Hati yang Tersemat

Hati yang Tersemat

Hanya Kala

0

Namaku Rania Anindira Hanan. Keluarga dan teman-temanku biasa memanggilku dengan nama Rara. Ya, itu lebih simpel dan aku menyukainya. Aku mahasiswa semester akhir berusia 22 tahun.

“Raraaaaaa .....“ suara teriakan terdengar dari ruang keluarga.

“Lo mau berangkat bareng atau sendiri? Buruan, nanti gue kesiangan” lanjutnya. 

“Andraaa!!! Kebiasaan banget manggil adik sendiri kaya gitu.” teriak mama yang tidak suka cara kakakku mengobrol denganku. 

Aku tertawa. 

“Gue kan udah bilang kalo di rumah jangan pake elo gue” bisikku pada kak Andra setelah duduk di sampingnya.

“Lagian lama banget sih di kamar” jawabnya. 

“Ya udah ayo berangkat, gak usah ngomel mulu, berisik” ajakku pada kak Andra yang dibalas dengan dia mengacak-ngacak rambutku. 

Aryandra Handitia Hanan, nama lengkap kak Andra. Kak Andra terkenal sebagai pria tampan dan berwibawa saat di kantor. Padahal jika di rumah atau di luar kantor, dia sangat jail, bahkan gaya bicaranya santai sekali. 

"Heran gue, banyak banget yang naksir elo kak. Kalo mereka tau kelaluan elo di rumah, kayanya mereka bakal kabur" kataku suatu hari. 

"Hahaha." kak Andra tertawa. "Sebagai penerus tahta papa, gue harus jaga image di kantor. Lagian gue ganteng, kejailan gue pasti termaafkan." begitulah kak Andra.

Setiap hari kak Andra selalu mengantarku sampai di kampus. Setelah lulus kuliah, kak Andra langsung membantu papa bekerja di perusahaan keluarga.

Hari ini aku harus mewawancarai salah satu perusahaan besar di kota ini untuk melengkapi skripsiku. Setelah aku sampai di kampus, aku langsung menuju ke perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam sekaligus bertemu dengan sahabatku, Lisa. 

“Kak Andra udah pergi Ra?” tanya Lisa yang sudah menunggu di depan gerbang kampus sambil melihat jauh ke arah parkiran. 

“Kirain elo nunggu di perpus, baru nyampe juga?” tanyaku.

“Gue sengaja nungguin elo di sini buat ketemu kak Andra” jawabnya. 

“Elo kan janjian sama gue, bukan sama kak Andra” mataku mendelik mendengar jawabannya.

“Ya ampuuunnn Ra, masa gak ngerti sih. Kak Andra tuh ganteng banget, gue suka liat kakak elo” kata Lisa dengan mata berbinar lalu kutarik tangannya menuju ke perpustakaan. 

“Suka atau cinta?” tanyaku mendelik.

“Lama-lama jadi cinta juga gak masalah. Gue rela jadi kakak ipar elo” senyumnya penuh harap. “Kak Andra udah punya pacar belum?” tanya Lisa tiba-tiba. 

“Kakak gue itu orang paling sibuk sedunia. Mana ada dia kepikiran pacaran. Kayanya kalo dia udah ketemu sama yang serius langsung nikah deh” jawabku. 

Kak Andra memang sangat sibuk. Setiap hari dia memang sempat mengantarku ke kampus. Tapi pulangnya sering sampai larut. Dia ambil alih tugas papa di kantor supaya papa bisa pulang lebih awal. Menurut kak Andra, sudah waktunya papa pensiun setelah aku lulus kuliah nanti. Makanya kak Andra begitu serius bekerja sebagai pewaris perusahaan dan tidak mau dianggap hanya sebagai pewaris yang tidak bisa apa-apa.

Aku tidak berniat sama sekali untuk bekerja di perusahaan papa. Walaupun papa sudah menjamin posisi yang bagus untukku di perusahaan. Aku lebih suka menjalankan bisnis kecil-kecilan yang sudah aku tekuni satu tahun terakhir ini. 

“Gue harus memantaskan diri jadi istri kak Andra” kata Lisa lagi-lagi dengan senyuman penuh harap.

“Udah deh Lis, bukannya gue gak mau elo jadi ipar gue, tapi pikirin dulu skripsi elo yang sampe sekarang masih banyak revisi” aku mengingatkannya sambil mengeluarkan buku yang akan kukembalikan. Lisa hanya cemberut dan aku tertawa.

“Elo jadi ke perusahaan PT Adyatama?” tanya Lisa sambil membuka pintu perpustakaan. 

Kukira ruang perpustakaan masih kosong, ternyata sudah ada beberapa mahasiswa di dalam, salah satunya Dika. Laki-laki yang sudah 1 bulan ini kuhindari untuk bertatap muka langsung. 

“Jadi.” jawabku sambil berusaha bersembunyi di balik badan Lisa. 

“Kenapa sih lo?” Lisa langsung melihat ke arah beberapa mahasiswa yang sedang duduk membaca. Dia langsung menemukan Dika dengan beberapa tumpukan bukunya. 

“Ya ampun, mau sampe kapan sih lo ngehindarin Dika?” tanya Lisa. 

“Bukan ngehindar sih, gue males aja ketemu dia.” Aku buru-buru menyelesaikan administrasi pengembalian buku perpustakaan dan langsung menarik tangan Lisa keluar. 

"Kok malah keluar sih? Bukannya kita mau nunggu di perpus aja sebelum berangkat ke PT Adyatama?" tanya Lisa.

"Mending gue berangkat sekarang aja, daripada harus ketemu Dika." jawabku.

"Tapi ini masih jam 8 Ra, elo janjian wawancara jam 10 kan."

"Iya sih, tapi ya udah deh gue tunggu di kantin aja sambil beresin revisian."

"Gue ke ruang dosen dulu ya, dospem gue udah dateng biar langsung bimbingan." Lisa sambil setengah berlari setelah melihat dari kejauhan dosen pembimbingnya menuju ruang dosen. 

Aku pun menuju kantin. Awalnya aku berniat membereskan revisi skripsiku, tapi aku lebih memilih membuka handphone dan mengecek akun sosial media khusus bisnisku. Aku sudah memulai usaha custom bouquet sejak satu tahun yang lalu. Pesanan memang belum ramai karena aku membatasi pesanan mengingat kesibukanku menyusun skripsi.

Setelah satu jam di kantin, aku langsung menuju kantor PT. Adyatama. Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman kesehatan. Aku mendapat kesempatan untuk mewawancarai perusahaan ini setelah beberapa bulan pengajuan dan pengolahan data. 

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" sapa resepsionis.

"Pagi mba, saya ada janji dengan Pak Erlangga." jawabku.

"Dengan mba Rania ya? Silahkan langsung ke ruang tamu di lantai 3 ya mba." Resepsionis langsung menunjukkan arah lift.

"Terimakasih mba." kataku sambil langsung menuju lift.

Ada seorang pria juga yang sedang menuju lift. Kita sama-sama menunggu pintu lift terbuka. Saat terbuka dia mempersilahkan aku masuk lebih dulu. Dia menekan tombol lantai tiga. Aku hanya tersenyum dan dia membalas dengan senyuman tipis. Seorang pria tampan dengan kemeja warna coklat yang digulung di bagian lengan. Bagian pipi dan dagu ditumbuhi sedikit rambut. Tubuhnya tinggi dan tegap. Mungkin usianya sudah menginjak kepala tiga. Ah, kenapa aku jadi memperhatikannya?

Setelah keluar dari lift, aku langsung menuju ruang tamu yang terletak tepat sebelah kanan dari lift. Lalu pria itu belok ke kiri.

"Rania?" tanya seorang pria yang sedang berjalan masuk ke ruang tamu.

"Iya betul pak, saya Rania." jawabku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Pak Erlangga?" tanyaku. 

"Bukan. Saya Devan, wakilnya." jawabnya sambil menjabat tanganku. "Ang... maksud saya pak Erlangga gak bisa nemuin kamu, dia ada rapat mendadak, jadi saya ditugaskan menggantikannya untuk wawancara ini." jelas pak Devan. 

"Oh, maaf saya kira pak Erlangga." kataku. 

"Santai aja, ini bukan wawancara resmi kan, kita lanjutin sambil duduk." Pak Devan mempersilahkan aku duduk. "Kita ngobrol santai aja, yang penting semua kebutuhan untuk kelengkapan skripsi kamu terjawab."

"Baik pak."

Akhirnya aku melakukan sesi wawancara ini seperti mengobrol biasa. Setelah satu jam wawancara selesai, aku pun pamit. 

Aku pikir akan bertemu langsung dengan pak Erlangga, pemilik sekaligus ceo PT. Adyatama. Tapi ternyata beliau sibuk. Aku bergegas keluar gedung kantor tersebut. Di luar gedung aku melihat pria yang tadi satu lift denganku berada di parkiran motor. Setelah menaiki motornya, dia langsung melaju pergi. Mungkin dia juga karyawan di perusahaan ini. Ah, lagi-lagi aku memperhatikannya.