Begitu banyak permasalahan di dunia, salah satunya tentu saja uang. Terlebih bila seseorang memiliki sifat rakus terhadapnya. Bahkan dengan dengan cara buruk sekalipun ia lakukan demi mendapatkannya.
Seperti halnya Kepala Akuntansi sebelumnya. Pria paruh baya yang sudah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk Golden Star Group, tanpa disangka turut tergoda dengan rayuan uang. Dengan bukti penggelapan dana, beliau pun didepak dari perusahaan.
Peristiwa besar yang cukup mengguncang operasional perusahaan itu menjadi pukulan berat bagi departemen akuntansi. Suasana suram dalam ruangan tim akuntansi bukanlah hal baru lagi. Hari masih pagi, tetapi wajah lelah dengan kantung mata terlihat jelas di setiap karyawan.
Fazha menghela nafas panjang, sepanjang ia bekerja di GS, ini adalah waktu yang paling sulit baginya.
“Lihat kantung mata gue, pasti mengerikan!”
Fazha menoleh mendengar keluhan teman sekantornya, Reya tengah mengistirahatkan kepalanya di meja, di atas tumpukan kertas yang menggunung.
Gadis berambut sebahu itu mengangguk, lalu berkata, “Gue cuma tidur dua sampai tiga jam sejak kemarin, astaga… tim pembukuan sialan! Ini ngga ada habisnya.”
“Heh, Fazha!”
Fazha meringis saat sang senior, Agustina menegurnya karna berkata kasar.
“Maaf, Kak Atin, sengaja, sih, biar mereka dengar, hehe…”
Agustina menggeleng, paham dengan candaan Fazha, karna ia pun sudah merasa jengah dengan kelakuan tim sebelah.
“Gue mau bikin kopi, siapa yang nitip?” tanya Marvin seraya berdiri. “Kalau gue ngga minum kopi, bisa-bisa gue tidur lagi.”
“Gue, Vin, gulanya sedikit aja.”
“Yoi, Pak Manager! Yang lain ngga ada yang mau?” tanya Marvin lagi.
“Ngga usah,” ucap Agustina.
Fazha dan Reya turut menolak. Mereka sudah kebanyakan minum kopi demi begadang menyelesaikan dokumen dari tim pembukuan. Kembung!
“Ini di-print sekalian atau softfile aja?” tanya Reya.
“Tim pembukuan minta di-print sekalian, sih, Re,” jawab Agustin.
“Buset, ngerepotin!”
Fazha berdiri, merenggangkan ototnya yang kaku karna duduk terlalu lama. “Lo print aja, nanti kalau terlalu banyak komentar, lo lempar aja berkasnya ke wajah Pak Manager Arya, kan lumayan berkasnya tebal.”
Reya tertawa mendengar ucapan Fazha. Memang, temannya itu seperti memiliki dendam dengan manajer tim pembukuan. “Sip!”
Marvin pergi membuat kopi dan Reya mencetak dokumen, sehingga kini di ruangan hanya tinggal Fazha, Agustina, dan Manager Akuntansi, Julian.
“Ngomong-ngomong, tadi Pak Marcel bilang nanti Kepala kita yang baru datang, gue lupa namanya,” ucap Agustina, membuat Fazha mengalihkan atensinya dari layar komputer.
“Bagus deh, biar kerjaan gue berkurang dikit, kepala gue udah nyut-nyutan.” Julian menghela nafas lega, mengingat tugasnya menumpuk.
“Kenapa ngga lo aja, sih, Jul? Lo kan udah jadi manager cukup lama, kenapa malah cari yang baru?” tanya Fazha.
Sejujurnya, ia cukup dibuat penasaran. Secepat itukah perusahaan mendapat Kepala Akuntasi yang baru? Yeah, bukan masalah, sih, semoga Kepala yang baru cukup mumpuni dan bertanggung jawab.
“Heh, bocil, lo tau gue manager, enak banget ya lo manggil gue Jal Jul Jal Jul. Sopan dikit, Cil. Nanti di depan Kepala yang baru, panggil gue yang sopan!”
Fazha meringis mendengar omelan Julian, alias sang manager sekaligus kekasih Reya, temannya. Gadis itu semakin merengut tatkala Agustina tertawa, lebih tepatnya menertawainya. Memang ya, menjadi si paling muda itu tidak menyenangkan!
Yang paling muda, yang paling disayang tidak berlaku di tim ini. Tidak adil memang.
“Iya, Pak Manager, iya, tadi khilaf.”
“Gue dateng!” ucap Marvin datang dengan dua cangkir kopi di tangannya. “Nih, Pak Manager.”
“Thanks, Vin.”
Pria berambut ikal itu mengangguk lalu duduk di kursinya.
“Nanti siapa yang rapat sama tim pembukuan?” tanya Marvin. “Gue tadi ketemu Manager Arya, wajahnya udah seperti mau ngajak berantem. Jadi nanti yang rapat, gue titip, tolong pelototin si Arya,” lanjutnya.
Agustina tertawa renyah. Kemudian berkata, “Julian sama Reya, Vin.”
“Wih, enak ya pacaran sekantor, mana setim juga,” goda Marvin.
“Yoi, jelas, asal bisa professional aja sama kerjaan,” ucap Julian lalu menyeruput kopinya.
Fazha yang semula fokus dengan ponselnya pun kini menatap Agustina dengan wajah frustrasi. Jujur saja, ia memang sedang frustrasi. Orang tuanya lagi dan lagi menuntut dirinya untuk segera mengenalkan kekasih dikarenakan usianya yang hampir 25 tahun.
Masalahnya, ia jomblo dari lahir.
Ia masih ingin bekerja, mengumpulkan tabungan untuk orang tua, untuk dirinya sendiri, serta untuk adiknya yang masih bersekolah. Masih banyak keinginannya yang belum tercapai, tetapi orang tuanya yang tinggal di desa, masih berpikiran kolot. Dua puluh lima tahun itu sudah tua, katanya.
“Kenapa Fay?” tanya Agustina, Fay adalah nama panggilan Fazha. Kalau manggil Faz kan tidak enak, katanya saat Fazha menanyakan alasan Agustina memanggil Fay.
“Kak, cariin gue pacar, dong. Gue menyerah, capek.”
“Itu sama Marvin.” Julian menyahut membuat Fazha menyipitkan matanya.
“Masa gue jadi palakor, gimana, sih, Jul. Kalau mau bicara, dipikir dulu, dong!”
“Pak Manager, yang sopan, buset dah ini bocil,” ucap Julian.
“Fokus Bapak Manager salah,” balas Fazha dengan malas.
“Maaf nih, gue udah ada pacar, Pak!” Kini Marvin yang berucap, ia tidak mau namanya terseret.
“Maaf, Vin, gue ngga tau lo udah ada pacar.”
Marvin mengangguk mendengar ucapan Julian.
“Kok tiba-tiba banget, Fay?” tanya Agustina.
Fazha menekuk wajahnya, lalu berkata, “Biasalah, ortu minta gue cepat cari pendamping. Kepala gue pusing banget Kak Tin. Apa gue ikut kencan buta aja kali ya?”
Julian membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu, tetapi sebelum sempat bersuara, Fazha menyela terlebih dahulu.
“Kalau cuma mau bercandain, mending lo diam, Jul.”
“Pak Manager!”
“Maaf, khilaf, Pak,” ucap Fazha.
Bagi Fazha, Julianta sudah seperti kakak baginya, berhubung ia anak pertama, Fazha sangat ingin mempunyai saudara yang lebih tua. Sesekali ia ingin bermanja-manjaan. Sejujurnya, ia pernah merasa lelah jadi anak pertama.
“Boleh Fay, gue bantu nanti, sampai lo dapet jodoh.”
“Makasih Kak Atin.”
Disaat mereka kembali disibukkan dengan layar komputer, ponsel Julian berdering. Sebuah pesan masuk, katanya.
“Dari Pak Marcel, Kepala Akuntansi yang baru udah datang, mau kesini,” ucap Julian, membuat Agustina, Fazha, dan Marvin segera bersiap. “Ingat kalian, yang sopan sama beliau. Jangan ngomong lo gue, dan jangan lupa doa dalam hati, semoga Kepala yang baru ngga aneh-aneh.”
“Baik Baginda.”
“Ngga gitu juga, Fazha bocil!”
Dan benar saja, tidak sampai di menit kelima, pintu ruangan terbuka. Seorang pria tegap dengan pakaian rapi terlihat dari balik pintu. Rupa wajahnya cukup tampan dan tegas, kesan pertama yang didapat adalah pria itu sangat berkarisma.
Namun… tampak cukup muda.
Fazha hampir menyemburkan air minum di mulutnya saat mengenali pria itu. Mungkin, kah?