“Dari jalan-jalan sepi di pagi yang dingin, Jack The Ripper membangkitkan kutukan di permukiman kumuh Whitechapel. Semua orang pasti tahu siapa Jack The Ripper. Pembunuh itu telah menjadi legenda dan sejarah yang paling kelam. Tapi, bagaimana jika anak dari pembunuh peniru yang terkutuk, The Cursed Ripper ada di kampus kita?”
Ceisya Kama menyergap lengan laki-laki di sebelahnya, Hansa Alsaki begitu suara pembawa acara YouTube “The Horor Story” dari UKM Radio Reswara berubah menakutkan. Hansa sendiri tak berkutik, meski Ceisya dengan geram berbisik akan memukul kepala si pembawa acara yang tega menakuti penonton. Wajar saja, perempuan itu penakut dan mudah goyah dengan nada suara orang yang bergetar seakan baru melihat hantu. Sisi baiknya Hansa bukan penakut dan Ceisya harus beruntung karena ia bersedia berdiri melindunginya selama sesi “nonton bersama” yang memuakkan ini.
“Kita berhenti aja, deh,” pinta Ceisya lantas melempar sorot matanya yang pucat ke arah Yardan Bayanaka dan Jibran Parama, dua manusia sok pemberani yang menjadi pelopor sesi “nonton bersama” ini.
“Tanggung! Lo penakut banget, sih.” Jayden Pranaya yang tak diajak bicara justru melotot dan kembali menaruh fokus pada layar laptop Hugo.
Hugo Wistara mulai kesal laptop barunya disabotase untuk menonton acara horor, tapi nahas ia tidak bisa melakukan apa-apa, selain menenangkan Hanelle Bimala tentunya. Cleon Harisson yang menyadari situasi ini mendadak cemas. Sebagai laki-laki tertua yang dituntut memahami anak-anak kelas, ia sangat tahu ada banyak anak perempuan yang takut pada cerita-cerita menyeramkan. Salah satunya Sasmita Mayra, kekasihnya. Kendati jari-jari dan hatinya menjadi hangat di cuaca sedingin ini karena terus digenggam oleh Mayra, ia tak dapat menampik kenyataan kalau acara “nonton bersama” ini merupakan kesalahan.
“Pada episode 378 sore ini, The Horor Story akan membawakan sebuah cerita horor yang merupakan kisah nyata! Sobat Horor pasti tahu The Cursed Ripper, kan? Pembunuh berantai asal Indonesia yang meniru aksi Jack The Ripper, legenda pembunuhan berantai di Inggris tahun 1888. Identitas Jack The Ripper baru terungkap satu abad kemudian. Hal ini karena penyelidikan polisi di tahun 1888 masih belum secanggih sekarang. Di era itu belum ada teknologi CCTV, tes DNA, dan lain-lain. Inilah sebabnya Jack sangat sulit ditangkap dan akhirnya menjadi pembunuh berantai paling legendaris!”
Enzi Halyna, anak perempuan paling mungil di kelas meringkuk ketakutan di pojok kelas bersama Tarendra Marcio. Laki-laki itu selalu menjaga Enzi dengan jantan dan ini membuat Sonya Yamuna iri setengah mati. Pasalnya Jayden malah duduk di depan, bukan melindunginya yang gemetar. Dasha Karenina pun bernasib sama. Ia melihat laki-laki yang menjadi teman dekatnya beberapa bulan ini malah sibuk membaca buku di sudut kelas.
Jero Yudhistira, mahasiswa terpintar yang mengekori Yardan di posisi dua itu tidak menanggapi permintaan Dasha untuk menemaninya. Jero lebih takut pada daftar mata kuliah di semester satu ini daripada cerita horor yang sedang mereka tonton bersama. Dasha hanya bisa maklum karena paham betul ambisi terpendam Jero untuk mengalahkan Yardan.
“The Cursed Ripper seharusnya kurang beruntung karena beraksi di zaman yang sudah modern dan canggih ini. Tapi, penangkapannya yang misterius menjadi penyebab namanya sangat terkenal. Bahkan, identitasnya dirahasiakan sama polisi dan sidangnya pun nggak disiarkan oleh stasiun televisi. Ini aneh dan misterius banget, kan? Kita sebagai warga sipil hanya tahu kalau The Cursed Ripper sudah membantai tujuh korban! Lebih banyak dari Jack The Ripper yang hanya lima. Namun, masalahnya penjelasan tentang korban dan tragedi pembunuhan itu nggak dipublikasikan ke masyarakat.”
Keenan Juani merasakan perutnya tiba-tiba mulas. Penuturan sang pembawa acara yang sudah menakutkan itu masih disempurnakan dengan lagu bernada seram dan kumpulan foto-foto mengerikan. Acara itu menampilkan potret dari laman “Pembunuhan Berantai The Cursed Ripper” yang hanya tersebar di website ilegal. Yasa Kalingga mulai keheranan dan khawatir karena seharusnya UKM yang didukung oleh universitas seperti Radio Reswara ini tidak menampilkan konten ilegal. Selena Xavia juga memikirkan hal yang sama dengan Yasa dan berniat memberitahu Yardan. Akan tetapi, Yardan sudah lebih dulu menyadarinya.
“Nggak apa-apa,” kata Yardan terlihat seakan ia bersikeras melanjutkan sesi “nonton bersama” ini. “Bukan urusan kita. Mereka yang nanti akan kena masalah.”
Begitu Yardan buka suara, tidak ada anggota kelas yang berani menghentikan sesi ini lagi. Siaran live itu kembali mengikat atensi semua anggota kelas. Terlebih ketika foto-foto sadis mulai bertebaran memenuhi layar. Davka Kameron yang turut menjadi penggagas acara “nonton bersama” ini tak bisa menahan rasa terkejutnya. Ia mulai terhubung dengan perasaan cemas Cleon ketika laki-laki itu mendadak menatapnya. Sepertinya ini adalah kesalahan.
Awalnya siaran itu hanya menyuguhkan gambar-gambar penyelidikan polisi dan TKP yang tentu diambil secara diam-diam. Namun, kemudian gambar-gambar potongan tubuh berdarah yang termutilasi menyabotase layar. Keenan merasa ingin muntah. Melihat gelagat itu, Yesha Kieran memegang tangan Keenan yang sudah berkeringat. Tapi ketakutan juga melumpuhkan tubuh Yesha. Hanelle menjerit sembari berjongkok dan menutup kedua telinganya. Juwan Sagara yang sejak awal bersikap sok berani kini menjadi sangat gelisah.
“Yardan, berhenti aja! Ini makin nggak beres!” Teriakan Juwan membuat Jayden yang tiba-tiba merinding refleks menekan tombol off di ujung kiri keypad laptop.
Layar persegi itu padam. Pukulan rintik hujan di kaca jendela yang semula lembut kini berubah menjadi tamparan keras. Kegelapan pun jatuh menyelimuti kelas kala tirai-tirai tak lagi menyusupkan sinar matahari senja. Sunyi tak berujung mematikan putaran waktu di kelas 1 Sastra Indonesia. Semilir angin menyelinap dari kusen-kusen dan menciptakan hawa dingin yang aneh dan asing bagi tubuh manusia. Yardan menarik diri dari kursi, rona amarah tak terbendung mengalir di wajahnya.
“Cih, kalian merusak suasana. Kalau memang nggak mau nonton acara horor buat tugas Pengantar Sosiologi, seharusnya bilang dari awal.” Yardan mendesis sebal.
“Tapi ‘kan bisa nonton acara yang lain atau film komedi mungkin,” bela Juwan masih tak terima disindir merusak suasana.
“Gue setuju sama Juwan, sih.” Cleon menginterupsi pertarungan tatapan yang sengit antara Juwan dan Yardan. “Pak Kavi juga kasih kita kebebasan buat milih tontonan, kan?”
Cleon berpaling dan pandangannya bermanuver menatap teman-temannya. Perlahan semua anggota kelas mengangguk, kecuali Jibran yang sedari awal memang mendukung penuh ide Yardan. Mayoritas suara yang menyudutkannya membuat Yardan semakin kesal.
“Bener banget!” seru Ceisya tak tahan. “Cuacanya lagi mendung, udah sore juga, dan kampus udah gelap. Buat apa coba nonton acara horor?”
“Karena isi konten acara ini penting,” sahut Yardan dengan jawaban tak terduga.
Semua anggota kelas sontak memandanginya dengan raut heran. Yardan mendesis lagi, ia sudah menerka akan seperti ini akhirnya. Sebagai putra dari ibu yang bekerja di media massa nasional, Yardan setidaknya memiliki kesempatan untuk mendengar bocoran tentang isu terkini yang sedang hangat. Selama masa sekolah, privilege ini sangat membantu Yardan mengolah konten tulisan untuk blog pribadinya. Ia mendapat bocoran berbagai isu dan itu mendongkrak kemampuan menulisnya. Bukan gosip lagi, Yardan memang terkenal akan kemampuannya menulis esai dengan sudut pandang tajam. Tapi kali ini, ketika ia ingin menulis esai dari isu kejahatan kerah biru, Yardan justru mendapat bocoran isu yang sukses membuatnya tak bisa tidur semalam.
“Ini gara-gara bocoran isu yang gue dapet dari nyokap semalem.” Yardan mengambil posisi duduk di meja dosen dan mulai bercerita, ia rasa memang semestinya membeberkan isi hatinya yang tengah resah sekarang.
“Oh, topik buat esai terbaru lo?” tanya Marcio dan Yardan mengangguk lemah.
“Nyokap gue bilang ada rumor buruk soal The Cursed Ripper. Katanya desas-desus soal ini udah menyebar di kalangan wartawan Harian Nusantara.” Yardan menelan ludah dan setelah terus menunduk, ia akhirnya memberanikan diri menatap teman-temannya.
“The Cursed Ripper kabur dari penjara.”
Satu kalimat singkat yang terlontar dari bibir Yardan membekukan keadaan.
“Ah, nggak mungkin,” bantah Sonya sambil tertawa. “Gue denger dan baca di berita kalau sel buat The Cursed Ripper itu sel khusus. Semacam sel isolasi gitu, loh. Penjagaannya ketat banget. Jadi, nggak mungkin bisa kabur.”
“Kalau dipikir-pikir masuk akal, sih.” Jayden yang masih berpura-pura tidak takut itu langsung menimpali. “Dia penjahat terkenal. Pasti dijaga banget sama pihak lapas.”
Aura mencekam yang memayungi seisi kelas berganti lebih cerah. Semua anggota saling berbisik dan menyetujui apa yang dikatakan Jayden dan Sonya. Tapi ini justru sebuah penghinaan bagi Yardan yang memiliki ego besar. Keributan yang didominasi aksi gosip itu meledak dan membuat Yardan pusing bukan kepalang. Tanpa sadar ia meninju meja yang ditempati Jibran dan nyaris membuat laptop Hugo jatuh ke lantai. Bunyi keras dari pukulan itu melenyapkan huru-hara di kelas. Semua anak bungkam dan dengan takut melirik Yardan.
“Kalian terlalu gegabah.” Yardan menghela napas seraya melonggarkan kerah kemeja barunya yang masih kaku. “Kalian pikir rumor yang lagi dibahas sama wartawan-wartawan di media massa sebesar Harian Nusantara itu cuma lelucon? Pasti bukan candaan dan karena itu gue panik sama isu ini.”
Hening yang menyapu kelas bagai ombak meredamkan segala kebisingan. Tidak ada suara selain deru napas Yardan. Sorot mata Yardan memperlihatkan perasaan gentar yang semakin gamblang mencuat saat tatapannya bertemu dengan kedua mata itu, mata Ceisya. Perempuan yang ditatap tak betul-betul menyadari arti pandangan itu karena dalam sekejap Yardan membuang muka. Tapi rasa takutnya mendapat validasi dan kian nyata.
Yardan takut dua orang di kelas ini yang selalu ingin lindungi akan berakhir tragis di tangan pembunuh itu.
“Naka, kamu baik-baik aja?” tanya Ceisya, memotong keheningan.
Suara dan panggilan itu membawa Yardan kembali pada kenyataan. Ia menemukan satu-satunya sosok yang bisa memanggilnya dengan sapaan akrab itu tengah gusar. Yardan mencoba tersenyum, tapi rasa bersalah telanjur mengurungnya. Tangan Ceisya yang gemetar masih mencari perlindungan pada tubuh Hansa. Yardan tak tahu harus bereaksi seperti apa selain terus berpikir yang dilakukan Ceisya tidak benar. Teman masa kecilnya itu sudah mulai dewasa dan tak bergantung lagi padanya. Sebuah konsekuensi, tapi Yardan tak terima.
“Bukan masalah besar,” jawab Yardan agak kaku. “Kamu sendiri gimana, Sya? Masih sependapat sama anak-anak kelas atau percaya sama aku.”
Bukan pemandangan asing bagi anak-anak kelas 1 Sastra jika Yardan dan Ceisya bicara dengan sapaan “aku” dan “kamu”. Kedua orang itu bagaikan keluar dari film romantis karena takdir membuat mereka berteman sejak kecil.
“Hmm, jujur aja aku bingung. Kalau Hansa gimana?” Ceisya menyikut laki-laki yang setia berdiri bak patung hidup di sampingnya.
Hansa Alsaki, satu-satunya anggota kelas yang terkenal sebagai pendiam akut itu tak ikut bergosip dan hanya diam mengamati keadaan. Bahkan, Jero yang tenggelam dalam dunia bukunya pun ikut menyelami percakapan dengan Dasha dan Sonya. Tapi tidak untuk Hansa.
“Terserah aja. Bukan urusan gue atau Ceisya,” sahut Hansa singkat dan dingin.
“Ayo pindah kelas, Sya. Sekarang jadwal kelasnya Pak Jafar,” ajak Hansa sembari menggandeng tangan Ceisya.
“Apa-apaan jawaban lo itu, Sa! Lo nggak menghargai gue yang udah peduli sama keselamatan anak-anak kelas?” seru Yardan seraya mencegat Hansa yang hendak pergi, ia nyaris meledak dalam amarah, tapi terpaksa bertahan karena tak ingin bertengkar di depan anak-anak kelas, terutama di hadapan Ceisya.
Hansa tak suka berdebat dengan orang-orang ambisius seperti Yardan. Terlebih lagi jika sampai harus berkelahi dengan Jibran, pendukung setia Yardan. Jadi, Hansa tak punya pilihan selain menepis halus cengkeraman tangan Yardan di lengannya.
“Gue selalu percaya sama niat baik lo, kok. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat aja buat bahas hal ini. Apalagi sampai nyita waktu buat ngerjain tugas.” Hansa mencoba bicara baik-baik, meski ia ingin sekali secara terus terang berkata kepada Yardan bahwa laki-laki ambisius ini terlalu berpikir berlebihan.
“Secara tersirat lo bilang gue berlebihan soal isu ini, kan?” tukas Yardan dan Hansa seketika terpaku.
Yardan mendecih panas dan mengusap kasar wajahnya. Situasi kelas memanas seperti arena tinju dan Cleon tahu harus mendinginkan suasana. Anggota kelas yang lain juga mulai tak nyaman terjebak dalam keadaan yang penuh konflik ini. Ditambah sekarang memang sudah waktunya bagi mereka untuk masuk ke kelas mata kuliah Pengantar Psikologi. Mereka tidak tahu Pak Jafar dosen yang seperti apa karena ini baru pekan pertama semester satu, tapi yang pasti para anggota kelas ingin menghindari masalah.
“Nggak ada waktu buat ngurus rumor. Pak Jafar pasti udah nunggu kita,” balas Hansa agak jengah.
“Maaf, Yardan. Kayaknya kita emang harus pergi sekarang.” Selena memberanikan diri untuk bicara.
“Iya, kalau Pak Jafar ternyata dosen killer ‘kan gawat,” sambung Jibran menyakinkan Yardan. “Gampang ini bisa dibahas lagi nanti.”
Akhirnya Yardan menyerah, ia menyambar ranselnya dengan setengah hati. Yasa dan Keenan langsung merasa lega. Tapi kemudian dering panggilan ponsel yang berbunyi nyaring dengan secepat kedipan mata membuat keadaan jungkir balik. Yardan terpaku menatap nama ibunya di layar ponsel itu dan langsung mengangkatnya dengan hati-hati.
“Cepat lihat berita! Liputan Petang Harian Nusantara di stasiun Mahardika TV.”
Ibunya hanya mengucapkan dua kalimat singkat itu dan panggilan diakhiri secara sepihak. Dari nada suara ibunya yang tercekat dan sayup-sayup keributan di belakang yang menyusup ke dalam panggilan sepuluh detik ini, Yardan yakin ada masalah besar. Tadinya Yardan sudah berdiri di depan pintu kelas. Tapi kini ia mengunci pintu itu dan mengambil remote dari dalam lemari. Seisi kelas kebingungan melihat tingkah Yardan, terutama ketika laki-laki berwajah panik itu menyalakan televisi berlayar pipih di sisi kiri kelas. Dengan agak gemetar, Yardan mengganti saluran sampai menemukan siaran berita Harian Nusantara.
Yardan berharap sekelebat pikiran buruk yang tersangkut di dalam kepalanya enyah dan kepanikan ibunya hanya gurauan. Namun, Yardan tak bisa lagi mengharapkan hal baik itu karena tulisan dalam headline berita telah menghancurkan harapannya.
“Breaking News: The Cursed Ripper Kabur dari Penjara Terpencil di Pulau Burau.”
“Apa-apaan ini. Jadi, ini bukan rumor! Ini nyata!” Jibran tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.
“Sore ini, 21 Agustus 2021, kepala Lapas Pulau Burau baru saja mengonfirmasi kepada Unit Jatanras Kepolisian Burau bahwa tahanan khusus, The Cursed Ripper telah melarikan diri dari lapas. Kepala Unit Jatanras, Kanit Putu Wesla menyampaikan kronologi kejadian melalui konferensi pers sore ini. Dari hasil konferensi pers diketahui bahwa pada pukul 14.00 WIB hari ini, The Cursed Ripper ditemukan terluka di dalam selnya dengan luka tusuk di perut. Polisi menduga luka itu berasal dari pecahan kaca yang diperoleh saat The Cursed Ripper berkelahi dengan tahanan lain sewaktu jam olahraga di lapangan.”
Isi berita yang dibawakan wartawan Harian Nusantara di studio tak pelak menguarkan aroma kegelisahan. Seluruh anggota kelas hanya bisa menahan napas, tak bersuara selagi pemberitaan bernada buruk memenuhi kelas.
“Akibat pendarahan hebat, pihak lapas membawa The Cursed Ripper ke rumah sakit terdekat dengan ambulans. Tapi ambulans hilang kontak dengan pihak lapas sejak pukul 14.30 WIB. Kemudian pada pukul 15.00 WIB, ambulans ditemukan terguling di jalan raya dekat hutan. Sopir tewas di tempat, satu perawat kritis, dan dua perawat lain selamat meski menderita luka berat. Sementara itu, The Cursed Ripper tidak ada di ambulans. Polisi menemukan jejak darah yang mengarah ke hutan dan saat ini sedang mengerahkan dua puluh unit polisi dengan bantuan anjing-anjing pelacak.”
Hansa yang tak mudah percaya pada rumor kini harus berbesar hati menerima kedua pipinya terasa panas. Ia ditampar oleh kenyataan dan merasa malu pada Yardan.
“Kanit Putu Wesla memberikan informasi terbaru bahwa ditemukan baju tahanan dan kaset mini di dalam ambulans yang diduga kuat adalah milik The Cursed Ripper. Pihak polisi tidak dapat membeberkan isi kaset dalam waktu dekat dan mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang. Demikian laporan dari studio. Sekarang kami terhubung dengan wartawan Harian Nusantara yang telah sampai Pulau Burau dan akan mengabarkan keadaan terkini di sana.”
“Shit, gue jadi merinding.” Hugo memeluk kedua lengannya yang mendadak dingin.
Yardan dan Hansa kehabisan kata-kata. Mereka hanya saling menatap, tatapan kosong yang menyiratkan ketakutan.
“The Cursed Ripper ada di Pulau Burau. Tapi kenapa gue jadi ketakutan sampai begini, ya?” tanya Yardan yang hanya dibalas tatapan datar oleh Hansa.
-Intruder-