“Aku tidak sudi memaafkannya. Jika saja dia tenggelam dalam danau penyesalan, aku pasti menyaksikan kematiannya dengan tatapan kosong tanpa perasaan apapun” itulah kalimat terakhir yang ku tulis dalam buku harianku ini. Seperti hari-hari biasanya, di ujung malamku ku gunakan untuk mencacinya, namun entah mengapa, setiap sumpah terasa berbarik menyerangku, menyerang hati kecil yang telah remuk ini. Pria yang ku panggil ayah itu tak lagi memenuhi syarat menjadi seorang ayah. Aku tak pernah tahu sakitnya hati terasa bisa membunuh. Setiap malam begitu menyiksa. Ku dekap erat tubuhku yang bergetar karena isakan, ku rasakan gerakan dari meja yang kusandari. Duduk aku seorang diri di kamar yang gelap ini seakan sedang bersembunyi, entah kepada siapa aku ingin sembunyikan diriku. Toh tak kan ada yang mencariku. Aku sendirian, bersama hatiku yang semakin hari terasa mengecil seperti tubuh yang ringkih ini.
Pagi itu sama seperti pagi-pagi lainnya, ku lihat jam di ponselku menunjukkan pukul 9 lagi 20 menit. Segera aku bersiap memakai kemeja dan celana jins. “tiittt..tiitttt” Aku menelfon Iyan, namun lelaki yang mungkin belum bangun itu tidak juga mengangkat telefonnya. Dengan perasaan kesal aku terus menelfon sambil mengoleskan lipstick orens di bibirku. Suara telfon yang menunggu untuk diangkat benar-benar membuatku kesal. Aku tak perduli lagi. Ku raih kunci motor di belakang pintu ruang tamu dan segera berangkat dengan terburu-buru. Di perjalanan aku sudah memikirkan kata-kata buruk yang akan ku lontarkan untuk anak lelaki yang tidak mengangkat telfonnya itu. “Lihat saja nanti. Kau akan berakhir hari ini.” Aku Nissa, perempuan yang selalu mendapat keinginannya, gadis dengan pesona yang membuat cowok-cowok bertengkar untuk memilikinya. Aku bukanlah gadis ramah dengan senyum manis, aku juga bukanlah wanita feminin. Aku memiliki tatapan yang tajam dan terlihat sedikit dingin. Namun entah mengapa, para lelaki itu sangat menyukaiku.
Ku parkirkan motor matik putihku di depan kelas. Aku sangat beruntung karena aku datang bersamaan dengan dosen. Segera aku berlari masuk kelas dan memilih tempat duduk di barisan kedua. aku tak begitu dekat dengan teman sekelasku. Namun aku memiliki gang cewek dalam kelompok ber empat, mereka adalah Elsa si pintar, Sari si stylish dan Devi si kalem yang selalu menempel padaku. Hari itu aku duduk tepat di belakang Sari. Aku bukanlah anak yang suka belajar namun aku cukup pandai. “Good morning Nis” sari membalikkan badannya dengan senyum manis nan hangat. “Good morning” aku membalas sapaannya dengan senyum yang singkat. Tak berapa lama kelaspun dimulai. Ditengah pembelajaran aku melihat hpku yang bergetar panggilan dari Iyan. Cowok yang kurang lebih sebulan ini kupacari. Aku tentu tak akan semudah itu mengangkat telfonnya. Kubiarkan sj hpku dalam mode diam sampai kelas berakhir.
“sayang, maaf aku ketiduran.” “angkat telfonnya” “kamu dimana?” “P” “P” begitulah kira-kira isi pesannya. Aku melihat pesan itu dan mengabaikannya. Iyan sudah lama mengenalku. Dia sudah menyukaiku sejak pertama kali melihatku saat pendaftaran mahasiswa baru. Aku? Aku tentu menyukainya. Aku menyukai semua yang menyukaiku. Segera setelah dosen keluar dari kelas aku menghubungi Iyan, tentu saja bukan untuk berdamai. Tapi untuk memulai perang yang akan melegakan hatiku. Aku sungguh tidak sabar melontarkan kata-kata pedas padanya. Hatiku rasanya dipenuhi dengan gemuruh yang siap meledak kapan saja. “Datang ke kelasku sekarang” aku mengirim pesan itu dengan tangan yang bergetar. Entah mengapa, setiap kali aku akan marah tanganku selalu bergetar. Tanpa basa-basi aku langsung naik ke motornya. Kami pergi ke tempat sepi dekat perpustakaan dan memulai pertengkaran hebat kami. Aku sudah yakin dan sangat yakin untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Sudah beberapa kali dia mengingkari janjinya dengan dalil ketiduran. Tidak! Aku tak bisa menerima itu. “Kamu pikir kamu siapa? Mengapa kamu menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kamu tepati” aku meledak namun dengan suara yang wajar. Aku sama sekali tak suka menjadi pusat perhatian orang-orang. “Kamu tahu gak? Aku bahkan tak masuk kelas pertamaku karena ketiduran. Ini kan baru kali kedua. cobalah mengerti aku sedikit saja” suara pria itu sama besarnya denganku. “Aku tak suka caramu yang seperti ini. kita akhiri saja sekarang! Kataku sambil mengancam, tentunya aku ingin dia menahanku dan memohon-mohon agar tak meninggalkannya. Namun di luar dugaan dia terdiam. Dia diam untuk beberapa saat. “Kamu dengar aku?” aku mulai menatapnya dengan tajam “dia masih terdiam dan mengalihkan pandangannya ke sekitar sambil menarik beberapa nafas panjang. Aku yang merasa diabaikan lalu duduk di bangku bawah pohon samping motornya. Beberapa saat kemudian dia mulai membuka mulutnya. “Baiklah, kalau itu maumu, ayo kuantar kembali ke kelasmu” suaranya melemah ketika mengatakan itu. Perasaanku campur aduk. Tidak! Bukan ini yang kuinginkan. Minta maaflah! Dan memohonlah agar aku tak meninggalkanmu! Namun aku tak mungkin mengatakan itu padanya. Sikapnya menjadi sangat lembut, dia tersenyum padaku seakan tak pernah terjadi perdebatan sebelumnya. Dia mengantarku kembali ke kelas “hati-hati ya” katanya padaku dengan senyuman sesaat sebelum dia memutar motornya dan pergi menjauh.
Aku yang meninggalkankanya melangkahkan kakiku dengan hati yang masih bingung, “Apakah semuanya sudah berakhir? Namun egoku yang begitu besar kembali membesarkan hatiku. “Inilah yang seharusnya dilakukan. Aku melakukan hal yang tepat. Aku baik-baik saja. Aku cantik dan hebat. Aku selalu mendapatkan yang kuinginkan. Tenang saja” aku berbisik dalam hati pada diriku sendiri. Aku kemudian menghampiri Elsa, Sari dan Devi yang sedang berbincang di depan kelas. “Gimana? Tanya Sari sambil menatapku. “Apanya? Balasku tanya. Aku memang tak begitu terbuka tentang hubunganku pada mereka. “ayo kita makan!” ajakku. “ayoo aku mau soto di kantin biru” kata Devi manja. “Baiklah ayoo!” aku melanjutkan ucapannya itu menyimpulkan hal yang akan kami lakukan. Seperti biasa kami menghabiskan kebanyakan waktu bersama saat di kampus, kalau bukan di kantin, taman, perpus pastilah kami sedang mengadem di aula. terkadang kami juga pergi jalan ke mall jika jarak waktu antara jam yang satu dan satunya lumayan lama. Namun entah mengapa hubunganku dengan Elsa dan Sari terasa masih sangat berjarak. hanya Devi saja yang banyak mengetahui tentang diriku. walaupun terlihat manja, Devi sebenarnya gadis yang kuat dan cukup dewasa. Dia selalu mendengarkan ceritaku tanpa mencoba menilai apapun. Kondisi keluarganya juga hampir sama denganku sehingga antara kami berdua memiliki beberapa kesamaan. Itulah yang membuat aku dan Devi lebih dekat karena bisa mengerti satu sama lain. Siang itu seperti biasa Devi duduk disampingku sambil menyantap makanan kesukaannya. Aku memasan nasi goreng pedas. Kami berbincang dan bercanda seperti biasa. Namun hatiku terasa berat. "Apakah aku menyesal?" tanyaku dalam hati, namun inilah aku. Nissa dan egonya yang lebih berat dari apapun.