Keira Kennely Martin mendengkus kesal, selagi membiarkan matanya menyalang, menatap pria yang duduk di salah satu meja sebuah kafe, tempatnya bekerja.
"Hey."
Keira sedikit terhenyak, kala seseorang tiba-tiba menyikut pelan lengannya. Ia menoleh, mendapati rekan kerjanya - Alexa tengah menatapnya sembari tersenyum menggoda. "Apa?"
"Kau sedang ada kontes beradu tatap, dengan pria tampan di sana?" Alexa menunjuk arah pria yang tadi bersitatap dengan Keira menggunakan pergerakan dagu dan kerlingan mata.
Keira melirik sebentar ke arah pria tersebut, kemudian menggeleng. "Tidak."
Alexa terkekeh. "Mengaku saja. Dia cukup tampan, bahkan sangat tampan. Kau beruntung, memiliki seorang pengagum sepertinya."
Keira terkekeh sinis. "Tampan. Itulah masalahnya. Tidak mungkin seorang pria tampan sepertinya, bersedia menjadi pengagum gadis sepertiku, Lexa."
Alexa mengernyitkan kening, membiarkan manik mata biru indahnya menelisik penampilan Keira dari ujung rambut, hingga ujung kaki. "Gadis sepertimu itu, maksudnya gadis seperti apa?"
Keira membuang napas kasar seraya memutar bola matanya malas. "Kau pura-pura buta, atau memang perlahan sudah mulai buta?" Ia menghentak kesal, kemudian menundukan pandangan, menelisik penampilannya sendiri. "Tubuhku tidak terlalu tinggi, berlemak, semakin membuatku terlihat gendut dan pendek. Aku juga tidak cantik," imbuhnya, sedikit terkesan putus asa.
Yang Keira katakan memang tidak salah. Dilihat dari sisi mana pun, bisa dikatakan, ia tidak menarik sama sekali. Tinggi tubuh yang hanya mencapai 160 centi diisi penuh dengan lemak sampai mencapai bobot 67, ditambah gaya berpakaiannya yang asal, membuat penampilannya semakin tidak memiliki daya tarik.
Pun wajahnya yang tak terawat, memiliki beberapa jerawat, dengan pipi yang gembul, hampir menjepit permukaan hidung yang tidak terlalu mancung - menjadi semakin tak terlihat, membuat Keira sendiri, merasa aneh saja, jika sampai ada pria tampan yang menyukainya.
"Jangan merendah seperti itu. Kau memiliki kelebihan sendiri, kau tahu?" Alexa mengusap lembut lengan Keira, bermaksud memberi sedikit dukungan pada gadis di hadapan yang tampak tidak memiliki kepercayaan diri sedikitpun itu.
Keira menengadah, kemudian terkekeh. "Kelebihan lemak, itu memang tepat."
Alexa akan merasa bahwa dirinya adalah seorang teman sekaligus rekan kerja yang buruk, jika ia tertawa mendengar perkataan Keira, namun gadis itu tidak bisa menahannya sama sekali.
Ia terkekeh kecil. "Tapi setidaknya, kau menggemaskan," pujinya sembari mencubit gemas pipi gembul Keira, membuat sang empunya sedikit mengaduh karenanya.
"Sakit tahu!" Keira merengek, melepaskan tangan Alexa dari wajahnya, kemudian memukul pelan lengan teman cantiknya itu.
Alexa hanya tersenyum, melihat wajah gembul Keira mulai menunjukan semburat kemerahan, akibat dari perbuatannya.
"Kalian sepertinya memiliki banyak waktu luang," timpal seseorang, sedikit menyindir, tapi dengan cara sehalus mungkin.
Keira dan Alexa sampai tersentak kaget, sontak menoleh ke arah pemilik suara.
"Kafe sedang tidak terlalu ramai, ya?" tanya seorang pria yang saat itu tengah berdiri di hadapan meja kasir, bersebrangan dengan Alexa dan Keira.
Kedua gadis itu tersenyum kikuk, bertukar pandang sesaat. "I-Iya, kebetulan kafe sedang lengang, tidak banyak pengunjung yang datang jika sudah hampir tengah malam begini jika bukan akhir pekan," terang Alexa.
Si pria tersenyum, kemudian mengangguk paham. "Begitu rupanya."
"Tuan Gavin kemari, pasti mau bertemu dengan Boss kami, ya?" Masih Alexa yang angkat suara, mengajak pria tampan bernama Gavin itu dengan penuh keramah tamahan.
Sementara di sisi lain, ada Keira yang tiba-tiba saja diam memaku, membiarkan manik mata gemetarnya menatap sosok Gavin, penuh kekaguman.
Bagaimanapun, Keira tetaplah seorang wanita, yang pastinya memiliki ketertarikan juga terhadap sosok pria tampan, terlepas dari kepercayaan dirinya yang tidak begitu memadai.
Keira hanya menyimpan kekaguman dalam diam, cukup sadar diri, sebab lagi-lagi ... jika disandingkan dengan pisiknya yang tidak begitu menarik, sosok Gavin yang memiliki paras tampan bak seorang model pun proporsi tubuh yang bisa dikatakan ideal, dengan hidung mancung, garis rahang tegas, manik mata indah yang jika bersitatap mampu memabukan, hanya mungkin terjadi dalam angan-angan.
"Tidak." Gavin tiba-tiba saja menoleh ke arah Keira, membuat gadis itu jadi salah tingkah, seketika mengalihkan pandangan menjadi sembarang.
Gavin tersenyum, menangkap basah Keira tengah menatap dirinya, seketika membuat pipi gadis itu bersemu, merah. "Aku kemari, ingin menjemput Keira."
Alexa seketika menoleh, berikut juga dengan Keira yang seketika menengadah, kembali mempertemukan pandangannya dengan Gavin.
Keterkejutan jelas terpatri begitu nyata dari sorot mata pun raut wajah Keira. Pelupuk gadis itu mengerjap dengan lugunya. "A-Aku?" Ia menunjuk dirinya sendiri, masih tidak percaya.
Gavin tersenyum lagi dan mengangguk. "Hemmm. Kau, Keira Kennely Martin."
"Pantas, beberapa hari terakhir ini Tuan sering mampir ke sini, lalu dengan cepat pergi. Apa karena Tuan ingin menemui Keira?" Aelxa menatap Keira dan Gavin secara bergantian, kemudian menunggu jawaban dengan rasa tidak sabar, sebab terlanjur penasaran.
Gavin menoleh ke arah Alexa, menebar senyum menawannya lagi. "Hemmm. Aku sering mampir kemari untuk menemui Keira, tapi aku sepertinya selalu tidak beruntung, karena selalu saja gagal."
"Keira memang biasanya tidak bertugas malam, tapi selalu datang lebih awal, karena sebelumnya ... tugas utama Keira hanya di belakang saja, mempersiapkan kebutuhan kafe menjelang beroperasi," turut Alexa, menerangkan.
"Lalu, sejak kapan Keira ditugaskan untuk berjaga di depan?"
"Sekitar tiga hari yang lalu, tapi baru kali ini berjaga sampai menjelang kafe tutup, karena ada pekerja yang tidak masuk."
Gavin mengangguk paham lagi untuk kesekian kali. "Baguslah kalau begitu."
"Maksudnya bagus?" Keira yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat suara.
Gavin menoleh ke arahnya, tersenyum manis. "Ya, bagus saja."
"Kalau Pak Gavin ingin menjemput Keira, bawa pulang dia sekarang saja," usul Alexa, membuat Keira seketika menoleh ke arahnya.
"Hey, mana bisa seperti itu?"
Alexa menoleh ke arah Keira. "Tidak masalah. Setengah jam lagi, kafe sudah akan tutup. Aku dan yang lain akan mengurus sisanya. Kau pulang duluan saja."
"Tapi bagaimana jika Bo-" "Aku akan memberitahu Stefan nanti," pungkas Gavin tiba-tiba, tak membiarkan Keira merampungkan perkataannya.
"Memberi tahu apa, agar dia segera memecatku, begitu?" celetuk Keira panik, tidak sempat berpikir logis.
Hal itu malah membuat Gavin terkekeh gemas. "Bukan. Aku akan memberitahu Stefan, jika kau pulang lebih awal denganku. Aku yang jamin, jika dia tidak akan berani memecatmu."
"Ah ... begitu rupanya." Keira menatap Gavin dengan tatapan lugu, kemudian buru-buru mengalihkan pandangan, sebab pipinya kembali bersemu, tidak bisa bersitatap dengan pribadi tampan itu lebih lama.
"Kalau begitu, siap-siap sana." Alexa mendorong pelan tubuh Keira.
"Benar tidak masalah?" Keira menatap Alexa, tidak yakin.
"Iya, tidak akan ada masalah."
Keira pun akhirnya hanya bisa pasrah saja, bersiap untuk segera pergi meninggalkan kafe, sebab Gavin sudah menunggunya.
"Sampai jumpa besok, Lexa."
Sementara di tempat yang sama, pria yang sebelumnya menjadi bahan ejekan Alexa pada Keira, sebelum Gavin datang, menatap kepergian Keira dan Gavin dengan tatapan tajam, syarat akan ketidak sukaan.
Buku tangannya sampai memutih, sebab terkepal kelewat kuat di permukaan meja. Ia kemudian meraih ponsel miliknya yang tergeletak di tempat yang sama.
Pria itu menghubungi seseorang melalui sebuah panggilan suara. "Kau melihat pria yang membawa gadisku pergi?"
"Iya Tuan?"
"Aku butuh informasi tentangnya selengkap mungkin, secepatnya."
"Baik, Tuan."
"Dan jangan lupa, ikuti dia, pastikan dia tidak macam-macam."
"Baik."