IF

IF

Ayu_Kasno

0

     Kanaya meletakkan piring terakhir yang dia cuci di rak piring, menyeka keringatnya dan merapalkan doa itu lagi; semoga hari ini berjalan lancar, nggak ada drama anak menangis, terjatuh, atau berantakin rumah lagi. Semoga rumahnya bisa tetap rapi seperti ini sampai Surya pulang dan tersenyum di depan pintu. Semoga emosinya stabil, semoga dia bisa menyambut Surya dengan baik.

     Dia menghela napas, pagi tadi dia terlambat bangun karena Andita merengek sepanjang malam, jadi saat dia bangun Surya sudah berangkat ke kantor. Entah baju apa yang dia pakai, dan tentu saja tanpa sarapan karena tak ada apapun di dapur. Terkadang Kanaya kasihan pada Surya,  dia seolah menjadi prioritas kesekian setelah Aryan dan Andita. Dia tahu Surya tak pernah protes dan paham posisinya, tapi istri mana sih yang nggak merasa bersalah saat melihat suaminya tak terurus?

     Kanaya  bingung harus menyalahkan siapa.  Di satu sisi, dia merasa sudah cukup kelelahan dengan semuanya. Rumah yang nggak pernah rapi, anak-anak yang selalu merengek, dan pekerjaan rumah yang seolah tak ada habisnya. Tapi disisi lain, Kanaya tahu Surya juga berhak atas perhatiaannya dan bukan semata menjadi sasaran emosinya. Orang pertama yang dia telpon saat anak-anak merengek dan dia kewalahan,  orang pertama yang dia hubungi saat dia kesakitan, orang pertama yang dia cari saat dia butuh bantuan. Juga orang pertama yang selalu bersedia mengabulkan apapun permintaannya dan memberikan apapun yang dia mau.

     Kanya ingat saat pertama kali dia bertemu Surya, Selasa di penghujung Desember sepuluh tahun yang lalu. Kanaya yang masih mengenakan seragam kantornya nggak sengaja bertabrakan dengan Surya yang juga nampak terburu-buru. Semua berkas-berkas di tangan Kanaya berserakan, sebagian malah jatuh ke selokan dan dengan cepat berubah menjadi sampah. Kanaya mendelik kepada Surya yang terlalu sibuk hingga tak sempat berhenti dan hanya mengumamkan sedikit permintaan maaf.

      “Sorry. Gue Surya Laksono, tunggu disini besok. Gue bakal ganti rugi.”

     Dan dia pergi begitu saja, meninggalkan Kanaya yang mematung.

     Besoknya, Kanaya kembali lagi ke tempat itu, bersiap mendamprat Surya dengan letupan kata-kata mutiara yang siap meledak dari ujung bibirnya. Bagaimana Surya telah mengacaukan presentasinya hari itu, bagaimana Surya telah membuatnya terlihat bodoh, bagaimana Surya telah membuatnya nyaris dipecat.

     Tapi Surya tidak datang sore itu, dan Kanaya terpaksa menelan kembali semua umpatannya.

***

     “Akhirnya lo muncul juga disini.”

     Kanaya ingat itulah yang dikatakan Surya saat mereka akhirnya bertemu lagi di tempat yang sama, dua bulan sejak kejadian itu. Matanya yang bulat menatap Kanaya, dan hidungnya yang mancung terlihat mengembang seperti matanya.

     Kanaya membuka mulutnya, waktu telah memudarkan amarahnya, tapi melihat Surya membuat darahnya kembali mendidih. “Lo?”

     “Sorry, hari itu gue nggak dateng. Gue tiba-tiba ada tugas penting keluar kota yang nggak bisa gue batalin. Gue selalu nyari lo kesini tapi lo nggak pernah muncul.” Dia menggeleng seolah Kanaya seharusnya ada di tempat ini setiap saat. “Jadi gimana? Apa yang bisa gue lakuin sebagai permintaan maaf gue?”

     Kanaya mendelik. Apa yang bisa dia lakuin? Dua bulan kemudian? Helloww, Kanaya sudah membereskan semuanya. Membuat laporan presentase baru hingga dia nggak tidur dua malam, menelpon klien berulang kali hanya untuk meminta maaf,  dan bahkan nggak berhenti membuatkan sarapan untuk Bosnya selama dua bulan full hanya agar wanita paruh baya itu memaafkannya.

     Dan sekarang, cowok brengsek ini bertanya apa yang bisa dia lakuin?

      “Nikahin gue.”

   Cowok itu menatapnya, memicing, dan kemudian mengangkat alis dan bahunya. “Ok.” Ringan. Tanpa beban

***

     Tapi mereka nggak nikah saat itu, dan bukan karena itu. Kanaya nggak serius, dan dia tahu jawaban Surya juga nggak serius. Gini-gini Kanaya juga kembang kantor, dia nggak kekurangan penggemar. Dan dari tampilan Surya yang rapi, saat itu Kanaya yakin kalau Surya udah punya tunangan atau bahkan istri.

     Permintaan itu hanya celetukan spontan Kanaya saja, kebiasaan buruknya yang selalu mengatakan hal-hal nggak masuk akal saat dia marah. Dan Surya, entah apa alasannya menginyakan permintaan gila itu.

     Tapi nggak jadi nikah bukan berarti hubungan mereka berhenti begitu saja. Surya yang mungkin memang sangat merasa bersalah, terus aja dateng buat temuin Kanaya, buat menawarkan bantuannya untuk apapun, tukeran nomer, menghubungi Kanaya kapanpun dia sempat, dan akhirnya hari itu tiba.

      “Permintaan lo yang dulu masih berlaku nggak?”

     “Apa?”

     “Buat nikahin lo.”

     Kanaya melongo, gelas kopi di tangannya menggantung sia-sia di udara. Dia menatap wajah Surya, mencari candaan atau apapun di wajah itu. “Sinting lo.”

     “Gue serius,” pria itu mencondongkan badannya dan menggenggam tangan Kanaya. “Umur kita udah cukup kan buat nikah. Gimana?”

      Kanaya menarik tangannya dengan cepat, melirik orang-orang dengan ekor matanya. Tak ada yang menoleh pada mereka, tapi entah mengapa Kanaya merasa menjadi pusat perhatian sekarang. “Nggak usah bercandaan kayak gitu deh Ya, kita ini baru kenal dua bulan.”

     “Ya terus kenapa? Gue single dan lo single, gue nyaman sama lo dan gue yakin lo juga nyaman kan sama gue?”

     “Ya tapi nggak segesit ini juga kali.”

     Surya membuka mulutnya dan tertawa, menatap Kanaya dengan wajah lucu seakan Kanaya baru saja mengatakan kalau bumi itu jajaran genjang. “Lah cowok kan emang harus gesit, dan gue ini emang cowok sejati.” Dia menatap mata Kanaya. “Terima ajalah kalau nggak mau nyesel. Gue pastiin ya, lo nggak bakal temuin cowok sebaik gue di manapun. Gue setia, mapan, tampan, dan bertanggung jawab.”

     “Idih, PD banget.”

     “Tapi mau, kan?”

***

    Kanaya tanpa sadar tertawa. Mengingat semua kenangannya dengan Surya selalu bisa membuatnya tertawa. Mengingat tawanya yang renyah, kepercayaan dirinya, aroma tubuhnya, dan tentu saja cintanya.

        Mereka menikah tiga bulan kemudian, tanpa pesta yang mewah namun tentu saja sangat berkesan. Kanaya tertawa sepanjang hari, merangkul lengan Surya dan beberapa kali menyandarkan kepalanya di bahu nyaman lelaki itu, tersenyum dan menunjukkan pada dunia bahwa dia adalah wanita paling bahagia.

        Surya pun tak kalah memukau.  Telapak tangannya yang hangat menggenggam tangan Kanaya, senyumnya mengembang sempurna di wajahnya yang bersih dan berkilau. Kanaya yakin, jutaan wanita yang melihat mereka saat itu pasti iri padanya, pada kecantikannya dan tentu saja juga pada ketampanan Surya.

        Sayangnya, waktu berlalu seperti berlari, dan semuanya memudar sekarang. Tak ada tawa memukau Surya, atau bahkan senyum malu-malu Kanaya. Kanaya tak tahu bagaimana dirinya terlihat sekarang, selain tentu saja berat badannya bertambah dan dia terlihat jauh lebih tua. Tapi di matanya Surya tidak jauh lebih baik. Bahunya yang kokoh, sekarang selalu menggantung lemah setiap kali dia tiba di rumah, seakan bahu itu sudah sangat kelelahan menahan seribu beban di luar sana. Wajahnya kering, sesekali bahkan dipenuhi janggut tipis sampai Bosnya memperingatkannya untuk membersihkan wajahnya. Rambutnya kusut dan berantakan. Surya terlihat lelah, dan Kanaya tahu dia adalah salah satu penyebabnya.

     Terkadang Kanaya menyesali keputusan untuk berhenti bekerja dan memilih menjadi Ibu Rumah Tangga hanya dua bulan sejak mereka menikah. Menyesal mengapa harus melepaskan sumber penghasilannya dan membebankan semuanya pada Surya. Kanaya tahu pekerjaan Surya di luar sana tidaklah mudah, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia dan anak-anaknya butuh uang.

      “Nay, kamu ngapain sih? Lihat nih Aryan, dia keluar dan jatuh di selokan!”

***