I Kissed My Boss

I Kissed My Boss

Maria Perdana

5

ANITA

“Gue tantangin lo nyium cowok mana pun di kelab ini! Semua cowok kecuali Tri, ya!” seru seorang wanita di sampingku. Perempuan itu tak lain adalah rekan kerja sekaligus teman dekatku, Ava. Rambut cokelat terang tebal yang biasa dibiarkan tergerai kini tergulung di puncak kepala.

“Ha?!” Aku balas berteriak. Bukannya marah. Aku hanya merasa mulai tuli akibat kencangnya musik di kelab malam ini.

Ava memutar bola mata. Dia menyerongkan badan. Bibirnya berhenti hanya beberapa sentimeter dari telingaku. Merasa Ava berada terlampau dekat, aku pun sedikit menghindar. Sayangnya, perempuan itu sudah siaga. Tangannya menahan bahuku.

“Gue bilang, cium satu cowok di kelab ini!” Meski sudah cukup lantang, suara Ava tetap saja teredam keriuhan di kelab. Aku tidak memahami mengapa tadi aku pasrah saja diseret manusia ini ke tempat hiburan malam.

“Harus banget Anita nyium cowok asing? Apa nggak ada tantangan lain, sih?!” Yang protes itu bernama Tri. Singkatan dari Dimitri. Bukan karena dia anak ketiga di keluarganya. Dia hanya malas namanya disingkat Dim.

“Nggak usah jelly gitu, dong.” Ava menyikut pelan lengan Tri.

Tri mengerling tajam. “Gue nggak cemburu. Cuma lo bikin teman kita kelihatan kayak cewek murahan dengan nyium sembarang cowok.”

Who cares?!”

Well, we should!”

Ava mengibaskan tangan. “It’s not like they’re going to see each other again if the kiss went terribly wrong. Lagian di sini gelap! Wajah Anita sama cowok itu nggak bakal kelihatan jelas.”

I still think this is a bad idea.” Tri menggeleng sebelum menenggak birnya.

“Lo nggak bakal mikir ini ide gila kalau gue nyuruh Anita nyium lo,” seloroh Ava.

Tri tidak menanggapi. Dia pasti berpikir sama denganku. Membantah Ava adalah tindakan sia-sia. Sebab, perempuan itu selalu punya jawaban untuk setiap sanggahan.

“Gimana?” Ava menyenggolku. “Katanya lo bilang lo bisa fun juga.”

I am fun!” balasku, tidak terima Ava berpikir aku bukan orang yang bisa bersenang-senang.

“Ingat, An. Being fun doesn’t mean doing random, degrading things.” Tri memperingatkan dengan nada sinis.

Ava kembali memutar bola mata. Entah mengapa perempuan ini gemar sekali melakukan hal itu. Raut malasnya hanya bertahan sesaat sebelum dia menatapku lagi, menagih jawaban atas tantangannya. Seandainya aku tahu malam ini Ava akan mengajukan ide-ide gila seperti ini, mungkin aku memilih batal ikut saat perempuan itu mengajakku pergi sepulang kerja.

Saat tahu Ava ingin mampir ke sebuah kelab malam yang baru dibuka di area Tangerang Selatan, aku sudah ingin menolak. Pasalnya, kelab malam bukan tempat favoritku untuk menghabiskan akhir pekan. Aku lebih suka minum java chip frapuccino di area nongkrong terbuka di sebuah mal di dekat kantor dibanding ke tempat hiburan malam. Aku pikir Tri juga bisa saja menemani Ava. Setidaknya, perempuan itu tidak akan sendiri. Namun, Ava benar-benar tidak membuatku lolos mudah.

“Lo nggak asyik, ah! Masa nggak mau nemanin teman sendiri?” sindirnya tadi sore. Dia masih menambahkan, “Sekali-kali nggak ada salahnya bersenang-senang. Lo nggak pernah pergi jalan-jalan kalau nggak ada yang ngajak. Lo juga jarang banget ngajak kami jalan-jalan. Masa lo nggak bosan sama hidup monoton lo yang isinya cuma kantor-apartemen?”

Seandainya hanya perlu menjawab pertanyaan terakhir itu, aku bisa-bisa saja mengatakan tidak keberatan dengan gaya hidup membosankan ini. Hanya saja kemudian, Ava tak henti merajuk. Dia tidak lelah menggangguku sepanjang hari.

Kalau sudah begini, bagaimana caranya aku menolak? Terlebih setelah Tri enggan pergi tanpaku. Katanya, dia tidak mau dituduh macam-macam bila Ava sampai mabuk dan dia ditinggalkan berdua saja dengan perempuan itu.

Tak berapa lama setelah tiba di kelab, Ava langsung memesan cocktail yang berbeda-beda. Bahkan menawariku dan Tri berbagai minuman dengan harga yang tidak murah. Kami memang baru menerima bonus dari hasil penilaian kerja, tetapi tetap saja. Menghambur-hamburkan uang bonus bukanlah gayaku. Aku butuh mengumpulkan pundi-pundi demi masa tua tenang. Itulah mengapa aku tidak keberatan hidupku berputar di kantor dan apartemen.

Kalau aku punya cukup waktu buat istirahat, aku bisa bekerja lebih produktif. Kerja produktif sama dengan penilaian kerja yang baik. Artinya, aku punya kesempatan besar mempertahankan jabatan. Punya posisi di perusahaan sama dengan punya uang. Iya, iya. Pemikiran itu sangat menyederhanakan sesuatu yang rumit, tetapi setidaknya kalian melihat hubungannya, bukan? Aku tidak mengerti apa yang salah dengan tabiat menyukai rutinitas.

You know what? Tri benar. Ganti tantangannya kek,” balasku.

Boo!” seru Ava tiba-tiba. Dia lantas menunjukku dan kembali berteriak, “Boring, boring, boring!”

Mantra itu terus dikumandangkannya sampai semua orang yang berada di sekitar kami menatapku. Seiring waktu, bukannya Ava memelankan suara, perempuan ramping itu malah makin menjadi-jadi. Dia sampai berdiri dan mengajak pengunjung yang lewat untuk ikut mempermalukanku.

Aku berusaha menariknya. Menyuruhnya kembali duduk. Tri ikut membantu. Sayangnya, Ava tampak tidak peduli sama sekali.

“Oke! Gue terima tantangan lo! Now, would you stop?!” hardikku, tak kuasa menanggung malu dan kekesalan. Aku menarik lengan Ava. Tak lagi peduli bila aku menyakitinya. “Tapi abis itu, kita pergi dari sini.”

Ava menaikkan alis. Menelisik kesungguhanku. Akhirnya, perempuan itu duduk dengan senyum penuh arti tersungging di bibir. Pertanda dia yakin aku memang berniat menyanggupi tantangannya.

“Apa-apaan, sih, lo?!” sergah Tri sambil menyentak tangan Ava. Lagi, perempuan itu bersikap tak acuh.

Aku mengangkat tangan sebelum Tri bisa protes. “Gue kelarin tantangan ini biar kita bisa cepat balik. I’ll be fine. Don’t worry.”

“Tuh. Cowok-cowok yang pada berdiri di sana.”

Dengan dagunya, Ava menunjuk sekumpulan lelaki yang berkumpul di sisi kiri kelab. Aku pun mengikuti arah pandangnya. Menangkap sekelompok laki-laki yang mengitari satu meja bundar. Dua di antara mereka tengah duduk. Sedangkan dua lainnya berdiri. Mereka terlihat asyik berbincang. Aku jadi sungkan kalau harus menyela pembicaraan mereka. Hanya saja, bila melihat laki-laki di sekeliling kami, cuma mereka yang terlihat paling … manusiawi. Mereka tidak tampak mabuk. Terkesan tidak peduli dengan sekitar dan malah fokus pada obrolan.

“Lo cium salah satu dari mereka dan gue setuju buat pulang,” tegas Ava.

Kuhela napas dalam-dalam sembari mengambil satu sloki tequila milik Ava. Kemudian, aku menyambar sloki milik Tri dan menenggaknya sebelum mengisap sari limun untuk menetralisasi sensasi terbakar dari tequila. Tri masih berusaha membujuk. Mengatakan aku tidak perlu menyelesaikan tantangan. Namun, aku juga mesti menyelamatkan harga diri akibat tingkah Ava tadi.

Di setiap langkah, aku berusaha menelan mentah-mentah harga diri. Aku pasrah kehilangan muka saat telunjukku mengetuk pundak salah satu pria yang tengah berdiri. Lelaki berambut pendek itu tersentak. Dia membalikkan badan dengan cepat. Mata kecilnya terbelalak saat tatapan kami bertemu. Ekspresi bingung melapisi wajahnya.

“Hai,” sapaku.

“H-hai,” balasnya ragu, seolah tidak yakin aku tengah berbicara dengannya. Teman-temannya pun ikut diam. Mengawasiku dengan penasaran.

“Kamu punya pacar? Istri?”

“Ha?” tanggapnya cepat. Dahinya berkerut dalam. Tubuhnya ditarik ke belakang. Menunjukkan ketidakpercayaan pada pertanyaan yang kuajukan. Kalau jadi dia, aku mungkin juga menganggap aku orang aneh. Kenal saja tidak. Tiba-tiba sudah bertanya hal-hal personal.

Mau tidak mau, aku menjelaskan tantangan yang diberikan Ava padaku. Sebagai bentuk rasa hormat, aku juga perlu memberitahu calon mangsa kalau dia sebenarnya menjadi bagian dari tantangan konyol yang diajukan temanku. Bukan karena aku menganggapnya sangat menarik sampai aku tidak bisa mengontrol diri untuk menciumnya. Meski, ya, harus kuakui, lelaki ini memang cukup tampan. Rapi dengan blazer berwarna abu yang membungkus kaus hitam polos. Kaki kurusnya makin terlihat panjang dengan celana gelap.

“Jadi, kalau kamu nggak keberatan, saya mau minta izin mencium kamu. Kalau saya nggak melakukannya, teman saya nggak mau pulang.” Aku menatapnya penuh harap. “Please.”

Laki-laki itu masih bergeming. Pandangannya berlari dari aku ke Ava yang hanya berjarak beberapa meter di belakangku. Urat-urat tegangnya memang sudah sedikit mengendur. Akan tetapi, dia masih terlihat menjaga jarak.

“Oh. Jadi itu yang bikin temanmu ribut banget tadi?”

Awalnya, aku berpikir pria ini tengah menyindir kami. Akan tetapi, sorot jenaka yang dilancarkan matanya justru memperlihatkan dirinya yang cukup terhibur melihat tingkah Ava. Senyum sumirnya muncul akibat menahan tawa geli. Otot-otot kaku di tubuhku perlahan jadi rileks. Aku meringis bersalah.

“Ya. Sorry about that,” balasku lirih.

Say that again?!” teriaknya.

Aku mengerjap. Berpikir pria ini kembali menyuruhku minta maaf. Namun, melihat raut bingungnya, aku akhirnya mengerti kalau dia benar-benar tidak mendengar ucapanku tadi. Salahku juga, sih. Suara kecilku tertelan musik memekakkan kelab malam.

Aku memaksimalkan volume suara. “I said I was sorry about my friend! Kalau lagi normal, dia nggak kayak begitu kok. Dia cuma nyusahin orang kalau lagi mabuk.”

Lelaki itu menawarkan tatapan teduh saat mendengkus geli. “Kamu tahu kamu nggak perlu bikin excuse apa pun buat temanmu, kan? Dia perempuan dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. You don’t have to explain anything.”

Perkataan laki-laki ini sederhana. Hanya saja, tidak pernah ada satu orang pun yang pernah mengatakan hal seperti itu padaku. Acap kali ketika Ava membuat ulah di kelab malam, aku dan Tri yang menyampah telinga orang dengan permintaan maaf. Ava, sih, tidak memahami aksinya sendiri. Sedangkan aku dan Tri yang harus menanggung malu.

“Y-ya.” Menyadari pria itu kembali kesulitan mendengarku, aku pun kembali mengencangkan suara. “Saya tahu.”

Dia manggut-manggut. “Oke. So now, where were we?”

Aku tergugu. Melihat bahasa tubuhnya, aku merasa lelaki ini memberiku kesempatan untuk mengubah pikiran. Akan tetapi, aku terlalu lelah menghadapi Ava. Aku tidak ingin berdebat panjang dengan perempuan itu. Urat maluku sedang tidak panjang malam ini. Aku hanya ingin menyudahi malam dan pulang.

“Kalau kamu single, I need to kiss you, so I can go home,” jawabku pasti.

Meski penerangan sedang remang, aku masih bisa menangkap keraguan pria jangkung itu. Aku pikir dia gamang karena dia memang sudah punya istri atau pacar. Namun, teman-temannya bersorak dengan yakin kalau dia lajang. Lelaki itu juga tidak membantah. Sebut aku naif, tetapi aku memilih percaya saja.

“Apa ini bakal jadi ciuman pertamamu?” tanyanya.

Dahiku mengernyit. “Kenapa memangnya?”

Dia mengedikkan bahu sekilas. “I just don’t want to steal a lady’s first kiss.”

Oke, dia menyebutku lady. Bukan woman atau bahkan girl. Aku bohong kalau bilang tidak terkesima pada sikap sopannya. Apalagi setelah kemudian, dia menjelaskan kalau dia percaya ciuman pertama sepatutnya disimpan untuk seseorang yang spesial. Aku baru berbicara dengan pria ini selama lima menit, tetapi serbuan kata-kata manisnya tak ayal mengirimkan desiran lembut di batin.

“Saya udah pernah ciuman sebelumnya.”

Sambil menghela napas panjang, dia melarikan jari-jari di tatanan rambut yang dibelah tengah. Tangannya berhenti di tengkuk. Matanya masih mengunci tatapanku. Sebentar kemudian, dia mengangkat kedua lengan.

Okay, then. I’m ready when you are.”

Aku tahu aku berharap dia mengizinkanku menciumnya agar aku tidak perlu berburu laki-laki lain di dalam kelab ini. Namun, tetap saja. Begitu persetujuan itu terucap, aku justru tergagap-gagap. Aku harus menggunakan seluruh energi di tubuh untuk mengangkat kaki. Melenyapkan sisa ruang di antara aku dan pria ini. Dia bergeming saat aku mendaratkan telapak tangan di kerah blazernya. Lalu, insting tampaknya telanjur terbawa suasana. Tiba-tiba saja, persendian menggerakkan tanganku menjelajah dadanya sesaat. Tindakanku itu mendorong ujung bibir lelaki itu ke atas.

Like what you touch?”

Karena wajah kami hanya berjarak satu buku jari, aku bisa mendengar jelas bisikannya. Aku bahkan bisa menyamakan warna iris matanya dengan cokelat hangat yang biasa kuseduh di apartemen saat hujan deras.

“Maaf.”

Dia bergumam. “Saya nggak keberatan.” Suaranya selembut angin sepoi yang membelai daun telinga. Ditambah dengan senyum tulusnya, sendi-sendi di lututku langsung kendur.

Sekali lagi kata maaf lolos dari mulut. Dia terlihat ingin menanggapi, tetapi aku segera membungkamnya. Kujepit bibir atasnya dengan bibirku. Pelan-pelan, aku menarik diri. Seharusnya, aku menyudahi ciuman ini. Akan tetapi, hasrat telah merajai akal sehat. Kini, aku melumat bibir bawahnya. Mekanisme refleks tubuh ikut mengomando lidahku berkeliaran di dalam mulut lelaki asing ini. Merasai sisa-sisa rasa bourbon yang tertinggal di lidahnya. Menciumnya tak terasa canggung. It feels so natural. Bibir kami terasa pas saat mengisi ruang hampa di antara mulut masing-masing.

Selama beberapa detik, aku sukses mendominasi pagutan bibir kami. Lalu tiba-tiba, pria itu mengambil alih. Dia mulai membalas ciumanku. Awalnya dia bergerak pelan. Lambat laun, ciumannya makin dalam dan―oh!

Damn!

This man knows how to kiss a woman!

Pekikanku tertahan saat laki-laki itu memperdalam kecupan. Aksi saling mendorong kepala dengan ciuman pun terjadi. Samar-samar aku bisa mendengar sorakan di sekitar kami. Sayangnya, sikap peduliku sudah memuai. Aku telanjur menikmati bibir kami yang tak henti saling melumat seolah ini kali terakhir kami akan berciuman. Ya, mungkin pemikiran itu benar juga. Entah kapan lagi kami akan bersua atau aku dipertemukan dengan pria yang mampu menciumku seperti ini lagi, kan?

Ingin rasanya aku meneruskan pertarungan bibir dan lidah ini. Hanya saja, kepalaku sudah sangat pengar akibat kekurangan oksigen. Aku menarik diri. Memenuhi paru-paru dengan sebanyak-banyaknya udara. Mengatur napas agar otak kebagian jatah oksigen sebelum saraf-saraf di dalam tempurung kepala mulai mati.

Pria itu membuka mata. Bibirnya membentuk lengkungan tipis. Sorot teduhnya benar-benar tidak membantuku. Kakiku jadi makin lemas. Bukannya menghindar, aku malah terus menatap lelaki itu.

Hey there,” bisiknya.

“H-hai,” jawabku sambil terengah-engah. “W-wow.” Aku menarik satu tangan yang masih bertengger di dadanya. Telunjuk lantas terangkat. “I-I need a minute.”

It’s okay. Take your time. I’ve got you.”

Detik itu, aku baru menyadari bahwa lengan laki-laki itu sudah melingkar di punggungku. Menjagaku tetap stabil di lantai kelab yang mulai terasa bagai ombak. Dia juga tidak keberatan kala aku berpegang pada blazernya.

“Semoga kamu nggak kecewa,” ucapnya.

“Dengan ciuman kayak gitu?” Aku mendengkus kencang. “Saya bisa menciummu sepanjang hari.”

Dia terkekeh. Saat lampu sorot melewati wajahnya, aku menangkap rona merah menembus kulit cokelatnya. Aku hanya mampu memujinya yang menggemaskan dalam hati. Enggan mempermalukan diri lagi dengan berkata-kata spontan.

“Kamu bisa melepas saya sekarang.”

Harus kusingkirkan rasa kecewa saat mengatakan hal itu. Gerakan pria itu juga patah-patah saat hendak menarik tangan dari punggungku, membuatku besar kepala lantaran aku berpikir dia pun belum ingin menyudahi momen kami. Namun, aku harus pergi sekarang. Teman-temanku menungguku. Aku harus membawa Ava pulang.

Thank you,” kataku.

Senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sure. It was nice meeting―well, and kissing you, too.”

Aku tak kuasa menahan tawa geli. Tak membantah kalau ciuman kami memang sungguh menyenangkan. Sekalipun ciuman tadi hanya bagian dari tantangan.

Aku memaksa diri untuk memutar tubuh. Menjauh dari lelaki itu dan menghampiri teman-temanku. Ava sudah kegirangan karena aku telah menuntaskan tantangannya. Sementara Tri masih memperhatikan laki-laki yang kucium tadi. Aku mempertanyakan tingkah anehnya itu.

“Dia kelihatan familier,” jawabnya.

“Kalau lagi mabuk mah semua orang kelihatan sama di kelab malam.” Ava menyahut.

Di waktu bersamaan, ucapan Ava itu menumbuhkan inisiatifku untuk memesan ojek daring. Kami bertiga sama-sama sudah menenggak minuman keras malam ini. Rasanya tidak bijak bila kami mengendarai mobil. Tri setuju. Sementara Ava sudah masa bodoh. Toh, dia juga memang tidak pernah menyetir mobil sendiri. Dia selalu mengandalkan moda transportasi publik atau ojek daring.

Saat berjalan keluar kelab, mau tidak mau, kami harus melewati si pria jangkung dan teman-temannya. Salah satu kawannya menyenggol lelaki itu, membuatnya menoleh. Tatapan kami kembali bertemu. Senyum tipis dipersembahkannya untukku.

Ketika kami sejajar dengan gerombolan laki-laki itu, tiba-tiba Ava meletakkan sebuah tisu di meja. Sepintas melihat, aku melihat deretan nomor tertulis di sana. Angka yang sangat kukenali karena itu adalah nomor ponselku!

“Namanya Anita. Kalau-kalau lo mau melanjutkan yang tadi,” seru Ava.

Urat-urat bola mataku rasanya ingin putus saat itu juga. Aku menyentak lengan Ava yang tengah kugenggam. Namun tentu saja, perempuan itu tidak peduli. Fokusku berpindah ke laki-laki bermata cokelat itu. Bermaksud hendak mengambil tisu tadi. Akan tetapi, tisu itu sudah dalam perjalanan menuju saku dalam blazer sang pria. Kalau sudah begini, mana mungkin aku memintanya kembali?

Well, good night,” balasnya.

Tak ingin kian mempermalukan diri, aku pun meminta maaf, lalu menyeret Ava sekuat tenaga. Sudah tak kupedulikan lagi dia yang mengaduh kesakitan. Aku sudah kesal padanya yang tak hanya menyuruhku mencium pria asing, tetapi juga sembarangan membagikan nomor ponselku. Sayangnya, menumpahkan kejengkelan pada orang mabuk juga akan sia-sia.

“Sumpah! Gue rasanya pernah lihat cowok itu, An. Lo tanya namanya siapa?” Tri rupanya masih belum tenang karena rasa penasarannya tidak lekas terjawab.

Aku mengerutkan kening sembari mengangkat tubuh Ava yang makin merosot. Sungguh, kalau dia bukan temanku, sudah kutinggalkan dia tidur di atas trotoar. Menyusahkan saja!

“Kenapa lo mikir gue bakal kenalan sama dia? It’s not like I’m going to meet him again.”

“Serius, An! Gue pernah lihat dia―”

“Tri, please!” sergahku. Let it go, will you? Lebih baik lo bantuin gue ngangkat Ava. Gue nggak kuat!”

“Oh! Sorry, sorry.”

Untungnya, Tri menurut. Dia tidak lagi mengungkit-ungkit pria yang kucium tadi sampai kami menurunkan Ava di rumah kontrakannya. Dia juga masih bungkam selama menemaniku kembali ke apartemenku. Namun, aku bisa merasakan aura tegangnya. Lelaki tadi tampaknya benar-benar mengganggu pikiran Tri. Kegusaran temanku ini lama-kelamaan juga membuatku jadi ikut risau. Hanya saja, bagaimana caraku mencari tahu?

Pasalnya, laki-laki itu juga tidak pernah menghubungiku.

 

***

 

Perempuan berambut cokelat terang yang baru melewati kubikelku mengangkat tangan. Seolah memintaku tidak menyelanya berbicara.

“Gue tahu gue udah berulang kali minta maaf ke lo. But, still, I feel so bad. Gue perlu minta maaf sama lo face-to-face. Gue udah pengin nyamperin lo di apartemen di hari Minggu karena Sabtu gue hangover parah. Tapi, gue tahu lo nggak menerima tamu di hari Minggu. So, I’m just going to say it now. I’m so sorry, An.”

Aku hanya bergumam mengiakan. Sama sekali tidak mencoba menenangkan Ava. Tidak pula berupaya mempermanis ucapan dengan mengatakan kalau apa yang dilakukannya dua malam lalu tidak membuatku seakan kehilangan harga diri. Bukan karena aku seorang pendendam atau tidak peduli pada perasaan Ava. Kami hanya teman yang tidak pernah menutup-nutupi perasaan kami pada satu sama lain. Aku hanya bisa melakukan hal itu pada Ava dan Tri. Rasanya itulah yang membuat persahabatan kami cukup langgeng. Aku tidak pernah harus menekan emosi apa pun di hadapan mereka.

Kalau kesal, ya, kesal saja.

“Maafin gue?” pinta Ava sambil menyodorkan sebungkus cokelat hitam 76%.

“Dasar, manipulatif,” sungutku seraya menyambar cokelat itu, membuat Ava menyengir bahagia.

“Halo, halo! Pagi, semuanya!” Suara itu datang tak jauh dari pintu masuk ruang kantor. Terdengar tidak asing. Suaranya seperti Pak Otto―sang kepala bagian. Seingatku, dia memang dijadwalkan memperkenalkan atasan kami yang baru.

Baik aku dan Ava sama-sama menegakkan punggung. Saat itu, tatapanku langsung bertumbukan dengan Tri. Posisi kubikel kami sebenarnya tidak dekat. Jarak meja Tri hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Akan tetapi, aku masih bisa menangkap wajah lelaki itu yang mendadak jadi pucat pasi.

“Pagi ini, saya mau memperkenalkan atasan baru kalian. Pak Risang Endaru. Selamat datang, Pak.”

Lokasi kubikelku di sisi kiri ruangan membuatku tidak bisa melihat dengan jelas rupa atasan baru kami. Terlebih karena dia diperkenalkan lebih dulu di sisi kanan ruang kantor.

Lalu, ketika mereka membalikkan badan dan berjalan ke area kerjaku, aku langsung memahami mengapa Tri tampak seperti baru melihat hantu. Pria yang diperkenalkan sebagai Pak Risang itu belum menyadari kejutan apa yang akan dihadapinya karena dia masih berbincang dengan Pak Otto. Saat dia tengah memindai ruang kantor, pandangannya berhenti padaku. Detik itu juga, matanya terbeliak. Langkahnya ikut terhenti, membuatnya tertinggal beberapa langkah di belakang Pak Otto.

Lantai kantor rasanya menyedot habis tenagaku. Jantungku menyerang tulang rusuk dengan membabi buta ketika lelaki itu kembali melanjutkan langkah. Makin dekat pria itu, makin habis pula harga diriku. Wajahku memanas. Oksigen menipis saat dua manusia itu berdiri tepat di depan kubikelku.

Pak Otto kembali memperkenalkan Pak Risang. Kepala HRD yang baru. Atasan langsungku. Bosku. Pria yang kucium Jumat lalu di kelab malam! Aku mencoba mencerna serentetan kalimat pendek itu sesaat.

Ya, Tuhan! I can’t believe I kissed my boss!

“Seharian ini, Pak Risang bakal mengadakan one-on-one meeting. Jadi, Beliau akan ketemu kalian satu per satu buat kenalan sama kalian….”

Omongan Pak Otto sudah bagai angin lalu. Konsentrasiku buyar. Otakku hanya penuh dengan kenyataan bahwa aku telah berciuman panas dengan atasanku sendiri. Kalau bukan karena Ava yang menarikku untuk duduk, aku mungkin tidak sadar dua pria itu telah lenyap dari hadapanku.

“An, lo kenapa? Tangan lo dingin banget.” Ada nada khawatir yang memenuhi pertanyaan Ava.

Aku menoleh perlahan sambil membungkuk. Berusaha menyembunyikan diri sepenuhnya di balik kubikel. Telunjukku terarah ke arah ruangan kepala Personalia.

“Pak Risang…,” ucapku lemah.

“Ya?” Ava terlihat bingung.

“Dia cowok yang gue cium di kelab.”

Ava terkesiap. Matanya terbuka lebar. Aku sampai takut bola matanya menggelinding keluar. Untungnya, dia masih sadar diri dengan tidak memekik kencang-kencang.

“Oh, shoot!” Umpatan pelan Ava tertutup kedua tangannya.

Aku menekan bibir sambil melempar punggung ke sandaran kursi dengan pasrah.

Oh, tidak bisakah bumi menelanku saja sekarang?