He's Mine

He's Mine

Fielsya

4.8

“Din, kantin, yuk! Laper gue.” Suara Rian membuyarkan lamunanku.

Terik sinar matahari siang itu terasa menyengat, membuatku begitu malas bergerak dari tempat semula. Kalau kata orang-orang zaman now, mah 'mager'.

“Enggak ah, males gue,” ucapku menolak ajakan tersebut.

“Yah, Din. Gue traktir es, deh,” bujuknya.

Tawaran yang menarik. Siapa coba yang mampu menolak sebuah traktiran es di siang bolong seperti ini?

Dengan terpaksa, aku bangun dari bangku kesayanganku di kelas dan melangkahkan kaki ini menuju kantin. Memang tak seperti biasanya. Aku yang begitu energik, hari ini rasanya malas melakukan apa pun, bahkan saat perkuliahan tadi aku juga hanya sibuk memainkan ponsel dan tak mendengarkan penjelasan dosen sama sekali. Beruntungnya Pak Irwan hari ini tak memberikan Quiz dadakan.

“Lo kenapa lemes banget, sih, Din? Enggak kaya biasanya,” ucap Rian.

“Tahu, nih! Gue lagi enggak enak hati,” balasku.

Oh ya, Rian adalah sahabatku sejak kecil. Rumah yang dekat, membuat kami bisa bermain bersama sejak kecil hingga saat ini. Jadi tak heran jika banyak orang yang akan mengira kami adalah sepasang kekasih, karena ke mana-mana kami selalu berdua.

“Lo mau pesen apa?” tanya Rian saat kami sudah berada di kantin kampus yang tak jauh dari fakultas kami.

“Batagor, siomay, soto, sama es jeruk dua,” jawabku.

“Om Bayu dan tante Naira enggak ngasih lo makan berapa hari, sih, Din?” tanyanya lagi yang mungkin syok mendengar rentetan pesananku.

Namun, menurut keegoisanku, itu sangatlah wajar. Mengingat terkadang Rian juga makan makananku seenaknya.

“Lo ikhlas enggak, sih mau traktir gue? Gue ‘kan cuma sekali ini doang ditraktir lo! Biasanya juga lo yang gue bayarin,” ucapku ketus sambil membuang muka.

Terlihat sekali raut kekesalan di wajah Rian, mungkin ia tak menyangka jika aku akan mengatakan hal itu. Namun, jujur saja aku tak seserius itu mengatakan hal tersebut, dan aku yakin jika ia juga tak akan benar-benar tersinggung dengan ucapanku.

Dengan wajah cemberut dan mulut yang masih menggerutu, Rian tetap memesankan daftar makanan yang aku sebut tadi. Ya, aku akui Rian memang sedikit pelit, tapi walaupun begitu, dia akan tetap melaksanakan ucapannya untuk mentraktirku.

“Woy! Gue cariin juga, ternyata ada di sini, lo!” sapa Angel—sahabatku yang lain.

“Ngagetin gue aja, lo!” protesku karena memang aku merasa kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Ya, Sorry, biasanya lo kalau ke kantin kan ngajak gue. Ini mah malah nyelonong sendirian,” ucap Angel.

“Kalau Andin sendirian, terus gue ini lo pikir setan?” sahut Rian yang baru saja selesai memesankan makanan.

“Eh, ada lo juga? Ya, maaf, kan gue tadi enggak lihat lo ada di sini!” seru Angel.

“Lo sendirian aja, Andra, Vania, dan yang lain ada di mana? Tumben gue enggak lihat mereka seharian ini,” ucapku sambil celingukan mencari keberadaan para sahabatku yang lain. Mungkin lebih tepatnya aku mencari Andra—seseorang yang aku sukai sejak melihatnya pertama kali di SMA.

“Neng Andin, lo udah pikun apa gimana? Mereka ‘kan lagi sibuk nyiapin malam puncak campus fest. Secara mereka itu anggota BEM,” ucap Rian. Mendengar BEM disebut aku teringat sesuatu.

“Astaga, kenapa lo enggak  ingetin gue dari tadi sih? Gue ‘kan juga anggota BEM!” Aku berdecak kesal. Lebih tepatnya kesal pada diri sendiri karena bisa-bisanya aku melupakan jika ada kegiatan sepenting itu.

Aku memang anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), jabatanku adalah bendahara umum. Biasanya jika ada kegiatan BEM, aku tak pernah lupa, mengingat Andra adalah ketua BEM tersebut, dan kegiatan apa pun Andra pasti akan terlibat di dalamnya.

Kalau kalian bertanya apa tujuanku menjadi anggota BEM adalah untuk mendekati Andra? Selamat, kalian benar sekali. Akan tetapi, caraku mendekatinya bukanlah seperti mereka yang secara terang-terangan memuja Andra. Tidak, aku tidak sebar-bar itu, yang akan menyatakan cintanya terlebih dulu pada Andra. Jika ditolak, maka akan menjadi bahan bully-an oleh gadis lain yang juga menyukai Andra.

Lagi pula, aku telah mengenal Andra sejak SMA. Laki-laki dengan tinggi sekitar 175 sentimeter yang memiliki kebiasaan melipat lengan jaket atau almamater di lengannya itu, sangat sulit untuk didekati secara khusus. Bahkan, dia juga pernah dikabarkan sebagai penyuka sesama jenis, karena terlalu sulitnya dia menerima cinta seorang gadis. Entah memang dianya yang hanya benar-benar fokus ingin belajar, atau seleranyalah yang terlalu tinggi. Hanya dia dan Tuhan yang tahu jawabannya.

“Gue kira, lo emang absen atau lo enggak ada kerjaan, makanya enggak gue tanyain,” ucap Rian.

Benar juga sih apa kata Rian. Setiap kegiatan yang ada, aku tak pernah mendapat tugas berat dari Andra. Entah apa alasan lelaki itu tak membiarkanku mengambil alih tugas yang berat. Katanya, aku cukup menjadi Ibu Negara yang baik dan mengelola keuangan dengan benar.

“Ini Kak, pesanannya,” ucap Mbak Arum–salah satu pelayan di kantin kampus seraya menata makanan di hadapan kami bertiga.

“Terima kasih, Mbak Arum,” ucapku, dan Mbak Arum hanya tersenyum.

“Kalau ada yang kurang, tinggal lambaikan tangan saja, ya, Kak,” ucapnya lagi sambil tertawa dan pergi begitu saja.

“Lah, ini ‘kan pesenan gue doang. Lo enggak pesen, Yan?” tanyaku yang merasa aneh karena hanya makanan yang aku sebutkan tadi yang datang.

“Enggak, lebih enak makan berdua sama lo!” seru Rian.

Eleh, bilang aja lo pelit pakai bilang lebih enak lagi, mana kenyang makan berdua. Enggak usah di kasih, Din. Lagian lo ini yang bayar!” sergah Angel tiba-tiba yang sedari tadi hanya sibuk memainkan ponselnya.

“Sembarangan aja kalau bilang, gue tahu, yang bayar nih makanan,” protes Rian.

Angel yang mendengar itu langsung saja memasang wajah kaget. Pasalnya memang Rian terkenal dengan sebutan si Pelit. Maka tak heran jika ucapannya jika ia yang membayar makanan itu sedikit diragukan oleh Angel.

Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatku ini, yang nyatanya memang masih mendebatkan siapa yang membayar makanan yang sedang aku makan.

“Eh, ini masih belum diminum, 'kan? Gue minum, ya! Haus banget,” ucap Andra yang tiba-tiba datang bersama dengan beberapa orang sahabatku yang lain dan langsung mengambil dan meminum salah satu es jeruk tanpa menunggu persetujuan dariku.

“Eh, kenapa lo yang minum? Itu punya Andin!” protes Rian.

“Din, punya lo? Gue ganti, ya?” tanya Andra sambil menunjukkan wajah bersalahnya.

“Eh, enggak, enggak usah diganti. Enggak apa-apa minum aja. Kalau masih haus, nih minum lagi,” ucapku seraya menyodorkan segelas es jerukku yang lain.

“Woy, gue nraktir lo, bukan Andra!” protes Rian yang wajahnya terlihat semakin kesal.

Akan tetapi, aku tak menggubrisnya. Lebih penting Andra tak kehausan dari pada meladeni kepelitan Rian.

“Ya udah, sih entar gue pesen lagi, gue bayar sendiri,” ucapku.

Rian hanya mendengkus kesal padaku. Namun, biarlah. Sahabatku yang satu itu tak akan pernah bisa berlama-lama marah hanya karena makanan.

“Eh, Andra, sini duduk katanya capek, malah berdiri aja,” ucapku yang baru tersadar jika Andra sedari tadi masih berdiri. Pun dengan yang lain yang baru saja datang bersama Andra.

Aku menggeser dudukku dan memberikan ruang agar Andra dan yang lain bisa duduk.

“Oh ya, Ndra, sorry banget ya aku enggak bantuin. Aku lupa kalau hari ini kita lagi nyiapin malam puncak campus fest,” ucapku.

“Cih, ke Andra aja aku-kamu, biasanya juga gue-lo,” decih Rian.

Namun, aku tak menggubrisnya. Terserah apa yang akan mereka pikirkan tentang sikapku pada Andra. Yang penting Andra tak merasa risih akan sikapku.

“Enggak apa-apa, oh ya, Din, nanti pulang bareng aku dan Vania, ya! Ada sesuatu yang harus kita beli. ‘Kan kamu bendaharanya.” Jujur saja aku begitu bahagia mendengar Andra mengajakku pulang bersama.

Tanpa pikir panjang, aku pun menyetujui ajakannya. Ya, walaupun itu hanya untuk membeli sesuatu, setidaknya aku bisa bersama dengan Andra.