Suara alunan musik mengudara saling bersautan satu sama lain. Cahaya lampu berpendar menambah hiruk pikuk toko-toko yang berjajar menampilkan produk yang menjadi incaran muda mudi di Korea. Sepasang kaki yang tak terhitung memenuhi jalan Hongdae.
Para seniman—kebanyakan mereka memang suka disebut seniman—jalanan menciptakan showcase mini mereka. Satu di antaranya terdapat sebuah grup musik terdiri tiga orang yang memiliki secercah harapan di Hongdae.
Ketiga orang itu bergumul dengan alat musik mereka masing-masing dan menciptakan harmoni yang selaras hingga telinga pengunjung Hongdae menangkap lagu berjudul ‘I love U’ dari day6, sebuah grup band kenamaan di Korea.
Suara Han Seung Yun berhasil memaku langkah pengunjung. Ia dan gitarnya bekerja sama pula dengan suara cajon milik Kim Joon Ho, serta gitar lain milik Moon Subin.
Melihat tatapan kagum orang-orang yang berdiri di hadapannya, Yun merasa tidak dapat menahan senyum di sela-sela nyanyiannya. Meski sudah berkali-kali mereka melakukan pertunjukan musik di Hongdae, hari ini Yun merasa sangat bersemangat.
“Adakah yang ingin meminta kami memainkan sebuah lagu spesial? Untuk kekasih atau keluarga yang sedang bersama kalian saat ini,” kata Yun sesaat setelah usai menyanyikan lagu dari day6. Dia menatap beberapa pasang mata di depannya.
Seorang perempuan mengangkat tangannya dan berjalan menyela kerumunan hingga Yun dapat melihat wajahnya yang sedikit kerepotan dengan tingkahnya sendiri.
“Kalau aku meminta salah seorang temanku bermain bersama kalian, boleh? Dia pandai bermain flute,” kata perempuan itu.
Yun tersenyum kecil seraya dahinya mengkerut. Kepalanya berputar ke samping dan belakang untuk melihat respons mereka. Begitu tatapannya menatap Subin, kepala lelaki itu bergerak seanggukan.
“Baiklah, Nona. Tolong bawa temanmu kemari,” kata Yun kemudian.
Perempuan di depannya mengembangkan bibirnya dan meminta ketiga untuk menunggu. Tidak sampai semenit kemudian, perempuan itu kembali berdesak-desakan di antara pengunjung dengan seorang perempuan lainnya.
Di bahu perempuan itu tersampir sebuah tas flute. Rambut lurus sebahunya menyentuh tali tas berwarna biru muda yang senada dengan tasnya. Perempuan itu terlihat kikuk ketika temannya meminta untuk mengeluarkan flute miliknya.
Yun mengusap hidung dengan punggung jari telunjuknya dan tertawa kecil.
“Baiklah, kami sangat bersemangat ada seseorang yang ingin bermain bersama kami. Silakan bergabung bersama kami, Nona.” Yun berusaha untuk tetap menarik perhatian pengunjung, terutama yang sudah membuat kerumunan di depan panggung mininya.
Perempuan dengan flute di tangannya masih tampak ragu. Entah apa yang diucapkan temannya dengan wajah serius dan sedikit beradu argumen, perempuan itu akhirnya berdiri di depan Yun.
Yun sempat menatap Subin sebelum akhirnya menyapa perempuan itu.
“Baiklah, sekarang dia sudah bergabung bersama kami. Nona, siapa namamu?”
“Shin Ara.”
“Apa ada lagu khusus yang kau minta?”
“Keane. Somewhere only we know,” ujar perempuan itu sambil menatap mata Yun.
Yun balik menatap mata perempuan itu. matanya yang berwarna cokelat terang terlihat berhasil membuat Yun terpaku. Yun harus mengalihkan pandangan ke arah Subin untuk meminta persetujuan, sekaligus untuk berusaha tidak melulu menatap sepasang mata itu. Seanggukan kecil terlihat dari kepala Subin.
Shin Ara bergabung bersama ketiga lelaki itu. mereka memulai lagu yang diminta perempuan itu dengan suara gitar milik Subin, kemudian disusul oleh tabuhan cajon milik Joon Ho dan gitar Yun beberengan dengan suara Yun yang mengudara. Pengunjung tampak menikmati suara Yun dengan gerakan di kepala atau ketukan kaki mereka. Begitu mencapai nada tertinggi pada reff lagu tersebut, suara Yun digantikan dengan suara flute milik Ara hingga lagu tersebut selesai, dan Yun kembali menyanyikan satu larik lirik penutup.
Pengunjung bertepuk tangan. Begitu pula dengan teman Ara yang tampak sumringah dan bangga. Yun tersenyum pada Ara. Ia kagum dengan permainan flute perempuan itu yang bisa membuat lagu tersebut terasa hangat di hati.
Ara sedikit membungkukkan badannya dan mengucap terima kasih. Pengunjung yang berkumpul di depannya sedikit demi sedikit melanjutkan aktivitas mereka dengan menikmati jalanan Hongdae.
“Bukankah dia sangat hebat?” tanya teman Ara sambil membuka matanya lebar-lebar dan menggerakkan dahi hingga alisnya bergerak naik turun.
“Permainan flute temanmu itu sangat keren!” seru Joon Ho setelah beranjak dari cajonnya dan berdiri di samping Yun.
“Kau bisa bermain dengan kami lagi, Nona.” Subin berkata sambil menunjuk Ara.
Ara yang masih tampak memasukkan flute ke dalam tasnya kemudian menggeleng. “Tidak. Kami permisi.” Ara menggandeng lengan temannya. Tapi lantas tangan Ara ditepis.
“Kedengarannya itu hal yang bagus untukmu,” kata temannya itu.
“Tidak perlu.”
Melihat kedua orang yang berteman itu terlibat dalam adu argumen kecil, Yun gemas ingin menghentikannya.
“Boleh aku pinjam ponselmu?” tanya Yun pada Ara.
Perempuan itu menatap Yun dengan dahi yang sedikit berkerut.
“Untuk apa?”
“Sudahlah, berikan saja.” teman Ara memegang tangan Ara dan mengarahkannya untuk mengambil ponsel.
Ara sedikit melirik ke arah temannya, meskipun akhirnya dia berhasil mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Yun.
Yun menerima ponsel tersebut dengan sedikit senyum. Dia mengetikkan sesuatu di ponsel Ara. Begitu selesai, tangan Yun mengulurkan ponsel mikik perempuan itu kembali.
“Aku sudah menyimpan nomorku dan kuberi nama Yun. Tolong hubungi aku jika kau sudah berubah pikiran.” Yun mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum.
Ara dan temannya pergi setelah berpamitan. Joon Ho merangkul pundak Yun sambil tersenyum melihat punggung kedua perempuan yang baru saja meninggalkan mereka.
“Aku yakin, dia pasti berubah pikiran.”
“Gadis itu harus bermain bersama kita. Aku punya perasaan yang bagus tentangnya,” ujar Subin menambahi kalimat Joon Ho.
***
“Kurasa lelaki bernama Yun kemarin itu sangat tampan,” kata Park Mi Na sambil membuka kaleng minuman dingin.
Perempuan itu menyeka keringat yang muncul dari balik poninya. Ia sengaja mengikat rambutnya yang diikat ekor kuda dan sebuah bandana berwarna biru dengan detail bunga-bunga berwarna biru akan tetap menjaga penampilannya. Tenggorokannya bergerak naik turun saat air melewatinya. Dan suara lega terdengar panjang.
“Menurutku dia tidak terlalu tampan,” sergah Ara. Keringat di keningnya tidak kalah banyak dengan temannya itu. ia pun meneguk jus kalengnya dengan nikmat.
“Yang benar saja! Dia sangat tampan dan suaranya bagus. Dia bahkan memberikan nomor ponselnya.” Mi Na menggeserkan tubuhnya hingga duduk bersila menghadap Ara. Matanya membulat dan binar-binar harapan muncul di celahnya. “Hubungi dia.”
“Untuk apa?”
Mi Na mengulum bibirnya dengan agak kuat disertai matanya yang sedikit menyipit. “Agar kita bisa terus bertemu dengannya. Tentu saja begitu.”
Ara tertawa. “Kau sudah gila.”
“Ayolah, Ara.” Mi Na menggoyang-goyangkan badannya dengan manja untuk membujuk Ara. Meski begitu, Ara tetap tertawa dan menggelengkan kepalanya.
Dering ponsel yang nyaring mengudara sukses membuat tawa Ara terhenti. Matanya menangkap sebuah nama di layar ponsel. Mi Na pun bisa melihatnya dengan jelas.
“Kau tidak mau mengangkatnya?” tanya Mi Na meyakinkan.
Ara bungkam. Ia lebih memilih untuk meneguk jus kalengnya karena tiba-tiba saja tenggorokannya terasa sangat kering.
“Biarkan saja,” kata Ara dengan nada dingin.
Mereka membiarkan ponsel Ara yang berdering hingga dua kali. Ketika suaranya benar-benar berhenti, satu jus kaleng milik Ara telah kosong.
“Ibumu pasti bertanya ke mana kau pindah.”
Ara menatap Mi Na dengan tatapan tidak percaya. “Terima kasih sudah mengatakannya dengan sangat jelas.” Ara beranjak dengan sigap. Hal itu membuat Mi Na sedikit berpikir kalau temannya itu marah. “Kau mau sekaleng jus lagi?”
“Tentu,” jawab Mi Na. Ara kemudian berjalan menghampiri pintu. Mi Na yang paranoid langsung berseru sebelum Ara menghilang di balik pintu. “Jangan marah!”
Ara membanting pintu kulkas mininya setelah mengambil dua kaleng. Ia mengembuskan napas panjang dan melihat ke sekelilingnya. Rumah barunya masih cukup berantakan dengan kardus-kardus kosong di lantai. Tiba-tiba saja ia melihat bayangan seorang wanita yang sedang membacakan sebuah buku untuk anak perempuannya.
“Kau tidak boleh merindukan wanita itu, Shin Ara.” Ara berkata pada dirinya sendiri dengan nada penuh keyakinan.
Ara mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menolak matanya sendiri untuk mengeluarkan air mata. Ara menghirup lendir di hidungnya dan menelannya keras-keras.
Begitu melihat Ara membuka pintu, Mi Na menunjukkan sikap panik. “Kau tidak marah padaku, bukan?”
“Tidak.” Ara mengulurkan tangannya yang menggenggam sekaleng jus dingin untuk Mi Na.
“Jadi, mengenai lelaki bernama Yun itu... kau sudah memikirkan untuk menghubunginya?” tanya Mi Na yang diakhiri dengan senyum jahil.
Ara membuka kaleng minumannya dan meneguk dalam satu tegukan. “Belum.”
Mi Na mengikuti hal yang dilakukan Ara. “Kurasa aku yang akan meneleponnya.”
“Silakan saja,” tantang Ara.
“Baiklah.” Mi Na beringsut untuk mengambil ponsel Ara. Melihat hal yang dilakukan temannya itu, tubuh Ara bergerak gesit untuk mengambil ponselnya dari tangan Mi Na.
Mi Na melongo, sementara Ara menatapnya tajam.
Dering ponsel Ara membuyarkan perseteruan kecil mereka. Ara melihat nama penelepon di layar ponsel.
“Ayah,” sapa Ara setelah menempelkan ponsel di dekat telinganya.
***