Vara menarik napas dalam sambil menutup mata mencoba menikmati angin yang berhembus dan membuat rambut panjangnya berkibar. Ia sangat menyukai liburan di Pantai kali ini karena ia pergi bersama kedua temannya yaitu Cindy dan Kezia dalam rangka merayakan kelulusan kuliah mereka bertiga. Mereka sudah berteman sejak kecil, tapi jurusan kuliah mereka berbeda. Walaupun circle pertemanan mereka sudah sedikit berbeda, tapi sesekali mereka masih suka liburan bareng seperti saat ini.
Vara kemudian mendengar suara Cindy memanggilnya. Ia kemudian membuka mata lalu menyusul teman-temannya yang sudah duluan bermain di bibir pantai.
Cindy menyuruh Vara untuk berlari lebih cepat karena mereka akan berfoto bersama. Fotografer sudah siap membawa kamera professional ala-ala yang sudah mengikuti perjalanan mereka sejak kemarin dari Jakarta.
Vara dengan sigap berdiri dengan teman-temannya lalu berpose di depan fotografer. Mereka berganti-ganti gaya sambil bergantian foto sendiri. Setelah merasa cukup, mereka kembali berjalan di bibir Pantai lalu berhenti ketika sudah lelah.
"Gue sudah bilang sama Papi soal rencana kita ke Eropa. Kita jadi berangkat dua bulan lagi, kan?" Cindy bertanya ketika mereka akhirnya bersantai di sebuah klub pinggir pantai dan sesi foto juga sudah berakhir. Fotografer yang mereka sewa sudah entah ke mana.
"Of course! Papi sudah kasih lampu hijau, tapi kayaknya gue harus berangkat sama Mami. Papi nggak mau kalau cuma kita bertiga aja." Kezia menyeruput mocktail langsung dari gelas tinggi. Setelah itu, ia beralih ke Vara, “Lo gimana, Var? Papi ngizinin nggak?”
“Gue belum bilang sama Papi nih, tapi kalau Mami sih bisa dibujuk. Gue takut Papi nggak setuju sih soalnya kita jalan-jalan melulu sejak bulan lalu. Papi rewel karena tiap hari dapat notif kartu kredit terus. Sebelum berangkat kemarin pun sudah ngancam mau narik kartu kredit kalau gue boros.”
“Papi lo pelit banget sih, Var.”
“Iya nih, sejak gue wisuda, jadi makin pelit. Padahal dulu biasa aja kalau cc dipakai buat jalan atau belanja."
"Yah, kalau misalnya lo nggak boleh pergi sama bokap, nanti gue yang bayarin aja."
"Jangan lah! Nanti gue minta izin lagi ke Bokap, Cin. Kalian berdua atur itenary dulu aja, gue bujuk bokap."
Setelah obrolan rencana ke luar negeri berakhir, mereka kembali bercanda dan tertawa menikmati liburan. Kezia punya rencana untuk pergi ke club sekalian mencari summer fling di Bali. Katanya, bosan kalau hanya jalan bertiga bersama fotografer mereka yang datang bersama istri.
***
Vara dan kedua temannya pergi ke sebuah club. Vara sempat ragu, tapi Kezia berhasil meyakinkan Vara untuk pergi. Sebenarnya tidak terlalu suka ke bar/club atau apa pun itu kalau tidak dipaksa atau terpaksa. Ia selalu mengajak teman-teman kuliahnya ke cafe. Jika teman-temannya menolak, Vara selalu bisa membujuk dengan cara mentraktir mereka.
"Kayaknya kita salah tempat deh. Kok yang datang nggak ada anak muda keren gitu sih? Om-om semua nggak sih?" Protes Cindy di tengah musik yang menghentak keras. Ia harus setengah berteriak bicara pada Kezia dan Vara.
"No, we are at the right place. Masuk sini lumayan mahal, jadi yang datang pasti sudah terjamin bukan benalu," sahut Kezia.
Vara mengangguk mengerti yang dimaksud benalu oleh Kezia. Laki-laki yang ingin menumpang hidup berkedok cinta. Vara pernah mendapatkan benalu itu. Ia dulu dimanfaatkan oleh laki-laki yang bilang menyukainya tapi ternyata menyukai uang orang tuanya.
Vara yang polos iya-iya saja dimanfaatkan sampai kakaknya harus turun tangan. Vara patah hati dan mulai berhati-hati terhadap laki-laki yang ingin mendekatinya. Makanya, sejak mulai kuliah, Vara sudah meminta orang tuanya untuk menjodohkan dengan pria kaya supaya Vara tidak terjebak blagi.
"Tuh, lihat ke arah jam dua. Dari tadi ngelihat ke sini mulu. Kayaknya sih ganteng-ganteng ya," ucap Kezia sambil mencolek Vara dan Cindy. "Kita tunggu aja berani nyamperin atau nggak."
"Kez, kok agak seram, ya? Kalau mereka jahat gimana?" Vara bertanya agak khawatir.
"Teriak aja. Kalau berani macam-macam, pokoknya teriak."
"Ramai begini, Kez."
"Teriak aja–wait. Mereka ke sini!" Kezia mendadak heboh karena ada tiga pria dewasa yang menghampiri mereka.
Ketiga pria itu mengajak kenalan, Vara tidak terlalu ingat siapa saja nama mereka karena Vara tidak terlalu tertarik. They look much older, bukan tipe idealnya Vara.
"Kami datang sama satu teman lagi, tapi dia lagi nelpon di depan. Mind if we join?"
Kezia dengan santai mempersilakan mereka untuk bergabung.
Vara tidak pernah tahu kalau Kezia bisa dengan mudah bergaul dengan laki-laki karena dulu Kezia juga sama culun dengannya. Tampaknya Kezia sudah berubah.
"Kalian dari Jakarta? Liburan?" Seorang laki berkepala botak bertanya.
"Yep, liburan baru lulus kuliah."
Ketiga pria itu tampak kaget. Salah seorang pria kemudian berkomentar. "Kalian masih muda ya."
"Loh memangnya nggak kelihatan kalau masih muda, ya?" Cindy bertanya sambil tersenyum.
Vara tidak terlalu aktif menyimak obrolan mereka. Ia mendadak bosan dan malah chatting dengan Mami. Namun, tentu saja ia berbohong dengan mengatakan bahwa ia sedang di kamar hotel.
Perhatian Vara baru kembali ke tempat itu ketika ada seorang laki-laki bergabung dan sudah mengulurkan tangan mengenalkan nama. Vara mengangkat wajah bingung tapi kemudian terpana.
Pria itu tampak tenang, dewasa dan tidak tertarik dengan Vara maupun teman-temannya. Beberapa kali, Vara sempat melirik pria itu tapi tidak berani untuk mengajaknya bicara. Tidak lama kemudian, pria itu meminta izin untuk pulang duluan, tapi selalu ditahan. Ia tampaknya terjebak bersama teman-temannya—sama seperti Vara.
Vara akhirnya tahu bahwa usia mereka memang terpaut jauh. Mereka literally pria dewasa, bukan dewasa tanggung seperti Vara dkk. Malam itu, Vara pulang sendiri bersama Cindy sementara Kezia pergi bersama salah seorang pria.
Vara tidak bisa melarang Kezia karena temannya itu sudah tahu apa yang dilakukannya. Vara tidak ingin terlalu ikut campur walaupun ia tetap mengingatkan Kezia agar kembali ke vila lagi.
“Kez memang berubah semenjak putus sama si Juan. Brengsek banget tuh si Juan. Kayaknya, dulu pas pacaran mereka sering begituan deh makanya Kez juga biasa aja diajak lanjut gitu.” Cindy bersandar ke sofa begitu tiba di vila.
Vara mengikuti Cindy dan duduk di sebelahnya. “Kok bisa, ya?”
Cindy mengernyit. “Bisa apaan, Var?”
"Kok bisa Kez begituan sama Juan? Dulu kan Kez juga culun sama kayak kita. Lo sudah pernah begituan, Cin?"
Cindy menatap Vara aneh. "Memangnya lo belum pernah, Var? Kemarin waktu pacaran sama si Alex memangnya ngapain aja?"
“Ih, lo sudah pernah?” Vara yang mendadak heran mendengar pertanyaan temannya. Ia sama sekali tidak pernah sejauh itu bersama pacar-pacarnya. Vara selalu ingat kata Mami untuk tidak melakukan seks pranikah. Vara sempat sebal karena ia tahu kakaknya sudah pernah melakukannya sebelum menikah dan orang tua mereka setengah menutup mata.
"Sewaktu Fatih mau kuliah di Aussie, gue sama dia ngelakuin itu. Biar dia nggak selingkuh."
"Heh? Memangnya ada jaminan kalau begituan terus Fatih nggak selingkuh?"
"Nggak ada, tapi I just want my first time with him, Vara. You know, gue sayang banget sama Fatih."
"That's why lo nolak ajakan si botak tadi walaupun lo sama Fatih sudah putus."
"Lagi putus,” ucap Cindy mengoreksi Vara. “Gue percaya bakal balikan lagi sama Fatih kayak yang kemarin-kemarin. Lagipula, si botak bukan tipe gue. They're too old for us ya nggak sih? Si Kez suka karena memang tipenya yang dewasa gitu, kan? Waktu pertama pacaran sama Juan aja, kita kan manggil dia om-om. She was 20 when Juan is 33. Gila sih."
"Gue nggak kebayang gimana rasanya pacaran sama yang lebih tua kayak seumuran Juan gitu. Dari obrolan aja kayak nggak nyambung gitu. Belum lagi… kayaknya pasti harus seks, ya?"
"Ya belum pasti juga sih, tapi namanya cowok… mungkin ada pikiran ke sana. Kalau Kez bilang sih, pacaran sama yang lebih tua itu enaknya nggak banyak drama. Dia suka kesel kalau gue sama Fatih ribut mulu. Saking keselnya nyuruh gue putus sama Fatih. The thing is… gue sayang banget sama Fatih dan nggak mau putus. Orang tua gue dan Fatih juga setuju kalau kami nikah."
“Terus kenapa nggak nikah?”
“Nunggu dia selesai sekolah dulu.”
“I wish I could meet someone like Fatih, Cin. Kalian memang cocok banget sih.”
"Ya boleh, asal jangan Fatih. He's mine. Anyway, dari cowok-cowok tadi, apa nggak ada yang sesuai tipe lo? Yang pakai baju merah tadi kayaknya tertarik sama lo."
Vara menggeleng setengah berbohong. Ia tidak mau mengakui bahwa ia sempat tertarik pada salah seorang di antara mereka tapi memang hanya sebatas tertarik saja. "Like you said, they're too old. Sebenarnya nggak terlalu masalah, tapi ini Bali, gue takut diajakin macam-macam."
Cindy mengubah duduk untuk menghadap Vara dan menyimak. "Var, kita jarang banget bahas ginian sih, tapi jujur deh, lo sudah pernah ngapain aja selama pacaran?"
Vara bergerak tidak nyaman. Namun, akhirnya ia mengaku kalau tidak melakukan hal-hal 21+.
"Not even an oral?"
Vara mengernyit, lalu menggeleng. "Nope."
“Var, di antara kita bertiga, kayaknya dulu lo yang paling bebas mau ngapain aja dibolehin. And… We all know that you have a cool sis. Like really kewl. Memangnya nggak pernah diajak nongkrong sama kakak lo?”
“Ya nggak lah, Mbak Arsa kan selalu anggap gue masih anak kecil. Kalau pergi juga mana pernah ngajak gue.”
“Ternyata, lo jauh lebih polos dari yang gue pikir, Var. Gue pikir, pas lo pacaran sama Alex tuh sudah jauh banget. Ya reputasi si Alex yang player kan sudah terdengar ya di mana-mana. Aneh aja kalau lo nggak ngapa-ngapain sama dia. Sewaktu dengar kabar lo pacaran sama dia aja gue kaget banget.”
“Dia sempat ngajak gitu-gitu, tapi gue nggak mau. Dia marah, tapi pas gue bayarin modif mobilnya eh baik lagi. Problem solved.”
Cindy tertawa. “Oh my God, money can solve everything banget ya. Untung sekarang sudah putus sama benalu.”
Vara tidak ingin mengakuinya, tapi dalam kehidupannya uang memang segalanya.
***