0. Bye Before Hi!
Kapan sih kamu menganggap dirimu sudah jadi seseorang yang dewasa? Waktu usiamu di atas 17 tahun? Setelah lulus kuliah? Kalau sudah punya pekerjaan tetap, atau menikah?
Bagiku, aku baru tersadar bahwa aku harus bisa jadi seperti orang-orang dewasa kebanyakan, setelah Ibun pergi untuk selamanya.
Di antara kalian, mungkin banyak yang ingin cepat-cepat beranjak dewasa, meninggalkan dunia remaja, dan nggak terus-terusan dianggap anak kecil yang nggak bisa apa-apa. Kalau aku, sepertinya berbeda. Sampai kini usiaku 24 tahun, aku nggak pernah repot-repot memikirkan ingin buru-buru mandiri, keluar dari rumah orang tua, dan bebas berkelana.
Sebagai seorang Una, si pengangguran bahagia, putri Ibun satu-satunya, aku cuma mau menemani Ibun. Selalu berada di sampingnya. Membantu usaha kos-kosan Ibun sambil bisnis katering kecil-kecilan. Kalau kebetulan rejeki, ada tambahan sampingan lain dari jasa terjemahan Indonesia-Inggris buat skripsi mahasiswa.
Tapi, pada akhirnya, aku harus melepas kepergian Ibun menuju keabadian.
Karena itulah, hidupku dua bulan ini rasanya kacau balau. Dengan berat hati, usaha kos-kosan Ibun terpaksa kututup. Kebetulan saat itu, semua penghuni kosan yang mahasiswa memang akan pindah ke luar karena sudah wisuda. Usaha katering makan siang dan kue jajanan pasar pun kuhentikan. Aku nggak sanggup melanjutkannya sambil terus berlinang air mata gara-gara terkenang Ibun. Perasaan sedih itu bikin capek. Aku nggak tahu harus ngapain kalau nggak ada Ibun. Di rumah yang cukup besar dan luas ini, aku benar-benar tertinggal sendirian.
Kalau lagi sendiri, aku banyak melamun, dan teringat lagi sama Ibun. Gimana wajah dan senyumnya, rutinitas harian kami, makan bareng, nonton bareng, ngetawain hal-hal receh di internet, ngobrol, meluk Ibun sampe ketiduran di kasur … yang sekarang cuma diisi bantal dan guling tak bernyawa.
Beberapa komentar yang dilontarkan para pelayat di pemakaman Ibun kala itu, masih terngiang-ngiang di pikiranku.
“Gimana nanti kamu di rumah sendirian?”
“Siapa yang ngurusin kamu dan rumahmu nanti?”
“Jual saja rumah besar ini, Una, dan pindah ke rumah Ayah kamu. Kamu kan butuh uang.”
Oh, by the way, Ayah dan Ibun sudah bercerai lama. Mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD. Sekarang Ayah di mana, aku nggak tahu, nggak mau tahu, dan nggak merasa perlu tahu. Ayah bahkan nggak datang ke pemakaman Ibun. Yang muncul hanya sebatas ucapan bela sungkawa lewat karangan bunga. Aku nggak peduli juga sih.
Gitu aja. Aku nggak mau bahas tentang Ayah lebih banyak.
Balik lagi soal tadi … Aku nggak masalah sebetulnya tinggal di rumah sendirian. Berani-berani aja. Urusan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, masak, mencuci, dan lain sebagainya, sudah lama dibiasakan Ibun agar bisa mandiri. Yang jadi beban pikiran memang perihal uang. Aku nggak mungkin terus-terusan mengandalkan tabungan pribadiku yang makin menipis. Untuk menjual rumah, aku masih tak sampai hati. Mobil city car punya Ibun saja cuma berakhir kupinjamkan ke mantan tukang langganan yang biasa benerin atap bocor, keran mampet, dan lain-lain, karena sejak indekos Ibun tutup, pintu rejekinya jadi ikut buntu satu. Makanya, kuizinkan dia memakai mobil Ibun buat narik taksi online.
Hampir pesimis dan skeptis sama semua komentar dan masukan yang sok perhatian tapi nggak membantu, beberapa hari setelah pemakaman Ibun, seseorang menghubungiku. Namanya Indra. Dia senior jurusan empat tingkat di atasku, sekaligus mantan pacarku terakhir yang putus tiga tahun lalu. Setelah menyampaikan ucapan duka cita, Indra bilang, saat ini kebetulan dia sedang menjabat sebagai seorang manajer di salah satu perusahaan farmasi swasta, dan dia menawariku bekerja di kantornya.
Waktu itu, aku minta kesempatan untuk berpikir dulu. Walau sejujurnya, bisa kontak-kontakan sama cowok itu lagi, membuatku percaya di depan sana ada secercah cahaya bernama harapan. Bukan cuma harapan soal jaminan finansialku ke depan, melainkan juga harapan siapa tahu aku bisa kembali dekat sama Indra, balikan, dan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Bukankah menikah itu template wajib bagi orang-orang yang sudah dewasa?
Yah, begitulah. Aku akan bersiap-siap maju. Mengucapkan selamat tinggal pada hidupku yang dulu dan menyambut hari-hari ke depan yang baru. []
1. Hi, Uncomfort Zone!
“Alauna Diandra?”
“Panggilannya Una, Bu.”
“Oke, Una. Kata Pak Indra, kamu mulai masuk besok ya?”
Wanita berkacamata model cat eye yang melorot ke hidung itu menelitiku dari atas sampai bawah. Namanya Bu Rita, staf bagian HRD di J&K Pharmacorp, perusahaan farmasi swasta yang akan segera jadi kantor tempatku bekerja.
“Iya, Bu,” jawabku singkat.
“Hm, mendadak juga ya, padahal hari ini baru interview,” gumam Bu Rita, “tapi gimana lagi, kalau memang manajernya perlu.”
“Iya, Bu,” ujarku mengulang jawaban sebelumnya. Meski dalam hati, sebetulnya aku tahu pasti, interview yang tadi kujalani hanyalah formalitas belaka. Toh Indra telah mengetuk palu sejak beberapa waktu yang lalu, bahwa aku akan menjadi salah satu stafnya di Divisi International Regulatory Affairs—atau lebih akrab disebut Registrasi Ekspor. Jadi, apapun yang terjadi, kalau bisa bekerja secepatnya, kenapa mesti menunda-nunda.
“Ya udah, besok masuk aja dulu seperti karyawan biasa. Surat pengangkatan resminya baru bisa saya siapkan besok juga.”
Bu Rita membuka laci di bawah meja dan mengeluarkan selembar kartu berwarna kuning.
“Buat sementara, kamu pakai kartu ini untuk absensi. Nanti ID card pegawai, setting finger print, sama pembukaan rekening gajinya menyusul. Di situ juga ada beberapa peraturan, kamu baca baik-baik ya,” lanjut Bu Rita.
“Eh iya, Bu,” sahutku teringat sesuatu.
Bu Rita yang sudah menekuni layar komputernya kembali menoleh padaku dengan tatapan datar, “Kenapa?”
“Memangnya karyawan perempuan wajib pakai rok ke kantor, Bu?” tanyaku.
Sepasang mata bulat milik Bu Rita menyorotiku tajam saat wanita itu membetulkan letak kacamatanya.
“Kamu pikir tata tertib di kartu itu hoax?”
“Eh, enggak, Bu. Oke deh, terima kasih, Bu.”
Buru-buru aku pamit undur diri sambil menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal.
Begitu keluar dari pintu ruangan HRD dan melangkah ke area gedung perkantoran dengan dua tower menjulang, seketika itu juga rasa gentar dalam diriku naik ke permukaan. Ini akan jadi kali pertama aku bekerja kantoran. Berasa jadi orang dewasa beneran deh. Selama ini, aku terlalu menikmati peran sebagai pengacara—pengangguran (sok-sokan) banyak acara. Selepas lulus kuliah, gelar sarjana cuma numpang nempel di belakang nama, dan ijazah langsung masuk dalam lemari buku.
Di saat teman-teman satu angkatan berlomba-lomba apply job sana-sini, saling bandingin gaji mana yang worth it diambil sama fresh graduate dari almamater favorit macam kampusku dulu, aku cuma ongkang-ongkang kaki di rumah, memantau update-an status anak-anak jurusanku keterima di kantor BUMN anu, lulus CPNS anu, officially part of perusahaan asing anu, tanpa sedikit pun merasa tersaingi.
Aku sudah menemukan comfort zone milikku. Di samping Ibun. Buat apa susah-susah meninggalkan sesuatu yang nyaman hanya demi membahagiakan pihak-pihak lain, membuktikan diri kepada orang-orang lain, yang bukan diriku sendiri?
Walaupun akhirnya, yang namanya takdir, siapa bisa menduga. Aku memang berhasil mewujudkan cita-citaku untuk tetap berada, berkarya, dan mengabdikan diri di dekat Ibun. Namun, justru Ibun yang harus pergi dari sisiku. Tanpa pernah kembali lagi.
Alhasil, di sinilah aku sekarang. Mencoba memasuki dunia baru. Supaya nggak berlarut-larut dalam kesedihan dan ketidakberdayaan setelah ditinggal Ibun. Lagipula, siapa yang bisa menolak kalau yang meminangku bekerja adalah seorang Putra Narindra—Indra, alias mantan pacar sekaligus seniorku dulu di kampus yang makin hari makin menawan, dengan ketampanan yang ngalah-ngalahin aktor drama korea.
Asli, Park Seo Joon doang sih lewat … aduh!
Lagi semringah bayangin manajer ganteng, tahu-tahu kakiku oleng di atas high heels lima sentimeter yang baru kubeli kemarin. Sambil meringis, kulanjutkan langkah perlahan. Kurapikan atasan blouse dan rok pensil yang sedari tadi rasanya mencang-mencong melulu.
Ribet juga ya jadi karyawan kantoran, kudu pakai baju formal semacam ini yang bikin susah bergerak. Jauh lebih nyaman pakaianku sehari-hari kalau di rumah: kaus oblong longgar dan celana pendek rayon super adem.
Ah, sudahlah, bismillah aja yuk Una bisa yuk ….
Dari gerbang belakang kantor pusat J&K Pharmacorp, aku menyeberangi jalan untuk menunggu angkutan umum yang lewat. Saat itu, para karyawan terlihat lalu-lalang di jam istirahat. Tenda-tenda lapak makanan ramai oleh mereka yang akan menyantap makan siang. Beberapa orang memilih nongkrong sambil duduk-duduk di balik pagar.
Aku berdiri sambil memeluk map plastik berisi dokumen administrasi di depan dada. Sayup-sayup, terdengar siulan dan decakan, ditambah celetukan dan komentar usil dari arah belakangku. Saat aku menoleh, terlihat beberapa pria berkemeja tengah berkumpul sambil mengisap rokok. Pandangan mereka tertuju padaku.
“Ssttt, ssttt … cewek … sendirian aja, anak baru ya?”
“Hai, kenalan dong, boleh nggak?”
Aku sengaja menoleh lagi dan melempar lirikan tajam. Kampungan. Hari gini masih aja ada manusia-manusia idiot yang doyan cat calling. Padahal pegawai kantoran lho, tapi kelakuannya macam preman jalanan abis ngisep aibon.
“Duh, kok judes gitu sih, Dek ….”
Kulihat tali name tag yang mengalungi leher mereka sama seperti yang dikenakan para karyawan J&K Pharmacorp. Mampus mereka. Belum tahu aku punya backing-an manajer. Kelar mereka semua kalo aku laporin.
Diam-diam aku mengambil ponselku dari dalam tas dan mencoba menghubungi Indra. Sayangnya panggilan itu tak terjawab. Aku melihat ke sekeliling, tak tampak seorang pun yang memperhatikan. Seolah kelakuan pria-pria itu bukanlah sesuatu yang mengganggu. Beberapa karyawan wanita yang menyeberangi jalan, hanya menatapku sekilas lalu kembali asyik mengobrol.
Tak jauh dari situ, berdiri satu tenda pedagang bakso pinggir jalan. Satu-satunya yang memperhatikanku hanyalah seorang remaja cowok bertopi yang tengah mengunyah bakso di mangkuknya. Berasa nonton hiburan gratis kali ya. Aku menghela napas, menenangkan emosi yang mulai terpancing. Kalau bukan aku sendiri, nggak akan ada yang bisa melindungi diriku.
“Jangan galak-galak, Dek … bagi senyumnya dong ….”
Mendengar mereka masih belum mau menyerah menggodaku, aku pun membalikkan badan, tersenyum—seperti yang mereka minta, seraya menyalakan kamera ponselku, mengarahkannya kepada mereka, dan menekan tombol rekam.
Salah seorang yang bertubuh tinggi besar, menyadarinya lalu bangkit mendekatiku.
“Heh, ngapain?” hardiknya.
“Gapapa, Om, siapa tahu viral,” tukasku asal ceplos.
“Wah … berani juga ya?” Tangannya menudingku, “Matiin gak?”
Aku menurunkan layar ponselku sembari balik memelototinya, “Om takut ya?”
“Om, Om … apaan Om, Om … belagu lu!”
“Lah, situ duluan manggil Dek, Dek ….”
Pria itu makin mendekat padaku. Jaraknya kini kurang dari satu meter di depanku. Merasa gertakannya tak mempan membuatku takut, ia mengepalkan tangan dan meremas-remas kepalannya itu.
“Gua abisin lu.”
“Gua laporin lu,” balasku tak mau kalah.
Pria itu menggeram. Tangannya berhasil meraih lenganku. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri. Tubuhnya teramat dekat, nyaris menempel dengan badanku. Aku bisa mencium bau rokok teramat pekat dari embusan napasnya.
Hampir saja aku diseretnya, kalau gerakannya tak ditahan oleh seseorang. Aku menoleh dan mendapati cowok remaja bertopi yang tadi mengunyah bakso, sudah berdiri di belakangku. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan pria sialan itu erat-erat, berusaha melepaskan genggamannya dari lenganku.
“Bang, udah, Bang. Gak malu apa, tuh dilihatin orang-orang,” ujar cowok itu dengan suara pelan tetapi tegas.
Saat itu aku tersadar keributan kami akhirnya memancing perhatian orang-orang sekitar. Seorang pria berkumis seusia bapak-bapak—rekan pria tubuh besar tadi—menghampiri dan merangkul bahu temannya itu. Memintanya mengalah dan kembali ke tempat mereka nongkrong tadi.
“Awas lu, gua cari besok,” ancamnya sebelum berlalu dan mundur.
Refleks aku mengulurkan lidah sembari mengacungkan ponselku, merasa keluar sebagai pemenang.
Perlahan-lahan, cowok remaja di sebelahku menuntunku berjalan menjauh meninggalkan lokasi tersebut.
“Nggak usah diladenin orang kayak gitu,” cetusnya sambil melangkah di sampingku.
Aku menoleh. Cowok itu bertubuh tinggi, kurus, mengenakan topi hitam. Rambut belakangnya mencuat dari bagian bawah topi. Ia memakai kaus bertuliskan salah satu klub NBA dan celana panjang seragam SMA. Tas ransel yang menggembung bertengger di punggungnya.
“Kalo didiemin, gak akan kapok-kapok tuh orang,” argumenku.
“Tapi itu tadi berani banget sih, hebat,” komentarnya kemudian.
“Emosi gua. Bisa-bisanya ada karyawan kantor—calon kantor gua pula, kelakuannya macem begitu.”
“Calon kantor?” tanyanya sambil menatapku, “Buat PKL?”
“Bukan lah. Kerja beneran. Ngantor gitu.”
“Oh, sori, kirain ….” Ia menatapku kedua kalinya. Aku memutar bola mata, udah biasa disangka masih anak kuliahan atau sekolahan sama orang-orang yang baru kenal. Badanku memang mungil, tinggi 150 cm pas-pasan, dengan rambut pendek model bob sebahu dan pipi gembil.
“Tapi tetep aja, mending cari kantor lain sih saran saya,” lanjut cowok itu.
Aku meliriknya. Rangkaian kalimat penjelasan tersusun dalam benakku, tetapi kutahan sebelum meluncur dari mulut. Ngapain aku curhat panjang lebar coba? Kenal aja barusan doang sama ini bocah.
“Ya udah, eh, itu angkot gua,” ujarku seraya melambaikan tangan menyetop angkutan umum yang melintas, “Duluan ya.”
Tak lama aku pun duduk di kursi penumpang. Dari jendela belakang angkot, kulihat cowok itu berdiri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sosoknya makin jauh dan mengecil seiring angkot yang terus maju.
Lalu aku tersadar, aku lupa bilang terima kasih sama cowok tadi. Aku membuang napas dan memejamkan mata sejenak. Belum juga hari pertama ngantor, udah ada aja kejadian yang membagongkan.
Calon karyawan baru di-bully senior cewek: cross.
Calon karyawan baru berantem sama bapack-bapack pervert: check. []