I Tell You One Time

I Tell You One Time

Pariskha Aradi

5

Kini kamar rawat menyisakan mereka berdua, hening, dan kalimat yang tertahan di bibir masing-masing. Sekian detik Franaya tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Tak jauh beda, Aldi pun sengaja menyibukkan diri mengamati beberapa pasien yang duduk di taman sana. Ia masih membelakangi Franaya.

Seperti kata pepatah lawas, bangkai mau ditutupi serapi apa pun, baunya tetap akan tercium juga.

"Sudah tahu kecacatan fatalnya Aldi Mahesa?" Aldi mengenyahkan jeda hening yang menjerat mereka.

Franaya menunduk, meremas jemarinya. Semua berawal dari ia yang sangat gegabah dalam bertindak. Namun, kalau bukan karena pelarian ke Papandayan, ia mungkin tidak akan pernah mengetahui semua kebenaran serta kejelasan tentang Aldi Mahesa. Kerumitan di antara mereka pun mungkin lebih parah.

"Aku minta maaf, karena malam itu aku terlalu kekanakan."

"Enggak masalah, pada akhirnya kamu juga akan pergi. Aku ini cuma salah satu pasien rumah sakit jiwa."

Sepasang mata Franaya melebar sempurna. Ia masih ingat, laki-laki itu punya banyak kata-kata tajam. Franaya mengembuskan napas perlahan, mencoba memahami kondisi yang laki-laki itu alami. Kemungkinan ini adalah cara Aldi Mahesa mempertahankan ego.

"Jadi bagaimana? Aku bisa melepas kamu detik ini kalau kamu ingin bebas," lanjut Aldi dari bahu.

Alih-alih merasa terancam, Franaya melangkah santai dan berdiri di belakang laki-laki itu. "Oh, jadi ini ya Aldi Mahesa yang asli. Selain keras kepala, dia juga keras hati."

Laki-laki yang biasa Franaya lihat dalam balutan kemeja rapi, atau kaus, dan jaket. Kini mengenakan pakaian yang sama dengan pasien-pasien di koridor yang ia lewati bersama Bang Chandra. Akan tetapi, laki-laki yang mencintai motor kopling, band Green Day, dan seblak Bandung itu masih orang yang sama bagi Franaya.

"Iya," sahut Aldi tanpa ragu.

Masa bodoh akan tanggapan Franaya. Perempuan itu bisa melanjutkan hidupnya lagi nanti. Menikah, punya anak, dan bahagia. Aldi bukanlah orang yang bersedia mewujudkan semua itu untuk Franaya.

"Tapi sepertinya lebih ke pengecut, pecundang, dan orang yang enggak bertanggungjawab," tutur Franaya.

"Terserah. Kamu pulang sana."

"Buat apa aku pulang? Ada anak kecil yang harus aku urus di sini."

"Saya bukan anak kecil."

Franaya tertawa sambil menyilangkan tangan di dada. Ia sengaja menggumam panjang. "Tapi kamu mirip anak kecil detik ini, Engineer Aldi Mahesa."

"Terserah."

Sesudah itu Aldi justru merasakan hangat di punggungnya. Sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan akan dilakukan perempuan itu setelah semua terkuak.

"I won't go nowhere." Franaya menyandarkan pipinya ke punggung Aldi. Ia tak peduli jika sedetik kemudian laki-laki itu melepaskan pelukannya secara kasar. Kalau saja Franaya tahu, ia pasti melakukan hal ini sejak lama.

Pelukan perempuan itu bukan sejenis rantai kuat yang dapat mengikat erat. Kendati demikian, Aldi kesulitan menepis. Matanya justru terpejam, ia membiarkan hangat pelukan Franaya menggantikan segala frustrasi. "Saya bukan orang yang tepat. Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau, Franaya."

"This is me, Aldi Mahesa. Trying to make you realize."

"Don't even try, Franaya."

Kalimat Aldi menggantung di sana. Walaupun terdengar sangat menyebalkan ia akan tetap mencoba segala upaya untuk membuat Aldi menyadari sesuatu.

***

Halo, saya Pariskha Aradi. Penulis Newbie. Ini merupakan karya tulis pertama saya di Cabaca :)

Semoga kamu menikmati cerita ini :)

Have a nice day~