Hujan dan Garis Waktu

Hujan dan Garis Waktu

Alfaden

4.6

Bunyi sendok dan garpu yang berdenting dengan piring menjadi hiasan malam di sudut Kota Semarang yang masih dijejali hiruk-pikuk manusia. Mulut-mulut pengunjung restoran Java the Hut tak berhenti mengunyah setiap hidangan yang tersaji di piring masing-masing. Appetizer, main course, hingga dessert hilir mudik dari dapur hingga ke meja-meja penuh rasa harap dan lapar yang menggebu. Lalu, ketika pelayan meletakkan piring-piring tersebut di hadapan pengunjung, terucap kata terima kasih dan pujian terhadap masakan yang bercita rasa tinggi.

Tak banyak yang tahu soal bagaimana makanan mereka diolah. Tentang betapa chaos dapur ketika restoran ramai dikunjungi. Pos kerja setiap divisi yang harus ribut terlebih dahulu demi sebuah risotto yang tidak hangus, tentang kelabakannya seorang chef de partie bagian sup karena kekurangan daging untuk kuah kaldu, atau makian seorang executive chef yang secara tidak sengaja mengamati pekerjaan mereka yang sangat kacau.

“Woi! Itu panci dicuci dulu!” Lelaki bertubuh jangkung dengan kulit putih dan kacamata yang menggantung di chef jacket-nya berteriak lantang di saat kedua matanya menangkap panci menumpuk di wastafel. Iris matanya yang hitam menyala garang ketika tidak ada satu pun orang yang berdiri di wash station. “Ini orangnya ke mana? Panci numpuk buat dipakai, kok, enggak ada yang peduli sama sekali?”

Hans namanya. Pemilik restoran Java the Hut dan sekaligus merangkap sebagai executive chef di sana. Bukan kali pertama lelaki dengan sorot mata tajam menghunus itu berteriak seperti singa di tengah hutan yang kelaparan. Bisa dibilang, hampir setiap menit Hans selalu bertindak ketika ada sesuatu yang mengganjal di matanya. Seperti sekarang ini. Tanpa basa-basi, diletakkannya stainless bowl berisi adonan clam chowder di atas konter dengan emosi. “Mosok kudu aku sing gerak! Enggak ada tanggung jawabnya sama sekali!” gerutuan yang mengalir dari mulut Hans semakin meliar.

Digulungnya lengan jaket koki yang dikenakan, lantas dengan cekatan diambilnya panci yang menggunung itu satu per satu dan mulai dicuci dengan makian yang terus bergulir dari bibirnya. Beberapa koki di dapur hanya memandangi Hans dengan tatapan bergidik, merasa kasihan dengan orang yang bertugas di pos cuci sebab menghilang ketika kedatangan Hans. Mereka saling curi pandang, berbisik, dan mengira-ngira hukuman apa yang akan diberikan oleh Hans kepada orang-orang yang ada di wash station.

“Waduh, mampus si Ririn sama Hardi. Kena omel Pak Hans mesthi.” Sashya menyenggol lengan Zahira yang sedang fokus membuat lemon meringue untuk cheesecake-nya. “Kok, bisa-bisanya ngilang pas jam makan malam, lho.”

Zahira menoleh, mengangkat kedua bahunya seraya melempar senyum masam pada Sashya. “Iya ... kasihan, sih. Cuma salah mereka sendiri, pergi di jam rawan kaya gini. Kan, udah dibilangin sama banyak orang kalau enggak boleh keluar lama-lama pas jam makan malam,” terang Zahira sambil kembali mengaduk adonan meringue dengan mixer. Putih telur yang diaduknya mulai mengembang bersama wangi kulit lemon yang ia parut ke dalamnya. Ia mencoba untuk masa bodoh dengan omelan Hans yang kian lama kian meninggi. Zahira bahkan berpikir, apakah lelaki itu tidak takut kena darah tinggi karena sering marah-marah.

“Punya riwayat penyakit darah tinggi pasti, nih, Pak Hans. Marah-marah mulu!” Sashya menyeletuk dari konter sebelah Zahira. Sontak, Zahira berjengit, pikirannya seperti tersambung ke otak Sashya. Perempuan dengan rambut sebahu itu mendekati Zahira, berbisik dengan pelan, “Kayanya Pak Hans marah-marah gara-gara batal nikah, deh.”

Di antara rekan kerja Zahira di dapur, Sashya adalah orang yang paling mengerti soal gosip dan rumor yang beredar di sekitar. Meski Zahira selalu mencoba menepis gibah yang takutnya berujung pada su’uzon tak berkesudahan, ia tak dapat memungkiri hal tersebut memang sedap untuk dikupas. Hati Zahira beristigfar, terdiam ketika Sashya hendak memulai obrolan menggoda itu. “Kamu pasti belum tahu, kan, Zah?” tanya Sashya seraya memainkan kedua alisnya naik turun.

Zahira menggigit bibir bawahnya, pura-pura tidak mendengar Sashya dan terus fokus menuangkan cream cheese ke adonan kue. Kemudian beranjak menuju oven dan menyalakannya hingga 150 derajat, mengingat oven tersebut kadang tidak akurat seperti yang diinginkan. Sashya terus saja mendekati Zahira dan mencoba untuk menariknya ke dalam obrolan menggelitik itu. “Apa, sih, Sash? Jangan ngomongin orang yang enggak-enggak, deh.” Zahira menimpali seraya memutar kedua bola matanya malas.

Pintu belakang dapur terbuka, sosok Ririn dan Hardi berjalan mengendap-endap untuk menghindari makian Hans yang sedang terbakar amarah. Zahira menangkap kedua staf dapur itu dengan pandangan tidak percaya. Heran karena sering sekali keluar dapur untuk beristirahat entah di mana. Ketika Ririn dan Hardi berjalan ke arah pos cuci, Hans dengan santai mendekati mereka dan mulai menginterogasi. Yah, habislah mereka di tangan seorang karateka bertangan besi yang berkedok menjadi seorang executive chef.

Mata Zahira memandangi kejadian tersebut dengan perasaan kasihan tapi, di sisi lain ia juga setuju jika mereka dikenakan sanksi karena sudah sering keluar di jam rawan tanpa ada izin terlebih dahulu.

“Zahira!”

Tubuh Zahira berjengit ketika Sashya menepuk pundaknya dengan kencang. Seperti ditempeleng oleh wok besar yang kerap dipakai oleh Fenti. “AstagfirullahKenapa, sih, Sash? Biasa aja, dong, ah. Ari sia, mah, sukanya gitu.” Bibirnya dikerucutkan ketika Sashya justru asyik terkekeh geli.

“Iya, maaf. Habis, kamu malah bengong. Orang aku lagi ngomongin soal Pak Hans yang batal nikah.”

“Kamu tahu berita kaya gitu dari mana, sih?” Zahira melipat kedua tangannya di depan dada. Merapikan jilbabnya yang sedikit tertarik mundur sebelum kembali berbicara. “Padahal aku enggak tahu sama sekali soal gosip-gosip kaya gituan.”

Dengan bangga Sashya mengerlingkan matanya. “Dari sumber terpercaya pokoknya. Nih, ya, aku kasih tahu. Pacarnya Pak Hans itu ketahuan selingkuh di depan mata dia. Parahnya lagi, nih, Pak Hans sendiri yang ngeliat si cewek tidur di apartemen sama cowok lain!”

Buru-buru Zahira menutup telinganya kencang dengan tangan. Ya Tuhan! Berita macam apa yang baru saja Zahira dengar dari mulut rekan kerjanya itu? Selama Zahira mengenal Hans, lelaki itu hanyalah seorang pekerja keras yang ingin mewujudkan keinginan ayahnya yang tewas ketika secara brutal dibombardir ketika kejadian bom Bali beberapa tahun silam. Pernah sekali waktu, Zahira berbincang dengan lelaki itu soal kebenciannya terhadap umat islam setelah peristiwa nahas tersebut.

Bahkan, sebelum Zahira diterima bekerja di sini, ia sempat beradu argumen dengan Hans yang memaksa Zahira untuk melepas kerudungnya ketika bekerja. Ketika dengan lantang Zahira menyerukan kekecewaannya, Hans dengan enteng berkata bahwa ia tidak ingin ada atribut islam di restorannya. Bahkan para lelaki di dapur harus sembunyi-sembunyi untuk melaksanakan kegiatan salat.

Soal batalnya pernikahan Hans yang baru saja ia dengar, mungkin peringatan dari Tuhan sebab ia sudah berlaku semena-mena dengan peraturan konyol tersebut, begitu yang Zahira pikir. Namun ketika dikilas balik, rasa-rasanya kejam sekali ketika Zahira menyangkut-pautkan hal tersebut dengan kelakuan Hans pada masa lalu.

“Zahira, itu cheesecake mau kamu biarin gosong sampai bakar restoran ini?”

Zahira mengerjap ketika sebuah suara berat menariknya kembali ke dunia nyata. Wajah garang Hans sudah berada di hadapannya, ketika tersadar, Zahira menoleh pada oven yang sudah berbunyi nyaring. Buru-buru dimatikannya oven tersebut dan dikeluarkannya cheesecake yang sedikit gosong. Apa yang baru saja Zahira pikirkan hingga melamun dan membiarkan kue tersebut hingga terlampau panggang?

Ia mengerjap, menunduk ketika mata Hans bersipandang dengannya. “Maaf, Chef. Saya ... tadi ... um ....”

Hans menghela napas, kemudian diembuskan cepat-cepat. “Bagian yang gosong kamu atur sedemikian rupa, ini kue cuma buat satu pesanan, kan?” Zahira mengangguk. “Dessert enggak perlu menggunung, ambil secukupnya dan hidangkan cepat.” Tanpa bicara lagi, Hans berlalu dan menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Sementara Zahira seperti orang linglung yang terdiam memandangi cheesecake yang baru saja keluar dari oven.

“Wow, Zah. Aku kirain kamu bakal dimarahin Pak Hans gara-gara ngelamun.” Sashya mendelik memandangi pintu ruang kerja pribadi Hans yang tertutup rapat. “Pak Hans emang bener-bener lagi banyak pikiran. Maaf, ya, aku ganggu kamu terus.”

Jika saja Hans tidak memperingatkan Zahira tentang oven yang terus menyala, mungkin nasibnya akan sama seperti Ririn dan Hardi. Beruntungnya dia tidak mendapat omelan dari atasan segarang singa hutan itu. Tapi anehnya, lelaki itu mendadak berubah dari yang garangnya minta ampun menjadi pendiam seperti yang baru saja terjadi. Apakah yang dikatakan Sashya benar adanya?

Dengan cepat Zahira menggelengkan kepalanya. “Duh, kenapa mikir yang enggak-enggak lagi, sih?” Ucapnya lamat-lamat, lantas mengambil icing pipe untuk membuat frosting dari meringue yang sudah dibuatnya.

Jam makan malam sebentar lagi berakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh lima menit. Pengunjung pun beberapa sudah meninggalkan restoran setelah kenyang menikmati hidangan yang tersedia di menu. Dapur yang tadinya berisik, kini sudah sedikit kondusif. Masing-masing pos tengah membersihkan sisa-sisa masakan yang berceceran di tempat kerja mereka, konter stainless yang belepotan oleh saus marinara kini tampak lebih bersih, panci besar yang setiap harinya mengepulkan asap untuk membuat banyak masakan mulai diletakkan di rak penyimpanan setelah dibilas bersih.

Zahira kini sedang sibuk menata stroberi ke dalam wadah, menyusunnya satu per satu setelah dicuci bersih. Setelah tumpukan stroberi itu selesai ditata dalam satu wadah, Zahira melapisinya dengan plastic wrap sebelum dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Ia tersenyum simpul ketika melihat pos pastry sudah selesai merapikan segala kegiatan sebelum restoran tutup.

Ia mengangkat dagunya, ia ingat jika sahabatnya, Martha, besok akan menjemput. Sebelum Zahira berangkat kerja, perempuan itu mewanti-wanti Zahira agar tidak memesan moda transportasi daring menuju Stasiun Poncol besok. Dari nada yang ia ucapkan, Zahira tahu betul ada sebuah urgensi yang tidak bisa Martha tunda-tunda.

“Ya Allah, enggak bisa, ya, aku istirahat sejenak dari hal-hal aneh?” bisiknya disela helaan napas yang diembuskan lamat-lamat dari hidungnya.

***