Ini (Bukan) Hidup yang Aku Inginkan

Ini (Bukan) Hidup yang Aku Inginkan

LeciSeira

5

Aku menyeka ujung mata yang masih basah sedikit, lalu segera menarik kedua sudut bibir. Perlahan, kutarik napas dalam seraya memejamkan mata, berusaha mengusir sesak yang datang tidak pada waktunya. Seharusnya mereka nanti saja mengisi dada, saat aku sudah di rumah dan mengunci diri di kamar. Satu hari lagi akan berlalu. Aku pasti bisa melewatinya.

Baru saja keluar dari kamar mandi perpustakaan, tiba-tiba tubuhku ditabrak seorang yang aku yakin adalah laki-laki. Syukurlah buku-buku yang tengah dipegangnya tidak berserakan. Jika tidak, aku akan merasa adegan selanjutnya lebih cocok dilakukan saat syuting sinetron anak remaja. 

“Eh, maaf,” ucapku spontan. Meski tidak yakin sepenuhnya bersalah, tetap saja aku merasa tidak enak hati karena ceroboh. 

Tatapan kami bertemu selama sepersekian detik. Dalam hati aku berharap dia tidak menyadari bahwa aku baru saja menangis. Laki-laki itu tidak menjawab atau sekadar mengangguk. Dia langsung berlalu, mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku menatapnya sejenak. Buku tentang permesinan yang dibacanya saat ini membuatku yakin kalau dia adalah mahasiswa dari Fakultas Teknik. 

“Peach, ngapain di situ terus?”

Suara familier itu membuatku tersadar dari kegiatan yang kulakukan. Aku bergegas menuju tempat teman yang kerap dijuluki sebagai kembaranku duduk. Di meja tertumpuk beberapa buku tentang filsafat sastra yang sejujurnya melihatnya saja sudah membuatku mengantuk. 

“Ay, kau kenal laki-laki yang duduk di sana, nggak?” Aku setengah berbisik, khawatir mengganggu fokus orang lain. 

Aya memicingkan mata setelah mengalihkan pandangan ke arah yang kutunjuk. Kemudian, perempuan berjilbab cokelat susu itu menggeleng. “Kau kan tau aku apatis. Mana kenal-kenal sama anak jurusan lain. Kalau kau aja nggak kenal, apalagi aku.” 

Aku membenarkan kalimat Aya dalam hati. Diam-diam, aku menghela napas. Mengapa sejak tadi aku merasa dia terus memperhatikan aku dari jauh, ya? Apa aku terlalu kegeeran? 

“Emangnya kenapa, sih?” 

Aku hanya menggeleng, lalu mengambil buku yang cukup tebal, mulai membacanya. “Aku tadi nggak sengaja nabrak dia waktu baru keluar dari kamar mandi. Pas aku minta maaf, eh dia diem aja, terus langsung pergi.”

“Terpesona kali lihat kecantikanmu.” Aya tertawa pelan. Nyaris saja aku mencubit lengannya. 

“Sembarangan. Aku aja nggak pede lihat diri sendiri di cermin. Bisa-bisanya kau bilang ada laki-laki terpesona lihat aku.” 

Aya tertawa lagi. Setelahnya, aku menghabiskan waktu di perpustakaan kampus hingga waktunya tutup. Memasuki semester akhir membuat kami harus lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, mencari bahan bacaan untuk skripsi. Aya lebih dulu pulang karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Rumah Aya cukup jauh dari kampus. Butuh waktu sekitar 35 menit jika naik mobil. 

Karena azan asar sudah berkumandang, aku memutuskan pergi ke musala perpustakaan untuk melaksanakan salat. Di sana, lagi-lagi aku tak sengaja bertemu dengan laki-laki yang bertabrakan denganku saat di perpustakaan tadi. Sebenarnya, aku ingin kembali meminta maaf. Namun, niat itu aku urungkan. Bagaimana kalau dia malah berpikir aku caper atau sejenisnya? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding.

Selesai salat, aku tidak langsung pulang. Berhubung rumahku cukup dekat dengan kampus, aku tak khawatir meski pulang malam sekalipun. Mungkin orang-orang berpikir Kota Medan menyeramkan saat malam hari karena ada banyak kejahatan, tetapi menurutku tidak separah itu. Aku bahkan pernah jalan-jalan di sekitar rumah dan kampus saat pukul dua pagi untuk mencari makan.

Menyendiri di taman belakang perpustakaan kampus adalah salah satu hal yang aku sukai. Walaupun rasanya area perpustakaan tidak pernah benar-benar sepi, duduk sendirian di lantai koridor rasanya menyenangkan. Orang-orang tidak akan terlalu memperhatikan kegiatanku. Juga tempat yang biasa aku duduki, tidak banyak dilalui orang sehingga aku bebas menangis atau bernyanyi sesuka hati. 

Tiba-tiba saja, aku merindukan Mama. Sejenak, aku memandangi langit yang mulai tampak semburat oranye. Apa Mama melihatku dari sana? Aku berhasil masuk universitas negeri bergengsi di Kota Medan, apakah Mama bahagia mengetahui hal itu? Aku sangat berharap Mama masih di sini. Pasti Mama akan menatapku bangga saat mendengar aku lulus seleksi jalur undangan, juga lolos seleksi beasiswa. 

Bulir bening meluruh, melewati pipiku yang chubby. Lagu “Satu Rindu” aku nyanyikan lirih seraya membayangkan wajah Mama. Semilir angin sore meniup ujung jilbab biru dongker yang tengah aku kenakan. Ada perasaan lega yang tidak bisa aku jelaskan setelah selesai menyanyikan lagu yang menurutku sangat pas dengan keadaanku saat ini. 

“Suara kamu bagus.” 

Aku terhenyak mendengar suara serak laki-laki dari arah belakang. Bergegas aku menoleh dan mendapati laki-laki yang kutabrak di perpustakaan tadi tengah berdiri tepat di belakangku. 

“Aku buat kamu kaget, ya? Maaf,” ucapnya lagi. 

Aku langsung menetralkan ekspresi, lalu berusaha tersenyum. “Nggak apa, kok.”

“Boleh duduk?” Mata laki-laki itu mengarah ke sebelahku. Maksudnya duduk di sebelahku, ya? Masa, sih?

“Oh ya, silakan, Bang. Semua orang bebas duduk di sini, kok.” 

Beruntungnya aku seorang ekstrover yang ramah. Jadi, situasi seperti ini bagiku tidak begitu terasa menggelikan. Ya … meskipun terkesan sedikit aneh karena laki-laki ini yang harus menawarkan diri duduk di sebelahku dari sekian banyak orang yang ada di sekitar perpustakaan. 

Aku pikir, selanjutnya kami akan mengalir dalam obrolan random atau membahas sesuatu yang mungkin sama-sama kami sukai. Ternyata, selama hampir lima belas menit, kami hanya saling diam. Sesekali dia menatap langit, lalu aku juga melakukan hal yang sama. Kali selanjutnya, aku mengalihkan atensi ke buku yang tengah kupegang, lalu tak lama dia melakukan hal yang sama. Serius kami hanya akan saling diam sampai matahari terbenam?

“Anak Teknik, ya?” Akhirnya, aku mengalah dan membuka percakapan lebih dulu. Beruntung dia membuka buku tentang permesinan tadi sehingga bisa kujadikan topik yang tidak terkesan dipaksakan. 

Laki-laki dengan rambut bergelombang sedikit gondrong itu mengangguk. “Iya, Teknik Mesin.” Dia menunjukkan kover buku yang tengah dipegangnya, buku tentang permesinan. 

“Wow, keren,” desisku spontan. Kalimat itu selalu saja aku katakan setiap kali mengetahui jurusan, minat, pencapaian, atau apa saja tentang orang lain. Terkadang, orang-orang menganggap hal ini tidak tulus, tetapi sungguh aku mengucapkannya dari hati dan karena merasa mereka benar-benar keren. 

“Kamu?”

“Oh, saya dari FIB, anak Sastra. Sastra Jepang lebih tepatnya.” 

“Wi--"

Eits ... jangan berani-beraninya sebut saya wibu, ya. Sastra Jepang bukan berarti harus wibu.” Aku sungguhan tidak suka setiap kali dikatai seperti itu. Jadi, sebelum aku kehilangan rasa menghormati laki-laki di sebelahku ini, sebaiknya kuperingatkan dia. 

“Maaf, nggak bermaksud. Temen-temenku semua bilang begitu.”

“Ya … nggak heran, sih.” Aku tertawa kecil. Melihat reaksinya yang terkesan dingin dan cuek, sepertinya dia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing. Namun, mengapa dia malah menyapaku lebih dulu? Dasar aneh.

“Suara kamu waktu nyanyi tadi mirip seseorang.” 

Aku menautkan alis mendengar pernyataannya. Namun, raut antusias tak bisa kututupi saat mengetahui hal itu. “Oh, ya? Siapa, Bang?”

“Penyanyi Jepang, aku lupa siapa namanya.” 

“Hah? Masa, sih? Suara saya nggak ada Jepang-Jepangnya, deh.” Aku tertawa kecil, mau tak mau. 

“Serius. Nanti kalau ingat namanya, aku kasih tau kamu. Kamu bisa dengerin sendiri lagu-lagunya.” 

Aku tak langsung menjawab. Bagaimana cara dia memberi tahu aku, ya? “Oke, deh.”

Setelahnya, suasana kembali hening. Matahari makin condong ke barat. Angin bertiup sedikit lebih kencang, membuat dedaunan yang berjatuhan di rumput beterbangan. Akar-akar gantung pohon beringin di depan kami ikut bergoyang. Jika saja Misya temanku ada di sini, dia pasti akan ketakutan melihat pohon beringin sebesar itu. Ada-ada saja.

“Oh ya, namaku Chafik. Bukan asli sini.” 

“Saya Peach.” 

“Buah?”

Aku tersenyum canggung, lantas mengangguk. “Biasanya temen-temen bilang gitu, sih. Abang boleh panggil saya siapa aja. Selama masih nama buah, saya bakal nyaut, kok.” 

“Itu seriusan nama asli?” 

“Mau saya tunjukin KTP?” Aku bersiap membuka tas kalau-kalau dia menjawab ‘ya’.

Dia menggeleng. Dari matanya yang tiba-tiba menyipit, aku menarik kesimpulan bahwa dia tengah tersenyum. Wajahnya ditutupi masker. Ya, memang itu syarat untuk bisa masuk ke kampus karena pandemi belum sepenuhnya reda. 

“Aku pikir kamu dipanggil begitu karena suka banget sama buah.” 

“Banyak juga sih, yang bilang begitu. Tapi nama saya emang beneran itu, kok. Oh ya, Abang bukan orang sini, ya? Asal mana emangnya?” 

“Palembang, tapi sejak SD aku di Jakarta sampai SMA.” 

Aku ber-oh ria. “Terus kenapa kuliahnya di Medan, Bang?” 

Hening. Aku menunggu dia menjawab pertanyaanku, tetapi sampai menit ketiga, masih belum ada jawaban apa-apa. Apa aku salah bertanya, ya? Namun, aku tidak merasa itu pertanyaan yang menyinggung atau sejenisnya. 

“Pengin menjauh dari Jakarta untuk sementara waktu.” Akhirnya, dia menjawab dengan lirih. Aku tak mau menyimpulkan bahwa ada kesedihan yang dia sembunyikan dari kalimatnya baru saja. Namun, jika boleh jujur, aku memang merasa begitu. 

“Saya malah pengin banget ke Jakarta, Bang. Di sana banyak penerbitan. Saya mau coba daftar jadi penerjemah novel.” Aku tertawa lagi. Ini pertama kali aku menceritakan impianku pada seseorang yang baru kukenal, terlebih dia bukan ekstrover yang ramah pada siapa saja sepertiku. 

“Kamu lagi ada masalah, ya?” 

“Gimana?” Aku berusaha menjawab dengan suara senetral mungkin agar tak terkesan terkejut atau sejenisnya.

“Suara kamu … ada energi lain di sana. Semacam kesedihan, luka, dan sejenisnya. Suara itu mengantarkan gelombang yang menghasilkan frekuensi. Jadi, untuk merasakan energi ya dari gelombang itu.” 

Oke, laki-laki ini terlalu peka atau memang sepintar itu? Apa kalau aku berbohong, dia juga akan tahu? Sejujurnya, aku tidak terlalu mengerti dia mengatakan apa, sih. Aku tidak mahir fisika. 

“Enggak, kok. Saya baik-baik aja. Lagi bahagia malah punya temen baru.”

“Jangan bohong. Suara kamu tadi udah jawab semuanya tau. Ada luka yang kamu sembunyikan.”

Well, sekarang laki-laki ini malah terasa sangat menyebalkan. Aku berusaha menyembunyikan semua yang aku rasakan selama ini. Namun, dia tiba-tiba datang dan wush … seperti peramal bisa tahu segalanya. 

“Jangan berusaha selalu terlihat baik-baik aja. Memangnya nggak capek?”

Mendengar itu, aku bergeming. Bagaimana … laki-laki ini bisa tahu, sih?