Hearts Come To Life

Hearts Come To Life

tza soemarjono

4.9

Hayi’s POV

"Hayi, thanks donatnya ya! Good luck for your next journey!"

"Yiiii ... ya ampun mesti banget cabut sekarang ya? Doain gue cepet nyusul ya!"

"Ciye, resmi alumni SRA sekarang lo!"

Aku nggak tau kalo last day di kantor yang sehari-hari lebih banyak bikin dongkol daripada bahagia ternyata bisa secampur-aduk ini perasaanya. Well, to be fair, kerja di sini memang kurang nyaman, tapi aku jadi kenal teman-teman yang kompak dan kocak. Kalau aku nggak ketemu mereka, mungkin kesehatan jasmani dan rohaniku jadi makin nggak karu-karuan. Tiga setengah tahun di kantor ini aja udah bikin kantong mataku jadi ungu, iya ungu, saking hitamnya sampai ungu. Ish.

"Haifa, paklaring diambil minggu depan ya! Pak Seno baliknya baru rabu soalnya. Oh iya, jangan lupa dokumen kamu yang berlogo kantor sama semua kartu nama di-shared ya ...." Mbak Tanya, manager HRD-ku berjalan mendekati bilikku dan memberikan satu buah map berisi dokumen slip gaji terakhir, bukti potong pajak, ehm ... apa lagi ya? Aku sampai malas untuk double check karena barang-barangku di meja masih belum semua masuk ke kotak, tapi aku yakin kalau Mbak Tanya bilang tinggal paklaring ya berarti dokumen lain sudah lengkap. She’s very detailed, I tell you.

"Makasih ya, Mbak!"

Mbak Tanya menjabat tangan dan mencium pipi kiri-kananku, "Wish you the very best of luck in all of your future endeavors!"

"Mbak Tanya juga ya! Semoga lancar lahirannya bulan depan." Setelah mengangguk dan tersenyum manis kepadaku, Mbak Tanya akhirnya berjalan kembali menuju ruangannya.

Sesaat kemudian, ponselku berkedip, ada telepon dari Mbak Yugi, teman satu kosku, "Yep?"

"Hey, Elle Woods! Aku udah di luar ya." Kantor Mbak Yugi cuma selang tiga gedung dari kantorku, makanya aku dengan nggak tau malu sudah mewanti-wanti sejak tiga hari yang lalu untuk memintanya menjemputku, untung saja hari ini dia nggak lembur.

Dan iya, kadang-kadang dia memanggilku Elle Woods—the Legally Blonde’s Elle Woods—karena penampilanku yang girlish banget. Aku dan Mbak Yugi kalau bersebelahan benar-benar seperti Melody dan Kuromi, tapi bukannya rival, kami malah saling menyayangi, hihihi.

"Bentar Mbak masih beresin meja, bentaaaar lagi."

"Bawaanmu banyak nggak? Kalau banyak, aku parkir aja dulu."

"Nggak usah Mbak, aku dibantuin ini sama temenku," aku mengosongkan laci lalu memberi isyarat tetangga depan bilik untuk membantuku mengangkat kotak berisi barang-barang, "Di tin tin nggak di depan?"

"Enggak sih, agak minggir ini, udah ngomong sama satpam juga tadi dibolehin stop di depan, tapi jangan lama-lama."

"Okey! Aku kelar nih tinggal turun ... see you!" aku mematikan sambungan telepon.

"Yo, entar jangan lupa kartu nama gue di robekin!" aku dan Rio, tetangga bilikku, berjalan cepat menuju lift yang terbuka.

"Beres, Yi!"

_____

"Mbak Yugi makasih yaaaa aku udah dijemput, jadinya nggak gotong-gotong kotakan gini pakai ojol." Kakiku yang tidak terlalu panjang membuatku harus sedikit melompat saat turun dari mobil SUV milik Mbak Yugi yang aku tumpangi.

"Ih! Medit banget sih pakai ojol! Pakai taxol kek!" Mbak Yugi mengambil salah satu kotak besar dari tanganku.

"Maap banget, aku harus mulai berhemat dari sekarang, apalagi mesti bayar kosan super splurge ini."

"Kamu nggak ada rencana pindah kosan yang lebih terjangkau sampai dapet kerjaan lagi?"

"Aku diusir?" ujarku dramatis.

Mbak Yugi memutar bola matanya, "Bukan gitu, Cantik! Kan biar ngatur keuangannya lebih gampang aja. Biar pas kosongan begini nggak medit-medit amat."

"Nope. I got all I need here. Emang kalo mau hidup nyaman ya harus ada yang dikorbanin sih."

"Ya udah kalo emang begitu rencanamu. Semoga cepet dapet kerjaan baru."

"Ngomongnya jangan kayak orang skeptis gitu dong Mbak Yugi, ah! Lagian kayaknya nggak lama kok aku nganggurnya."

"Lah aku mah pasti doain yang bagus-bagus lah, Yi. Cuma aku ngelihatnya kamu kayak grasa-grusu aja. Pengin cepet-cepet A, pengin cepet-cepet B. Kan ada banyak faktor yang mesti kita pikirin."

"Iiiihhh Mbak Yugi udah jangan nakut-nakutin!" aku menghela napasku berat, "Kan Mbak tau sendiri aku stress-nya kayak apa di SRA."

Kali ini ganti Mbak Yugi yang gantian menghela napasnya, ia hafal betul bagaimana gaya hidupku setelah hidup bersama dalam satu kos selama hampir empat tahun. Jam pulang yang tidak karuan dan kantong mata yang semakin hari semakin menggelap adalah salah dua dari sekian banyak yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Belum lagi segala curhatanku di akhir minggu tentang segala perlakuan tidak adil dari para atasan di kantor yang ngakunya work hard—play hard. Iya yang work hard cungpretnya¹, yang play hard bosnya. Sad truth.

Aku jadi ingat waktu ulang tahunku tahun lalu, aku sengaja ambil cuti karena ingin sekali istirahat di kos, tapi nyatanya tetap aja email dan panggilan telepon masih nggak berhenti. Bahkan saat aku sedang dipijit oleh Mak Sari—tukang pijit panggilan langgananku—aku masih mengangkat telepon untuk menjelaskan di mana managerku menyimpan file-nya. Demi Tuhan, itu kan harusnya dia yang paling tau.

Sebetulnya Mbak Yugi sendiri juga sering lembur, tapi jelas berbeda denganku yang hanya kacung startup tech yang bergerak di bidang edukasi. She's on a waaay different league with her position as an associate in one of the big four accounting firms. Iya lembur sering, tapi dompetnya jelas lebih tebal dari dompetku dan high-end skincare-nya jelas lebih efektif dari skincare-ku.

“Ya tau lah! Aku nih saksi hidup bibirmu sobek-sobek gara-gara setiap hari digigit-gigitin.” Bener, dia yang biasanya mengingatkanku kalau mulai secara nggak sadar melakukan kebiasaan buruk itu. "Ya udah, take your time deh, Yi ... istirahat yang banyak! Kalo butuh apa-apa, ring me ya!"

"Ciyap bozz!"

"Oh, congrats ya by the way! Sekarang Elle Woods udah bisa cari pacar!" ujar Mbak Yugi usil, yes, my previous job even gave me a minimum chance to date.

"Sure, Ma'am! It is indeed a good start."

_____

Aku belum cerita ya, namaku Hayi—Kanna Haifa Yassir. Aku anak tunggal yang lahir di Jakarta dan besar di Temanggung. Beberapa tahun terakhir emang kuhabiskan di Jakarta, karena semenjak kuliah di salah satu universitas swasta di ibukota, aku tau pasti Jakarta memang tempat tercocok untukku.

Well, Temanggung is indeed a beautiful and serene place, makanya si Papa senang sekali waktu tau pekerjaannya mengharuskan beliau memboyong aku dan Mama untuk pindah ke sana. Bukan kota besar, namun cukup dekat dengan beberapa kota besar.

An ideal place to live for certain people. Unfortunately not for me.

Inilah yang membuatku menunda (atau tidak berencana?) melaporkan perihal keputusan clumsy-ku resign dari Study Room Academy kepada kedua orang tuaku, or else ....

"Ndang mulih! [cepat pulang] Ngapain kamu keleleran di Jakarta nggak ada kerjaan?"

Fix kan? Bilang mama—papa nanti kalau udah dapet kerjaan baru aja.

Masalah kerjaan baru pun aku belum tau mau fokus melamar ke mana, biasanya sebelum mulai sebar CV kan kita buat strategi dulu nih, perusahaan-perusahaan apa yang akan jadi target lamaran kita. Kalau dulu sih waktu aku baru lulus, aku ngotot banget mau kerja di kantor yang layout kantornya punya konsep mirip-mirip sama kantornya google, yang banyak chilling space, lalu setiap hari bisa pakai baju casual.

Hey, don’t judge me!

Kelas dua SMP adalah pertama kali aku tau konsep kantoran yang seperti itu. Sore itu seperti biasa kalau sedang nggak ada les, aku dan mama nonton TV sambil makan kue-kue kering yang biasa mama panggang setiap minggu pagi, dan saat itu kami nggak sengaja lihat liputan tentang headquarter Google yang ada di California sana. Sejak saat itu, aku bertekad akan kerja di kantor yang modelnya seperti itu.

Makan tuh kantor cozy!

Delapan empat lima. Aku melirik malas jam dinding yang terletak tidak sesuai dengan faedah aslinya—di dinding—karena beberapa hari yang lalu, double tape yang selama ini berjasa merekatkan relasi antara tembok kamar dan bagian belakang jamku memutuskan untuk berpisah.

"No pasang paku ya, disini! Atau you orang nanti terpaksa saya denda, oke?" aku ingat sekali ultimatum dari ibu kosku di hari pertama aku menempati kamar ini.

Kamar kosku cukup besar, mungkin sekitar 20 meter persegi, dengan fasilitas yang cukup lengkap dan tanpa biaya tambahan laundry setiap minggunya. Juga, mengutip kata-kata Feni Rose setiap Sabtu pagi di acara jualan propertinya "Lokasi! Lokasi! Lokasi!" sehingga biaya yang harus kubayar setiap bulannya memang cukup besar apalagi dibandingkan dengan gajiku yang yaaaah ... terbilang so-so. Tapi menurutku, tempat tinggal sungguh memiliki pengaruh besar dengan kesehatan fisik dan mentalku, so it's definitely an investment for me.

Rasa lega dan khawatir berkecamuk di pikiranku saat ini, lega karena fase "gini amat sih cari uang" sudah lewat, dan khawatir karena fase "waswas karena tidak ada sumber penghasilan" yang sekarang harus kulewati.

Gini amat jadi manusia.

Selang berapa lamunan, ponselku bergetar, satu pesan singkat dari mama,

| Sudah makan? Mama barusan lihat iklan kantormu di TV

Aku menghela napas panjang. Oke! Nggak boleh lama-lama pokoknya nganggurnya biar bisa segera jujur sama orang tuaku.

_____

¹ cungpret: kacung kampret.