Dengan ini saya, Vidi Rezliano menjatuhkan talak satu pada Kiara Miranti binti Danar. Mulai saat ini kami tidak lagi mempunyai ikatan sebagai suami istri.
Tanganku gemetar, sementara jantung berdebar seperti gendang yang dipukul bertalu-talu. Perlahan kubaca status Facebook Vi berulang-ulang. Kata demi kata. Beberapa kali aku mengucek mata untuk meyakinkan bahwa kalimat itu memang nyata tertera di layar ponsel. Bukan hanya mimpi atau prank semata.
Ternyata ini memang bukan mimpi. Vi benar-benar menuliskan kalimat itu di sana. Entah apa maksud tindakannya kali ini. Sepertinya lelaki itu belum lelah menorehkan luka di atas dua sayap lemahku sejak awal menikah. Tepatnya mulai malam pengantin.
Inikah yang akhirnya kamu mau, Vi? Pertanyaan itu ingin sekali kusampaikan padanya saat ini. Dia, lelaki yang dengan sepenuh hati kulabuhkan cinta. Yang awalnya aku tidak yakin bisa bersama mengarungi bahtera. Hingga kemudian dengan mantap aku berkata ya pada sesi lamarannya.
Andai bisa, ingin kutatap matanya saat ini. Memindai rasa di balik korneanya yang sering memandangku dengan tatapan teduh. Agar ia mengatakan dengan tegas, bahwa hatinya bukan lagi untukku. Jika Vi sanggup mengucapkan itu, akulah yang akan pergi. Kalau suamiku itu sanggup menyatakan dirinya sudah tidak cinta lagi, maka tidak perlu dia mengumumkan pada dunia. Tidak butuh sosial media agar semua tahu kami akan berpisah.
"Bu? Bu Kiara? Ibu nggak apa-apa?"
Aku tersentak mendengar suara lembut Risa. Sekretaris pribadiku itu kini berdiri setengah membungkuk. Tangannya dia gerakkan di depan wajahku. Sejak kapan Risa ada di sana? Kenapa aku tidak mendengar dia masuk?
"Eh, ka-kamu, Ris. Kapan masuk ke sini? Kok, nggak ketuk pintu?"
"Maaf, Bu. Saya udah ketuk pintu berkali-kali, tapi nggak ada jawaban. Saya takut Bu Kiara kenapa-kenapa. Apalagi barusan Bapak ...."
"Bapak? Pak Vidi maksudmu?"
"I-iya. Ibu udah tahu kan, kalau Bapak nulis di ...."
"Jangan bahas itu dulu ya, Ris. Kamu mau menyampaikan apa masuk ke ruangan saya?"
Mungkin saat ini seluruh penjuru perusahaan bahkan relasi sudah membaca unggahan suamiku di Facebook. Namun, aku benar-benar tidak ingin membicarakan hal itu dengan orang lain sekarang. Paling tidak, sampai aku bertemu dan berbicara dengan Vi.
"I-ini, Bu. Produk terbaru kita udah nggak bisa ditempatkan di displai utama Alexandria Java. Mereka meminta jadwal pertemuan lagi untuk pembaruan kontrak, Bu."
Aku mengerutkan kening. Mengambil berkas yang diulurkan Risa. Wajah gadis itu terlihat panik.
"Lho, bagaimana bisa? Kontrak terbaru kita untuk displai utama di sana selama dua tahun, lho. Ini baru berjalan enam bulan, kan?"
Risa mengangguk perlahan. "Iya, Bu. Alasan mereka, penjualan Virana Line sudah turun dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Itu mempengaruhi stabilitas Alexandria."
Aku menarik napas dalam-dalam. Kenapa dua masalah yang cukup berat datang bersamaan? Virana Line paling aku unggulkan selama ini di antara produk Virana Enterprise yang lain. Kenapa kemerosotannya justru bersamaan dengan masalah pribadiku?
Alexandria Java adalah mal terbesar dan paling bergengsi di negeri ini. Jika sebuah produk bisa bertengger di displai utamanya, itu menunjukkan kualitas yang memang paling unggul. Sebaliknya, lengser dari sana adalah aib perusahaan. Artinya produk itu sudah tidak lagi layak untuk menjadi tren saat ini.
"Penanggung jawab marketing Virana Line siapa? Pak Saddam, kan? Adakan rapat darurat setengah jam lagi."
"Pak Saddam belum datang sejak pagi tadi, Bu," jawab Risa ragu-ragu.
"Bagaimana bisa?"
***
Bersambung