Panas.
Terik mentari bulan agustus seolah mendidihkan kepala. Sinar terang itu menghujam bumi tanpa ampun. Seolah tak mempersilahkan awan mendung berkumpul walau sekejap. Debu dan polusi membumbung di udara. Menyebabkan sakit tenggorokkan untuk setiap hidung yang tidak memakai masker. Deru suara mobil pemadam dengan sirine nyaring lalu lalang setiap jam sekali. Menuju si jago merah yang bertambah liar melompat-lompat seperti tupai selama bulan kemarau.
Ilona, gadis dengan topi abu itu berjalan riang di antara deretan perumahan elite. Kedua tangannya yang penuh kantung kresek berisi cemilan berayun kedepan dan belakang. Di balik masker tipis, terdengar senandung pelan dari mulutnya. Terik matahari kemarau tidak menghalangi gadis itu berjalan kaki dari gerbang komplek menuju rumah sahabatnya. Ya .... walaupun kaos biru polos yang membalut tubuhnya sudah banjir keringat dan menguarkan bau kecut. langkah kaki panjang dengan jeans di bawah lutut dan kaki di balut sepatu sport bermerk itu tetap riang menyusuri jalanan yang ramai oleh bocah bermain sepeda.
Hobi .... dari pada memanjakan diri di dalam mobil atau sadel motor. Ilona lebih suka menempuh jarak tertentu dengan kakinya.
Langkanya semakin lebar saat rumah dua tingkat bercat merah bata dengan papan kayu bertuliskan Sasaki terlihat beberapa meter di depannya.
Ting .... tong ....
Gadis itu menekan bel riang. Meletakkan kantong cemilannya sebentar di lantai, mengelap keringat yang becucuran, meraih kembali kantong dan mengayunkannya sedikit sambil menunggu.
Derit halus pagar yang bergeser menyapa telinganya. Senyumnya semakin lebar saat melihat Fumiko Sasaki—Anak sulung keluarga Sasaki—berdiri di balik pagar.
“Ilona .... masuk, Dek. Loh, kamu jalan kaki lagi dari gerbang, ya? Panas-panas gini, ya ampun.” Fumiko merebut satu kantong cemilan di tangan Ilona. Menutup pagar sebentar sebelum mereka beriringan masuk ke dalam.
Asri .... itulah kalimat pertama yang terlintas saat melihat halaman hijau penuh tanaman itu. Dua pohon mangga berdiri berdampingan dengan pohon jambu air yang penuh dengan semut merah besar.
Dulu, saat Ilona kecil. Berapa kali dia menangis saat serangga galak itu menggigitnya yang hendak memanjat pohon. Membuat Akira kecil memarahinya dan menyuruhnya duduk diam di gazebo dekat kolam Koi, sedangkan bocah lelaki itu seperti memakai baju baja memanjat pohon penuh dengan prajurit kecil merah yang langsung menggigit di sana-sini.
Bunga-bunga beraneka bentuk dan warna menambah elok pemandangan. Nyonya Sasaki yang memang suka berkebun akan menambah koleksi tanamannya setiap sebulan sekali. Entah itu gulungan tanaman semak yanng terpotong rapi di sekeliling pagar atau bunga dengan kelopak bertumpuk.
“Paman dan Bibi di mana, Mbak?” Rambut pendek sepundaknya bergerak-gerak saat Ilona menoleh ke kiri dan kanan.
Mereka sudah berada di ruang tamu. Tapi, tempat yang biasanya di isi oleh sang paman yang hobby duduk di sofa untuk sekedar menonton atau membaca buku itu kosong. Dan dapur yang terhubung langsung dengan ruang tamu juga legang dari kehadiran sang bibi.
“Biasa ....” Fumiko meletakkan kantong cemilan di atas meja makan. “Mereka lagi kencan di luar. Nggak akan pulang sampe malem.”
Ilona manggut-manggut. Matanya kini melirik pada Fumiko yang dia baru sadar sudah berpakaian sangat rapi. “Mbak mau kencan juga?” tanyanya yang membuat wanita di depannya langsung tersenyum malu-malu.
“Iya.”
“Sama Bang Adam?”
“Sama siapa lagi kalo bukan Adam.”
“Kirain Mbak udah punya cemceman baru yang lebih waras dari Bang Adam.”
Satu cubitan mendarat di pinggang Ilona. Membuat gadis itu menggeliat dan mengaduh tapi tak berani melepaskan cubitan sepedas cabai itu.
“Bilangin Bang Adam apa tadi?”
“Bang Adam paling ganteng segalaxi Bima Sakti. Cowok paling waras yang pernah Ilona temui, semoga kencannya berjalan lancar Mbak Fumiko sayang ....”
Fumiko baru membuka mulut saat suara bel kembali terdengar. Cubitannya yang melonggar di gunakan Ilona untuk kabur ke lantai atas, tempat kamar Akira berada. Di tengah tangga langkahnya terhenti hanya untuk sekedar melihat wajah malu-malu Fumiko menyambut kekasihnya.“Dih, bucin.” Cibirnya sembari kembali melanjutkan langkah.
Lantai dua hanya sebuah rooftop yang di sulap Paman Sasaki menjadi kamar untuk anak bungsunya. Ilona mengetuk pintu kayu dengan stiker warna-warni bertuliskan Akira tiga kali sebelum langsung menekan gagang kayu. Melihat lurus tepat pada ranjang king size tempat seorang pria bersurai di cat coklat sedang tertidur dengan buku di atas wajahnya.
Kamar itu terkesan kosong yang di dominasi denngan warna abu tua. Sebuah pintu kaca geser besar yang terhubung langsung dengan balkon membuat kamar itu tidak kekurangan sinar mentari. Terdapat satu lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati yang berdiri gagah di ruangan itu. Berdampingan dengan rak yang berisi penuh dengan buku dan komik. Di samping ranjang, sebuah nakas kecil tersandar manis dengan jam weker berwarna pink dan latop di atasnya. Hadiah ulang tahun dari Ilona saat Akira berusia 17 tahun. Sedangkan pintu bilik kamar mandi berada tepat di samping rak buku. Tak ada meja rias atau pun konsol game di kamar itu.
Ilona bejinjit memasuki kamar setelah dengan sangat hati-hati menutup pintu. Langkahnya berhenti tak jauh dari kasur. Mengambil ancang-ancang melompat ....
“AKIRAAAA!!!”
Tubuh Ilona melayang di atas Akira yang langsung berguling menghindar. Tapi tangan dengan jari panjang itu berhasil menampar wajah Akira.
“Dasar gila!” Maki pria itu sambil melemparkan bantal yang dengan lihai di hindari Ilona. Gadis itu terkekeh, berguling-guling di atas kasur. Beberapa detik kemudian alis Akira berkerut. “Lu jalan kaki?” tanyanya sambil menutup hidung.
Ilona mengangguk. “Bau, ya ....” mengendus bajunya yang penuh keringat. Tanpa di minta beranjak ke lemari pakaian Akira. Mengeluarkan sebuah kaos oversize hijau sage dan celana pendek lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara air shower terdengar satu menit setelahnya.
Akira ogah-ogahan turun ke dapur selama sahabatnya mandi. Mengambil beberapa cemilan di kantung kresek yang tadi Ilona bawa dan dua buah es krim vanila dari kulkas. Kembali ke kamarnya dan menunggu di atas kasur sambil membaca novel yang sempat terjeda karena tadi mengantuk.
Sepuluh menit kemudian, Ilona keluar dengan rambut sebahunya tergerai basah.
“Duduk sini, gue keringin rambut lu.” Akira menepuk pinggir kasurnya. Beranjak mengambil vitamin rambut dan hairdryer sambil menunggu Ilona mengambil es krim di atas nakas.
“Lu cuma bawa satu?” Tanya Ilona seraya membuka es krimnya.
“Punya gue udah abis.” Jawab Akira yang masih sibuk dengan rambut Ilona.
Ilona mengangguk pelan. “Mau icip?” Sedikit menoleh, menjulukan es krimnya pada Akira.
Akira makan segigit.
“Oh, malam ini gue jadi nginap, ya.”
Tangan Akira terhenti sejenak mendengar permintaan Ilona. Menatap penuh arti gadis itu. “Bang Matt nggak pulang lagi?” tanyannya hati-hati.
Ilona menurunkan es krimny yang tinggal segigit. Menerawang ke depan. Seminggu belakangan ini dia tidak pernah tidur di apartemennya. Walaupun pulang, dia hanya berganti baju atau mengambil beberapa keperluan penting bersama Akira atau temannya yang lain lalu pergi lagi. Takut? Ya .... itu alasan utama. Tapi bukan oleh hantu atau gangguan astral yang sering di lihatnya di film-film horror. Lebih ke arah film pembunuhan yang pelakunya mengincar korbannya yang sendirian di rumah.
Ilona. Gadis itu menjadi favorit sabit malaikat maut sedari tangisan pertamanya.
Gerigi sisir di kulit kepalanya membuat Ilona berjengkit. Akira sudah selesai mengeringkan rambutnya dan sekarang sedang menyisir rambut pendeknya. Tapi pria itu belum menjawab permintaannya.
“Nggak boleh, ya?” satu desahan kecewa lolos dari bibir mungil Ilona. Jari-jari panjangnya saling bertaut.
“Siapa yang bilang nggak boleh?”
“Lu nggak jawab tadi.”
Akira beranjak dari kasur. Meletakkan kembali sisir, hairdryer dan vitamin rambut ke dalam laci nakas. “Lu mau tidur bareng gue atau Mbak Fumi?” tanyanya tanpa menoleh.
Satu senyuman lebar terbit di wajah Ilona. Lagi-lagi dia melompat ke depan. Melingkarkan tangannya ke leher pria itu dan Menggosok-gosokkan keningnya pada rambut di semir coklat Akira. Lalu dengan riang berkata. “Tidur bareng lu, lah.”
Akira tersenyum kecil. Menepuk-nepuk pelan rambut Ilona penuh sayang.