menggerogotiku dari dalam. Diam, namun menghancurkan.

Jika saja bisa, maka aku ingin menukar waktuku dengan waktu milik Maya. Satu hari saja. Maka aku akan menyerahkan segala yang kupunya. Aku akan menjelma menjadi sesuatu yang selama ini selalu kaurindu dan kautunggu. Aku bisa marah, merengut, kangen, benci, menampar, mencium, dan memeluk kamu setiap waktu. Tanpa perlu lagi berlindung dalam bayang-bayang. Aku bisa menghabiskan jutaan detik tanpa perlu merasa penat, asalkan di samping kamu. Menjadi sesuatu yang selalu berada dalam radius jangkauanmu. Maka aku hanya minta satu hari yang dimiliki Maya. Entah itu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, atau Minggu. Tidak ada bedanya. Karena setiap hari kalian selalu menghabiskan waktu bersama.

 Adakah cinta yang melepaskan demi dia bahagia? Barangkali ada.

 Mungkin terdengar naif namun aku mengalaminya. Aku merasakannya ketika melihat kamu begitu bahagia berada di samping Maya. Kamu terlihat begitu kepayang ketika menyediakan bahumu untuk Maya bersandar. Kamu terlihat begitu hidup ketika Maya menopang langkahmu. Kalian begitu sempurna. Saling mengutuhkan satu sama lain. Dan mengetahui kalian bahagia, maka deraku perlahan merayap pergi. Meski belum sepenuhnya kuyakini, namun aku sanggup menerimanya. Menerima kalau Mayalah yang kaupilih untuk berada di sampingmu, menerima kalau egoku tak pernah sebesar cinta milik kalian, menerima kalau kalian tak pernah terpisah, menerima kalau kalian adalah belahan jiwa, soulmate.

Aku masih ingin terus di sini. Menjadi penonton setia dari kalian. Mengagumi sesuatu yang tak pernah bisa dimiliki. Menjadi Niken yang selalu bermimpi bisa menjadi Maya.

 

***