HEAVENLY SUMMIT

HEAVENLY SUMMIT

Rastri Quinn

5

HEAVENLY SUMMIT



Keindahan puncak gunung bak surga,

menjadi saksi atas tumbuhnya cinta Atha dan Raras.

Sepasang manusia dengan Ego berbeda.


~~~


Hawa dingin membeku terasa menusuk ke dalam tulang, seakan membujuk gelombang listrik di otaknya yang kini berusaha berpikir keras untuk berhenti bekerja. Raras menggigit ujung bibirnya, berjuang mempertahankan kesadarannya agar tetap terjaga, sementara paru-parunya dipacu untuk menarik napas lebih cepat. Uh, debar jantung di dalam rongga dadanya pun mulai memekik menggila. Tubuhnya berontak, tetapi ia lebih keras kepala.


Tidak! Ia tak boleh kalah didera keganasan cuaca lereng gunung yang kini mendadak berubah kejam. Nasibnya bagai dipermainkan di atas seutas tali antara hidup dan mati. Tidak di saat Atha justru membutuhkan keberanian darinya. Keberanian untuk tetap bertahan hidup. Dan juga keberanian dirinya sendiri untuk melawan hawa dingin menyiksa di saat ia mulai melepaskan ritsleting jaket parasut tebal dan selapis kaus di baliknya, sehingga praktis hanya tertinggal sport bra melekat di permukaan kulitnya yang kini berbintik-bintik merah seakan terbakar suhu rendah yang mendidihkan pembuluh darah di bawahnya.


Ia memasuki kantong tidur yang telah lebih dulu dihuni oleh Atha- butuh usaha keras untuk memasukkan Atha ke dalam sana. Lalu, inilah dia ... Raras ikut melebur masuk bersama di sana dan membawa Atha ke dalam dekapan dadanya agar beroleh kehangatan yang tidak seberapa, namun berharga. Tangannya lantas bergantian menggosok-gosok kuping, wajah, dan pergelangan sang lelaki yang sedang tergolek tidak berdaya. 


Sesekali ia embuskan napas hangat yang diciptakan oleh rongga mulutnya bergantian ke tiap bagian wajah dan telapak tangan Atha. Bahkan kakinya pun turut bekerja menggosok kaki panjang Atha yang teraba sedingin es. 


"Bangun, bodoh! Dasar lembek!" Tak henti-hentinya ia bisikkan kalimat penyemangat itu pada sosok yang kini mulai menghangat dalam dekapannya. Setidaknya ia berhasil mendorong Atha untuk menguasai dirinya agar jangan sampai jatuh tertidur. Jika tidak, tamatlah riwayatnya dengan seluruh organ-organ tubuhnya gagal bekerja karena membeku. 


Ya, hanya inilah satu-satunya jalan keluar yang bisa ia perbuat untuk menjaga Atha tetap hangat- bergelung berdua dalam kantong tidur yang telah dikancing dengan rapat. Dan hanya selapis tipis pakaian dalamlah yang memisahkan kulit mereka berdua.


~~~


Saat ego bertemu dengan ganasnya alam liar.

Tunduk, atau kita akan kalah! 

Sebuah pengalaman yang memberi pelajaran tentang pentingnya persiapan yang matang.

Sebelum kita mulai bercanda dengan alam liar.

Bukan hanya logistik dan perlengkapan.

Tapi juga fisik dan mental.

Karena tidak ada yang lebih mengerikan, daripada aplikasi ilmu Search And Rescue.



Semuanya Bermula


Palembang, Agustus 2037


Raras menyeka peluh di pelipis dengan punggung tangan. Sudah cukup lama ia berdiri mengantre di depan klinik kesehatan kampus, kini tinggal beberapa orang saja yang tersisa untuk menjalani tes kesehatan. Rangkaian tes melelahkan ini seakan menjelma menjadi sebuah momok bagi mahasiswa baru. Bukan apa-apa, mengantre dari pagi sampai siang tanpa bisa meninggalkan barisan antrean memang sungguh menguras tenaga.


Sabar ... alon-alon asal kelakon. Itu adalah rapalan kalimat yang pasrah ia ucapkan keras-keras dalam hati, andai saja ia boleh berteriak: Ini 2037, Pak, Bu. Semuanya sudah serba digital dan terintegrasi dengan data kesehatan penduduk nasional. Bahkan setiap bayi yang baru lahir saja sudah dilakukan prosedur pemetaan genetika untuk mengetahui risiko penyakit bawaan seperti buta warna. Lantas ... kenapa mendaftar ulang kuliah harus pakai acara dites lagi? Ah, ribet.


Dan tes NAPZA adalah bagian yang paling menyebalkan. Mereka harus menahan buang air kecil cukup lama sambil mengantre di toilet. Enggak lucu, kan, kalau ia sampai harus menunggu berjam-jam lagi atau minum banyak-banyak agar bisa diambil urinnya seperti salah seorang yang telah ceroboh tak tahan buang hajat sebelumnya. Tolonglah. Ini benar-benar masalah timing yang menggelisahkan dan membuat keringat siapa pun berpacu hebat saking tak nyamannya.


Ah, sepertinya ia terlalu banyak mengeluh hari ini.


Saat Raras sudah berada di depan antrean, tiba-tiba seseorang tak sengaja mendorong tubuhnya sehingga ia jatuh mencium lantai berpanel kayu. Raras langsung menjadi bahan tertawaan. Dengan muka memerah dan meneguk ludah pasrah, gadis itu hanya bisa ngedumel dalam hati: "siapa sih?".


"Eh, maaf, saya tidak sengaja."


Raras menoleh — seorang cowok bertubuh jangkung tengah mengulurkan tangan ke arahnya dengan tampang bersalah. "Kamu gak pa-pa? Sini saya bantu." 


"Lain kali hati-hati." Bukannya menyambut kebaikan si empunya tangan dengan jari-jari panjang nan kokoh itu, Raras justru berbicara ketus lantas bangkit sendiri sehingga cowok itu tak punya pilihan selain menarik kembali anggota tubuhnya yang sempat ia relakan untuk disentuh oleh nonmahram tadi. 


Tanpa Raras sadari, cowok itu malah menghela napas lega dengan senyum tertahan di bibir dingin misteriusnya yang menipis sedikit. 


"Atha Al Khawarizmi!" Terdengar panggilan yang asalnya dari salah satu bilik pemeriksaan. Cowok yang menabrak Raras tadi lantas masuk duluan ke dalam sana. Raras pun kecele. Sudah ditabrak, didahului pula nasib dirinya. Slogan alon-alon asal kelakon yang jadi andalannya tadi nyaris ia lemparkan ke dalam tong sampah. Harus ia akui ... ini sangat menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi karena ia jadi tahu nama cowok itu. Atha Al Khawarizmi. Aaah, Raras bahkan sekarang mampu mengulanginya dengan tepat. 


. 。o❄❄o 。.