Imam Untuk Humaira

Imam Untuk Humaira

salmaauthor

0

Mungkin benar kata pujangga-pujangga dulu, cinta adalah tahta tertinggi didalam tingkatan perasaan yang bisa dicapai oleh manusia.

Cinta yang membuat siapapun, jika sudah mabuk didalamnya, jika sudah tersimpan apik didada, maka apa yang dilihatnya dari yang ia cintai hanyalah kebaikan-kebaikan. Kita seakan dipaksa untuk mengabaikan kehinaan yang terpampang nyata didepan mata.

Maira menggeliat saat ketukan dipintu kamarnya membuat lelapnya terjaga. Mimpi indah yang barusan lewat lenyap entah kemana. Dengan mata masih terpejam, Maira mengusap kedua matanya yang masih terasa sangat berat.

Dengan tingkat kesadaran yang belum sempurna, bibir gadis berusia 23 tahun itu tertarik, tersenyum seraya meraba jari manisnya yang kini tak kosong lagi. Ada cincin pengikat disana. Yaa, Arhan, laki-laki yang hampir 4 tahun ini menjalin hubungan diam-diam dengannya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya datang melamar. Memberikan kepastian yang membuat Maira semakin menjatuhkan hati dan perasaannya secara penuh untuk laki-laki itu.

Bukan tanpa sebab kenapa Maira memilih untuk tak jujur tentang hubungannya dengan Arhan. Berlatar belakang dari keluarga Pesantren, ayahnya, Ustadz Ibrahim adalah anak dari Kiayi Munawwar, pendiri pondok pesantren Darul Mahabbah. Mustahil bagi Humaira meminta ijin untuk menjalin hubungan dengan Arhan, yang dalam arti lain ialah pacaran. Yang ada ia akan dikurung ayahnya didalam pesantren, atau bahkan dijodohkan seperti nasib kedua kakaknya.

"Mai bangun! Shalat subuh Nduk..." Suara Nyai Hanifah ibunya kembali terdengar. Diiringi ketukan yang semakin cepat. 

"Iya Mii! Ini Mai udah bangun!! Mau wudhu!!" Sahut Maira berteriak dengan suara parau. Bukan tak sopan, tapi agar ibunya yang ada dibalik pintu mendengar sahutannya.

Menyibak selimut paksa, meraba sekitar atas bantal mencari ikat rambut, Maira berjalan setengah sempoyongan ke arah saklar untuk menyalakan lampu.

Adzan subuh belum habis, Maira segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Lagi, cincin yang tersemat dijarinya membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum. Bahagia itu jelas terasa begitu nyata dihatinya.

Meski rumahnya ada didalam lingkungan pondok pesantren, Maira dan keluarganya sangat jarang melaksanakan shalat berjamaah bersama santriwati di mushola asrama. Mungkin hanya para lelaki dirumah itu yang shalat berjamaah di masjid utama pesantren yang dikhususkan untuk putra, untuk yang perempuan, ia, neneknya, Uminya, kakak perempuannya, dan kakak iparnya memilih shalat berjamaah di mushola keluarga yang ada dirumah.

"Calon pengantin lelet bener yak bangunnya..." Celetuk Ning Fatma, kakak perempuannya, anak kedua. "Keduluan sama Gina..." Tambahnya seraya merunduk rendah ke lantai, mencoel pipi bayi perempuan yang baru saja berusia 4 bulan. Anak ke tiga dari Gus Ipul kakak pertama Maira.

Maira hanya nyengir kuda mendengar celetukan kakaknya. 

Setelah shalat, wirid, membaca surah al-waqiah seperti rutinitas biasanya, Maira langsung ke ruang tamu. Dekoran acara lamaran tadi malam masih sempurna, bunga-bunga plastik dan lampu kelap-kelip bahkan masih menyala. Entah mungkin lupa mematikannya tadi malam.

"Ya sudah jangan senyum-senyum. Ndang dibersihkan Mai, nanti kalau ada tamu kan orang jadi bertanya-tanya ada acara apa. Lamaran itu alangkah baiknya disembunyikan. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik." Kata ibunya.

"Nggih Mii... Umi nggak bantuin?" Sahut Maira seraya menatap Uminya yang sudah berpakaian begitu rapi seperti hendak pergi ke kondangan.

"Umi sama Abah ada acara. Mau ketemu temennya Abah..."

"Ohh..."

Tak lama ibunya menghilang, Nyai Hatun, neneknya datang dan duduk di sofa. Menatap Maira yang tengah melepas dan menyingkirkan semua aksesoris dekorasi.

"Kamu sudah lama kenal sama dia?" Tanya neneknya.

Maira terdiam sebentar lalu berbalik, mengangguk. "Sekitar empat tahun Mbah..."

"Pacaran atau temenan?"

Maira kembali terdiam. Pertanyaan yang sejak tadi malam ia harap tidak keluar dari mulut siapapun.

"Pacaran itu haram Mai... Kalaupun pada akhirnya kamu nikah sama pacar kamu, rumah tangga kamu itu kurang berkah karena pondasinya kamu susun dari hal-hal yang Allah haramkan dan Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkannya..." Katanya lagi. Rupanya diamku cukup menjadi jawaban, dan nenekku paham akan hal itu.

Aku mendadak serba salah, tapi mau bagaimana, itu sudah terlanjur.

"Tapi sumpah Mbah, Mai sama Arhan nggak pernah yang macem-macem kok..."

"Kalau nggak macem-macem ngapain pacaran? Mungkin secara fisik kalian nggak macem-macem Nduk... Tapi pikiran kamu? Hati kamu? Dan kamu nggak tahu kan bagaimana kalau dia setiap malam membayangkan hal-hal yang tidak baik tentang kamu. Itu zina Nduk..." Kata Nyai Hatun lagi menasihati cucu terakhirnya.

Maira terdiam. 

"Mbah nggak setuju Mai nikah sama Arhan?"

"Bukan masalah nggak setuju. Tapi laki-laki yang ngajak kamu pacaran, sebenarnya dia sedang ngajak kamu maksiat secara perlahan. Dan orang yang mengajak kepada kemaksiatan bukan calon imam yang baik, bukan calon ayah yang baik untuk keturunan kamu nanti. Mbah pingin kamu itu nikah sama anak pondokan Mai..." 

Maira merasa tertampar dengan kalimat neneknya barusan. Namun lagi, kata terlanjur lalu bagaimana lagi kini membisik didalam hatinya.

"Tapi yaa sudahlah... Salah kami membiarkan kamu kuliah diluar sana..." Kata neneknya lalu berlalu.

Maira terdiam, merenungkan kata-kata neneknya yang sudah tak asing karena Abah dan Uminya setiap hari selalu berpesan hal yang sama.

"Dalam menuntut ilmu, kalau mau berkah dunia akhirat, jangan libatkan laki-laki bukan mahram diperjalanan suci kamu..."

Lagi, Maira mencoba menepis rasa bersalah dihatinya, mencoba memahamkan dirinya bahwa yang terjadi padanya saat ini adalah bagian takdir Allah juga. Kalaupun Arhan memang memiliki pengetahuan agama yang sempit, toh nanti mereka bisa sama-sama saling memperbaiki diri.

"Mungkin ini cobaan sebelum pernikahan..." Batin Maira lalu lanjut membereskan sisa dekor tadi malam.