[ (dengan) teliti; (dengan) cermat; diperiksanya dengan~]
Nalen
Dedaunan berjatuhan ke bumi. Beberapa mengenai kaki telanjangku yang duduk bersila dengan satu kaki di teras UKM pusat. Dia keluar dari basecamp BEM untuk mencari udara segar. Toh, sebentar lagi hujan akan turun. Jika dilihat dari jauh, kemungkinan aku persis seperti orang galau yang ditinggal kekasihnya. Arah pandangku kembali terfokus pada kartu nama di depanku yang berputar di sela-sela jari jemariku. Aku menemukan kartu ini—lebih tepatnya mencuri dari ruang kerja Sekretaris Daerah—ketika melakukan audiensi.
Anum Primbandono
Adalah sebuah nama yang selalu terbekas. Audiensi dengan pejabat daerah menghasilkan kesepakatan—taik—bahwa tidak perlu lagi mengusut aliran dana dari perusahaan tambang Purbacaraka kepada politisi yang bernama Anum. Namanya persis seperti pujangga yang meneliti tentang kerajaan Balitung di catatan kuliah yang diberikan Suherman. Mahasiswa mana ada yang tidak terima? Aliran korupsinya sudah jelas. Semua tender skala nasional dia tangani. Berapa tender kali berapa jatah bagiannya sudah cukup untuk memberi makan satu provinsi. Terakhir pembangun pasar tradisional yang menjadi pusat perbelanjaan tekstil terbesar se-provinsi. Ini tidak main-main. Maksudku, aku mengendus nama bajingan Anum Primbandono karena anak perusahaannya yang lain lah yang mengatur tender agar pengembangnya adalah perusahaannya sendiri.
Ck.
Mahasiswa adalah suara-suara yang terbungkam mengungkap kebenaran. Suara yang menyatukan itu tidak benar. Kemudian diperkosa oleh kekuasaan. Semuanya menjadi hening dan mengikuti kemauan. Begitulah pemerintahan saat ini diciptakan. Anum sungguh lihai. Citranya di depan publik sudah sangat disanjung-sanjung. Semua orang tahu kebenaran versinya. Bahwa dia adalah pembela rakyat miskin. Blusukan seolah mendengar aspirasi rakyat, lalu berkomitmen dengan—kata bangsat lainnya hingga semua makhluk bumi percaya—tetapi kedua tangannya di belakang, bekerja.
Jika aku tidak mendengarkan percakapan ayahku dengan sahabatnya kemarin malam, mungkin Anum sudah aku lupakan sebagai politisi bangsat. Sayangnya, ayah sedang mengurusi mega proyek korupsi yang menyeret nama itu. Dan kemungkinan-kemungkinan Anum dalam menyimpan bukti juga rapat. Tidak ada hal yang spesifik, dan memang harus digali lebih dalam. Satu hal yang menjadi fakta baru adalah anak Anum ada di kampus ini sekarang. Ayah memintaku untuk berjaga-jaga mencari tahu tentang anaknya. Bukan hal yang sulit mengingat aku punya sebaran informan yang siap membantuku kapan pun.
Aku menengadah ke langit. Suara gemuruh petir menggelegar. Beberapa kali aku sudah mendengar pekikan tajam dari basecamp BEM. Anak perempuan yang lebay itu saling memekik bersahutan seperti burung pipit jantan yang menggoda betinanya setiap petir menyambar. Aku masih menyeruput soda yang dibelikan Magda. Perempuan dengan rambut hitam pendek itu memang manis. Dia selalu menengahi saat rapat anak BEM benar-benar buntu atau terjadi silang pendapat yang tajam. Seperti oase di kegerahan gurun, Magda hadir seperti itu. Nama klasik yang sangat meneduhkan, Magdalena.
“Njir, lu ngapain ngelamun kayak orang bego di depan sekre gini?” Mulut sialan Agus menggelegar bak bermain sahut-sahutan bersama petir. Dia menyadarkanku akan permainan alam fiksiku sendiri. Tak jauh di belakangnya ada Agung. Dua bocah kloningan itu adalah staf setia di BEM dan lebih banyak menjadi ajudanku di mana-mana, sesekali bahkan menjadi pembantu yang sigap untuk aku perintah. Kadang aku masih kurang mengerti kenapa ada bocah dengan karakter seperti itu. Agus menenteng kardus yang ditali ke atas, sedangkan tangan kanannya meminum es teh sambil berjalan mendekatiku. Tak jauh di belakangnya, Agung memarkirkan motor.
“Lama banget dah.”
“Lu pikir gampang copot banner cuma berdua?” sahutnya.
Lebay!
Dia menyerobot soda yang berada di genggamanku dengan membanting kardus yang berisi banner itu ke tanah. Tangannya sudah penuh menggenggam dua minuman sekaligus. “Dasar maruk!”
Agung yang menghampiri kami langsung menoyor kepala Agus.
“Lu ngapain ada di sini?” Seketika Agus mengembalikan soda itu ke tanganku, suaranya sudah menggelegar lagi melihat Agung duduk di dekatku.
“Napa?”
“Rapat noh! Anak Sosma bingung nyari desa binaan. Bukannya malah leyeh-leyeh galau gak jelas gini,” seru Agus. Dalam jarak sedekat ini berasa dia berbicara dengan orang yang berada 500 meter di depannya. Suaranya selalu di gas, tidak pernah injak rem.
“Lu juga!”
Aku berada di tengah-tengah perdebatan kedua orang sialan ini. “Masih bisa-bisanya berantem di depan Presma!” Aku berdecak, kemudian aku berdiri dan diikuti oleh dua kloningan wayang orang itu di belakangku.
“Gus, kamu kenal cewek namnya Rahyangta Dwi Hara?” Aku tiba-tiba menengok ke belakang. Mendapati dua kloningan wayang itu sedang bercanda di belakangku. Ish, kalau di depanku saja suka bertengkar adu mulut sok-sok ngomong proker atau kajian tetek bengek lainnya. Tetapi kalau sudah di belakang, mereka bisa cengengesan tidak jelas—membahas masalah receh—aku bahkan tidak peduli.
“Kenapa emang?”
Agus dan Agung nyengir bersamaan. ”Tumben tanya masalah cewek? Bukan seperti Nalen yang kita kenal.”
“Dia cantik loh. Badannya aduhai sexy, montok, dan berisi. Masih ada keturunan bule-bule gitu. Sedap dipandang,” kata Agung menerangkan. “Nggak ada yang nggak kenal dia Len, kalau di fakultas,” tambahnya.
Anjir, bukan jawaban seperti ini yang aku maksud. Aku memijat pelipis sebentar sebelum melanjutkan jalan. Aku justru berbalik arah dan melanjutkan sisa-sisa perjalanan menuju tangga atas basecamp BEM.
“Cie, Nalen sekarang ngomonginnya cewek. Sekali nyebut nama cewek langsung dapat yang cantik lagi.” Agung dan Agus bercia-cie di belakangku tanpa mendapat sahutan dariku. Peduli setan, dia cantik atau tidak.
Magda turun saat aku dan dua kloningan wayang naik tangga. Magda adalah orang kepercayaanku di BEM. Aku amanahi di bagian administrasi. Dia mungkin adalah alasan dua cecunguk yang berada di belakangku ini tidak bisa menutup mulutnya untuk terus menyomblangkanku dengan Magda. Magda berjalan turun dari tangga dan memberikanku beberapa bundle kajian dari Kementrian Eksternal yang dititipkan untuk aku baca. Nanti malam akan ada kajian tentang kasus meninggalnya petani akibat pembangunan pabrik. Lalu besok lusa, akan digelar Aksi.
“Magda, kamu siap-siap tergeser ya. Nggak papa kali ya? Nalen sudah mendapatkan tambatan hati baru.”
Magda skeptis. Tidak memedulikan omong kosong dua kloningan wayang itu. “Paan sih.”
Aku melempar bundle kertas yang diberikan Magda itu ke arah dua orang di belakangku. Dengan langkah hati-hati karena kekesalanku, Agus berbisik. Tetapi tertangkap oleh indra pendengaranku. “Presiden marah.”
“Hatinya tidak bisa tergoyahkan dari Magdalena.”
Aku memutar bola mataku dengan tangan yang mencengkarm kuat di pegangan tangga. Mereka berbicara seolah-olah tidak ada aku. “BURUAN RAPAT SANAA BANGSATT!!!”
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10.39.
“Serius deh, lu kenapa serius banget nanyain itu cewek?” tanya Agung. Suara tanyanya menggantung tanpa aku jawab. Bodoh jika aku akan menjelaskan pada kloningan wayang itu. Wajahku sudah lumutan karena kelelahan dengan perdebatan yang baru saja terjadi di rapat. Aku mengempaskan badan di lantai marmer yang dingin. Tubuhku butuh penyegaran gegara otak mampet tidak bisa berpikir jernih.
Kulirik Magda yang sudah siap-siap mengambil tas selempangnya. Aku bangkit berdiri dan hanya dilihat oleh ekor mata Agung dan Agus bergantian.
“Aku antar pulang,” ajakku pada Magda. Aku yang menyuruhnya mengikuti rapat kementrian eksternal hingga selesai. Aku pula yang harus bertanggung jawab mengantar dia pulang ke kosnya. Walau tidak mendapatkan jawaban, Magda mengikutiku dari belakang..
“Maaf, lama banget rapatnya,” kataku memecah keheningan. Mobil jeep-ku terparkir terlalu jauh dari basecamp, untung aku menemukan kunci motor Agung yang tergeletak di dekat kakiku dan mengambil tanpa sepengatahuan pemiliknya. Aku mengantar dia pulang dalam keheningan yang tercipta. Di bawah deru redam motor yang tidak banyak berseliweran lewat,
“Makasih Nalen,” kata Magda sembari berpamitan. Aku masih belum beranjak saat dia tidak menutup pintu rumah kos itu. Memastikan dia sudah berada di dalam, kemudian aku menghidupkan mesin motor.
Aku memarkirkan motor di depan basecamp. Kemudian naik ke lantai atas. Diiringi dengan dengusan Agung yang melihat keberadaanku muncul dari tangga. “Aku pikir motorku di begal.”
Aku berdecak. “Ck ck, inget itu bisa aja doa loh,” kataku hiperbolis.
Agung masih mengotak atik desain yang akan dibawa saat aksi besok lusa. Sedangkan kloningan wayang satunya sedang sibuk bermain game di ponsel pintarnya.
“Besok pada main ke fakultas aku nggak?” Entah sudah berapa detik berlalu, Agus mengamatiku dan Agung bergantian menunggu jawaban.
“Emang ada apa?”
“Anak himpunan Sastra Arab ngadain Arabic Fair di tribun Fakultas Seni,” tambahnya. Aku mengernyit. Acara expo beasiswa yang mengadakan BEM saja aku mendelegasikan wakilku untuk menggantikan, apalagi yang bukan dari BEM? Otakku sudah mengeras kalau membahas masalah kajian dan perpolitikan negeri ini. Meskipun banyak mahasiswa yang tidak peduli, tapi setidaknya ada yang peduli. Meskipun kuantitasnya kecil.
“Boleh, besok aku kuliah pagi. Siangnya aku bisa ke sana. Sekalian mau ketemu adik Ahyang.” Suara Agus yang cempreng itu mengusik pendengaranku. Dia mengendikkan bahu ke arahku. “Kamu nggak sekalian ikut? Biar bisa kenal sama Adik Ahyang?”
Ahyang? Siapa lagi?
“Rahyangta Dwi Hara. Panggilannya Ahhh-yaang,” tambahnya sambil mendesah-desah.
Sembari aku melempar kardus kosong air mineral ke arah Agus, aku menyahut dengan cukup meyakinkan. “Boleh. Aku perlu ketemu sama perempuan itu.”
Tautan alis Agung dan jawaban Agus yang hanya mengangkat bahu menambah kelam pertanyaan mereka. Seringai mengerikan muncul. Kemudian kloningan wayang itu serempak cekikan di belakangku. Sialan!
***
Perempuan itu memakai wedges dengan rok span yang menimbulkan birahi bagi pria manapun yang melihatnya. Karena dengan pakaiannya itulah dia membungkus diri menjadikan dirinya menarik untuk dilihat. Memang harus aku akui, iya. Memakai blouse pendek berwarna cream, di tangannya penuh dengan satu cup es kopinya dan tangan satunya menjinjing tiga buku diktat yang lumayan tebal. Sedangkan dia hanya memakai tas ukuran kecil selebar jengkal tanganku. Aku tak percaya mendapati perempuan yang pernah singgah dalam mimpiku walau sesaat itu nyata. Riasan wajahnya tidak setebal dibandingkan dengan dua teman yang mengapitnya. Kulitnya kuning langsat dan dia cukup mudah untuk membuat orang tersenyum genit ke arahnya. Semuanya berubah ketika aku bersipandang dengannya. Tatapannya tajam. Detik selanjutnya dia membuang muka dan hanya menanggapi lemparan canda dari teman-teman di sebelahnya.
Dialah Ahyang. Aku pikir begitu. Tidak ada yang memberitahuku bahwa perempuan itu adalah Ahyang—orang yang aku cari. Agung memarkirkan motornya di parkiran depan Fakultas Ilmu Budaya. Aku kemari bersama Agung—yang setengah hati menjemputku soalnya tahu kalau presidennya tukang perintah—karena memang anak inilah yang bertanggung jawab membawaku kemari.
“Ngelamun lagi lu?” Dia menepuk pundakku pelan. Hampir tak terasa saat mataku dan Ahyang saling bersipandang lagi. Dan Lagi.
“Ck. Mainnya sekarang tatap-tatapan.” Agung menyenggol lenganku. Aku menatapnya tajam. Matanya malah bermain genit. Menjijikkan.
“Iya, cewek itu namanya Ahyang.”
Tidak perlu kamu beritahu aku sudah tahu, goblok!
Dia mendekatiku. “Hei!” menepuk pundakku pelan. Kemudian tersenyum genit. Memandangku tanpa mengalihkan tatapannya pada Agung yang berada di sebelahku. Aku seolah menang telak dengan dirinya yang mendekatiku seperti ini.
“Halo Ahyang, aku Agung. Anak…”
“Ada apa melihatku terus?” tanya Ahyang langsung tanpa tedeng aling-aling. Kemudian dia mencermati wajahku. Matanya membeliak kaget. Gestur percaya dirinya hilang melebur, menyublim hingga membuat tingkahnya terperanjat. Dia terkaget-kaget melihatku. Premis yang muncul di kepalaku, apakah aku hantu?
“Haha.. Nalen emang nakutin ya orangnya. Galak. Bener! Biang onar,” tambah Agung. Dia seolah tidak mendapat penolakan dari gadis cantik itu untuk mengeluarkan basa-basi tidak pentingnya.
“Ada apa?”
“Kamu nyata,” pekiknya tertahan.
Aku memutar bola mataku, setengah berpikir. Maksud dia apa?
“Memangnya aku hantu?” tanyaku heran. Aku memandang Agung mencari jawaban dari pekikan gadis itu. Dia mengendikkan bahu, tidak tahu. Kemudian tanganku digenggamnya, dibawanya menjauh dari Agung yang masih terheran-heran. Dari jauh aku tahu kalau dia mengumpat.
“Sepertinya aku pernah lihat kamu, deh.”
“Oh ya?”
Siapa yang tidak kenal aku? Menjadi presiden mahasiswa di universitas ini, turun aksi, melakukan audiensi, melalang buana setiap acara di kampus, maka salah kalau aku tidak dikenal. Gadis ini menarik diri dan membiarkan kami berdua hanya mengatakan premis yang sudah diakui semua mahasiswa di universitas ini.
“Aku Presiden BEM U. Jadi sudah pasti kamu melihatku…”
Belum aku melanjutkan ucapanku, Ahyang menyentuh wajahku. Tidak sopan memang. Tetapi gesturnya memang sedang menelisik setiap jengkal wajahku. Seakan melumatnya hidup-hidup. Aku jengah sebenarnya. Mata manusia mana yang tidak kuat iman digoda melalui jemari lentiknya berkutek pink. Dari jauh aku mendengar siulan kompak Agung dan Agus. Duo kloningan wayang itu bukannya membantuku menarik gadis ini malah sibuk bersiul-siul membuat beberapa pasang mata melihat tontonan gratis ini. Aku tarik tangan gadis di depanku ini, perlahan.
“Kamu terpesona?” tanyaku percaya diri.
Dia mengkerut. Pipinya merona kemerahan. Walaupun tertutup oleh helai rambut yang menutup wajah tirusnya. Tetapi tidak menyembunyikan rasa percaya dirinya. Angin musim panas menerbangkan helai rambut hitamnya menjadi berantakan. Di depan gedung 3 Fakultas Ilmu Budaya, di mana ini di tengah-tengah semua gedung yang mengapit, gadis ini sedang beradegan seolah menemukan seseorang yang lama sekali didamba. Tentu saja. Aku adalah perebutan para wanita.
“Kamu Nalendra Abhisaka. Prajurit yang melindungi perempuannya,” jawabnya. Dia mengatakan kesungguhan melalui manik matanya. Aku mengernyit mendapati omong kosong ini. “Ini aku!”
Dia bilang apa tadi?
***
Ahyang
Oh, Tuhan. Lelaki itu benar-benar nyata. Aku pikir, aku hanya bisa menemuinya di mimpi saja. Beberapa kali aku telan dengan susah payah es kopi yang tertuang di cup mika untuk meredakan emosiku. Garis wajahnya tegas. Di mataku justru tampak menarik. Lelaki itu tidak banyak bicara. Es teh pesanannya dibiarkan mencair. Udara di luar kantin sastra memang panas. Cukup mudah membuat semua manusia di luar untuk meneduhkan diri. Sedangkan aku berteduh melalui tatapan malu-malu dari lelaki yang mengaku sebagai presiden BEM itu.
“Aku Agung, ini temanku Agus.” Seorang lelaki memperkenalkan dirinya. Aku tak menaruh minat dengan temannya. Aku lebih tertarik dengan lelaki di depan mataku ini. Lekukan wajah dan garis wajahnya—yang masih membuatku heran—terlalu mirip dengan di dalam mimpi. Apakah dia memang dikirimkan khusus oleh alam mimpi ke dunia nyataku? Aku pikir, ini sesuatu yang luar biasa. Hal konyol dan aku mempercayainya.
“Walaupun acara anak Sastra Arab di Tribun, tapi banyak banget loh yang ngeliat adegan mesra kalian di pelataran tadi.” Suara teman sebelahnya yang diperkenalkan oleh Agung bernama Agus.
“Kamu jurusan apa?” Aku tanya pada lelaki di depan mataku ini. Dia tampak kalem dengan kemeja yang sengaja tidak di kancing menampakkan kaos oblong putih. Dia mengernyit tampak waspada sebelum menjawab. Aku bukan monster yang menerkammu, hei. Jadi kenapa dia menatapku dengan jengah seperti itu? Seolah aku perempuan cerewet seperti yang lainnya. Well, meskipun saat ini aku sedang memerankan itu.
“Hukum.”
“Oh wow,” pekikku. Aku tidak memiliki banyak jejaring pertemanan yang menghubungkan aku dengan fakultas lain. Jadi, menurutku mengenal orang dari fakultas lain itu menarik.
Di meja kantin Fakultas Sastra, aku masih terduduk dan mengamati lelaki itu lekat-lekat. Tidak ingin membuang waktu dengan beromong kosong pada dua temannya. Sebenarnya aku juga tidak tega, menjarah penglihatanku pada lelaki itu. Dia tampak risi jika aku menatapnya lekat-lekat. Bagaimana mungkin aku membiarkan dia tidak tertawan oleh pesonaku?
“Kamu ngapain ada di Fakultas ini? Mau ke Arabic Fair?” tanyaku.
“Nyari makan siang.”
Aku menautkan alisku. Heran.
“Nggak ding, dia sebenarnya mau ketemu kamu, Ahyang,” seru salah satu teman di sebelahnya. Aku ber-ooh ria. Dia terlalu jujur jika lelaki itu mengatakan yang sebenarnya.
Nalendra—namanya saja mirip dengan lelaki di dalam mimpiku—melirik teman sebelahnya dengan tatapan tajam ingin membantah tetapi kepalang basah. Haha, wajahnya lucu. Aku hanya terkekeh. Girang.
“Dia baru saja jomblo lho, Nalen,” tambah Ista. Bukannya marah karena temanku yang satu ini berani mengungkap statusku, aku justru bangga. Ini bisa jadi celah untuk Nalen, harusnya sih begitu kalau lelaki itu sedikit peka dan menganggapnya sebagai kesempatan untuk mendekatiku.
Dia mengangguk. Wajahnya sama sekali tidak menaruh minat. Tertekuk lusuh, seperti baju yang tidak disetrika berminggu-minggu. Dia kembali mengaduk es teh dalam gelas beningnya, mencari kegiatan. Lalu apa? Alasannya apa ingin menemuiku? Kalau modus, modus aja sekalian. Sudah kepalang tanggung juga. Cih, lelaki ini penuh kepalsuan, batinku.
Argh, sebenarnya gerah diabaikan oleh Nalen. Kedua temannya dan temanku sudah terlibat percakapan panjang dan hangat. Tidak seperti kuburan mati seperti yang aku alami. Aku membuang napas pendek. “Kamu tidak pernah memimpikan aku dalam mimpimu?” tanyaku langsung tanpa tedeng aling-aling.
Dia menggeleng. Dasar lelaki kaku. Tidak ada asyik-asyiknya. “Tapi…” suaranya tertahan. Dia menatapku intens seolah aku akan menghilang dari hadapannya.
“Tapi apa?”
Kemudian dia menggeleng lagi. Gemas banget melihatnya. Seolah dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Ada yang dia sembunyikan, tetapi apa? Bahkan rasa penasaranku masih dalam tahap awal, belum penasaran banget. Jangan sebut namaku Ahyang kalau tidak membuat lelaki manapun bertekuk lutut. Haha!
Dari jauh aku melihat Dewangga melambaikan tangan ke udara. Menyapaku dari kejauhan. Aku hanya tersenyum menyuruhnya menghampiriku di kantin. Ah, waktuku untuk bersenang-senang dengan lelaki di depan mataku ini sudah habis, ternyata. Dewangga datang sambil mengecup pipiku pelan. Menyerobot es cup di mikaku, kemudian melihat tiga pasang mata lelaki yang berada di depan teman-temannya itu menatap tajam.
“Boleh minta nomor hapemu? Sepertinya kita ‘harus’ bertemu lagi.” Aku menekankan kata ‘harus’ sebelum dia kabur membawa rasa penasaranku. Aku menyibak rambutku, memerlihatkan leher jenjang. Dia menelan ludah susah. Dasar laki-laki!
“Buat apa?” tanyanya.
Aku mengendikkan bahu ke arah dua temannya yang sudah mengeluarkan hape mereka. Kemudian menyebutkan sederet angka milik Nalen. Dia terperanjat tidak terima. Toh, dia juga tidak akan mempersalahkan kalau aku yang meminta. “Thanks Agus dan Agung.” Kemudian, aku melirik kedua temanku yang berada di sisi kanan, “Guys, aku duluan ya. Sampai ketemu lagi, Sayang.” Aku mengusap pipi Nalen sebentar setelah pamitan dengan kedua temanku. Aha, pasti dia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh wanita. Apalagi di depan umum. Wajah terperanjat kaget itu membuatnya bertambah lucu di mataku.
***
Nalen
Semua mimpi itu mengarah pada sebuah ancaman yang entah aku bisa simpulkan bahwa Ahyang dalam bahaya. Seseorang yang berkuasa. Bapak kandung Ahyang adalah Anum Primbandono, politisi yang aku tahu di-back up oleh sekelompok preman bersenjata. Terminologi penyebutannya harus jelas. Preman Bersenjata. Dia lebih elit dibandingkan polisi yang memegang senapan di jalan-jalan.
Aku tidak tahu siapa musuh Anum. Hanya saja jika tebakanku benar, dia bisa saja dalang dari pembunuhan preman yang berada di Jakarta. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Aku mencuri dengar dari kunjungan Pak Lingga ke rumah malam itu. Dia mengatakan bahwa preman yang dibunuh itu hampir akan mengaku siapa komplotan besarnya. Well, memang menyedihkan. Dia adalah ketua preman kelas cupang, sedangkan lawannya preman kelas tongkol. Yap. Politik khas Belanda divide et empera, persoalan ini hanya akan bertema ‘kambing hitam.
Dunia sekarang ini masih dihinggapi orang sok berkuasa yang hanya mengandalkan duit-nya saja di kantong. Kemudian, pembangunan yang dilakukan hanya seberapa persen saja dari keuntungan yang didapat dari merampas duit rakyat. Tidak perlu heran. Biasa saja. Kalau itu dinilai kurang, pengusaha di luar sana sedang antre memperebutkan tanda tangannya. Cih!
Aku menatap Fakultas Ilmu Budaya dalam diam seribu bahasa. Dari jauh, aku melihat Ahyang bersama dua sahabatnya tengah mengobrol asyik—entah apa—tertangkap kamera mata. Contoh sepertia dia, kalau semua mahasiswa mempunyai watak seperti dia, apatis dan tidak peduli, dia bahkan juga tidak tahu kalau dia sedang dalam bahaya. Seseorang mengincarnya. Memang maksudnya apa? Kalau bukan mengambil file yang berisi aliran dana gelap yang diberikan perusahaan ayahnya untuk para preman itu. Ahyang yang memegangnya.
Sebelum aku kembali ke basecamp BEM, sengaja motor Agung aku belokkan ke fakultas Ahyang. Memikirkan perempuan itu seharian tidak akan membuat laporan tugas Prof Suharno selesai. Dosen pakar pidana itu membuatku harus menyelesaikan dua laporan sekaligus karena harus membolos di ujian tengah semesternya. Aku berjibaku untuk fokus pada laporan, tetapi suara cecunguk itu membuyarkan konsentrasiku.
“AHAHAAHAA…” Suara tawa Agus dan Agung menggema. Beberapa orang yang lewat di depan basecamp pasti mendengar ledakan tawa mereka seperti yang orang gila. Mereka terpingkal-pingkal sampai membuat perutnya kram. Aku membiarkan saja mereka seperti orang kesetanan. Aku masih berjibaku dengan laporan dari mata kuliah Hukum Internasional, saat tepukan bahu Agus mengagetkanku.
“Kamu kayak kepiting rebus disiram saos kacang. Njiir!” Di tengah-tengah tawa mereka, masih saja nglantur tidak jelas. Aku yakin dia sedang mengoceh memberitahukan tampangku pada penghuni masyarakat Graha UKM tentang aku yang bertekuk lutut melihat pesona Ahyang. Hei, dari mana pendapat itu datang? Aku tidak setuju, dan tidak akan pernah mengakuinya.
“Pesona Ahyang membuat presiden BEM takluk,” sahut Agus di tengah tawa yang berderai.
Wahyu muncul, membawa map batik yang dibanting begitu saja di lantai marmer dan menatap Agus juga Agung bergantian. “Ada apaan sih? Ahyang siapa?”
“Kepo!”
“Jangan belagu lu, Nyet!” Wahyu mengempaskan diri di lantai sebelahku. Aku masih menekuri laporan. Wajahku sudah tegas dan sangat jelas, tidak ingin diganggu. Menteri Eksternalku itu tiba tiba merengut, tapi aku sudah melengos berjibaku dengan buku-buku dan laporanku.
“Si Bos tergaet sama cewek fakultas gua.” Di tengah keheningan kedua cecunguk itu meredakan tawanya, dia sudah mulai membuat Wahyu terperanjat kaget.
“DEMIII???”
“Iye,” sahut Agus meyakinkan. “Dia kayaknya lagi galau. Soalnya temannya bilang si cewek jomblo, nggak tahunya sebelum dia pergi udah digandeng sama cowok lain.”
“Si Bos patah hati nih?” Pertanyaan Wahyu langsung dijawab serempak oleh anggukan dua kloningan wayang itu. Kerlingan mata Wahyu membuatku jengah.
“ANJIING, LU BISA DIEM NGGAK. GUA LAGI BUAT LAPORAAAN!!!”
***