Hari Penuh Drama
Anna R.Z
Untuk: Jungkook Kesayangan
Adik kesayanganku.. Hari ini aku harus menemani temanku yang akan melahirkan di rumah sakit. Jadi, aku sangat terpaksa menitipkan ketiga malaikat kecilku padamu. Hanya untuk hari ini saja, bertindaklah dewasa, Jungkook. Maaf, sedikit merepotkanmu.
PS. Jika terjadi sesuatu dengan salah satu dari mereka, aku akan menghabisimu.
Sedikit merepotkan? Gua rasa lebih dari sedikit. Setiap pagi, gua harus terbangun dengan penuh tekanan karena harus berangkat kerja pagi-pagi biar ga macet. Dan hari ini, seharusnya gua bangun dengan tenang dan perasaan lega. Tapi, kakak super cerewet yang kelamaan ditinggal suami kerja di luar provinsi itu, dengan seenaknya meninggalkan ketiga setan kecil ini di kamar kos gua yang super minimalis sehingga gua terbangun dengan napas sesak kaya mau mati, ternyata si Joon lagi duduk di atas muka gue dengan bokong terbalut popok.
Belum satu jam mereka disini aja, kamar gua udah kaya kapal pecah. Tunggu, kamar ini emang biasanya kaya kapal pecah, tapi itu tugas gua untuk ngeberantakin kamar ini. Ada perasaan sangat ga rela dalam lubuk hati gua ngeliat 3 anak kembar yang baru umur 3 tahunan ini mengambil alih hak itu dari gua sebagai pemilik kamar.
“Ada apa adikku?”
Ah, akhirnya diangkat juga telepon dari gua. Sementara gua masih nahan kaos si Jae yang terus-terusan berusaha mengacak-acak rak buku gua, dua setan kecil lainnya sibuk mengacak-acak tempat tidur gua.
“Kak, bawa balik deh ini tiga pentol korek. Ga bisa, gua sibuk.” Kata gua dengan sedikit ga fokus karena tangan kecil si Jae malah nyubit-nyubit betis gua dengan wajah gembira itu.
“Kamu sibuk apa sih, Kook? Aku kan cuma titip sebentar. Lagian hari ini kamu libur kerja.” Jawab kakak gua dengan santainya, bahkan dia ga kedengeran lagi sibuk sama sekali.
“Gua kan bilang hari ini mau pergi ke festival makanan di Kebun Raya. Lo pikir gua mau melewatkan kesempatan makan gratis sepuasnya demi bantuin lo jagain 3 pentol korek ini? Gak.” Sahut gua dengan sangat jelas dan tegas berharap untuk kali ini kakak gua sedikit merasa takut.
“Nanti malem aku bawain makanan yang banyak deh buat kamu. Intinya, aku nitip mereka sebentar. Udah ya, temen kakak lagi mules-mules nih kasian.”
Telepon mati, dan gua jadi ikutan mules. Hari ini gua belum setor karena terlalu shock dengan kehadiran tiga anak ini. Joon, Jae, dan Hoon. Ketiga anak laki-laki kembar yang sekilas ga ada bedanya ini gua masukin kardus bekas TV yang gede, tentunya tanpa gua tutup. Seenggaknya mereka ga akan main kemana-mana selain di dalem kardus selama gua di kamar mandi.
Baiklah, dengan keadaan hening, gua setor di kamar mandi. Sambil menatap selembar tiket festival makanan yang susah payah gua dapet dari giveaway di Instagram, gua berpikir gimana caranya pergi ke sana sedangkan tiga anak ini harus gua jagain sampe induknya pulang.
Bahkan sampe gua beres dengan urusan di kamar mandipun, gua masih memikirkan dan menimbang-nimbang. Sementara jam dinding menunjukkan pukul 09:00 pagi, artinya 30 menit lagi festival dimulai. Selama beberapa menit gua cuma berdiri dengan pandangan bolak balik menatap kartu tiket festival dan tiga setan kecil di dalem kardus ini yang mulai berisik mengoceh ga jelas. Suara musik dangdut dari luar membuat gue berpikir, apa gua titipin tetangga? Pak RT?
Gua berjalan keluar kamar kos, menuju penyewa disebelah kamar kos. Kalau ga salah, dia itu mas-mas yang masih kuliah semester 4, gua bisa sogok dengan duit gocap buat nitip tiga setan kecil ini. Kemudian, setelah gua ketuk pintunya beberapa kali, akhirnya pintu terbuka, gua liat cowok berkulit sawo matang dengan kacamata bulat sedang memakai masker muka dan jepit rambut pita berwarna pink. Gua lupa lagi namanya siapa, dan ga peduli sebelumnya.
“Ada apa akang ganteng?” tanya cowok jepit pita itu menyadarkan gua dari keterpakuan gua ngeliat ada dua orang cowok lagi di dalem lagi mainan cat kuku.
“Ga jadi.” Jawab gua dengan cepat, berusaha melangkahkan kaki kembali ke dalam kamar kos gua. Ga mungkin, gimanapun keponakan imut gue ini – yang masih lebih imut gua sih. Mereka ga boleh terlalu feminim kaya tetangga ga jelas gua tadi.
Atau, gua bawa aja mereka sekalian sama kardus-kardusnya? Tapi, nanti gua dikira mau buang anak lagi. Ah, baiklah gua ga punya pilihan lain selain bawa anak-anak ini ikut ke festival.
Ga tahu apa yang akan terjadi di sana, yang pasti demi kue surabi, kue pancong, dadar gulung, mie ayam, dan es cendol gratis, gua ga boleh melewatkan semua ini.
***
Teteh-teteh petugas tiketnya memerhatikan gua selama beberapa detik, kemudian dia mengedarkan pandangannya ke ke sisi kanan dan kiri sampai ke belakang gua, seperti mencari sosok orang lain. Mungkin dia kaget liat cowok imut kaya gua, menggandeng 3 anak ini. “Tiketnya bisa untuk satu keluarga kan?” Tanya gua untuk memastikan teteh dengan rambut hitam yang digelung rapi ini tidak kebingungan karena gua cuma kasih satu tiket.
“Iya, satu keluarga. Maksimal 4 orang, mas – eh, maksud saya pak.” Jawab teteh ini dengan gelagapan menatap gua. Itu artinya gua ga perlu membuang salah satu anak kembar ini untuk bisa masuk ke dalem.
Dan, akhirnya gua bisa masuk. Joon, Jae, dan Hoon mulai berteriak kegirangan melihat keramaian orang dan berbagai jenis makanan disini. Kemudian, gua memutuskan untuk mengunjungi stand Toge Goreng Abah Jamal, yang katanya legendaris banget di Bogor. Setelah memastikan Joon, Jae, dan Hoon duduk dengan aman di kursi pojok, gua pun memesan makanan itu. Yang dateng ke stand ini ga begitu rame, mungkin karena udah siang.
Beberapa menit kemudian, campuran tauge, mie kuning, tahu, dan kuah tauco ini udah tersaji indah di meja. Siasat gua untuk bisa makan dengan tenang adalah menjejali tiga anak ini susu botol. Gua mencium aroma tauge goreng ini kemudian mengaduknya dengan hikmat. Awalnya gua benci sama salah satu makanan khas Jawa Barat ini, karena bau dan rasa tauco yang menurut gua aneh. Tapi karena seorang cewek bernama Nisa yang ngajak gua makan ginian untuk kedua kalinya, gua baru merasakan kenikmatan tersembunyi dari makanan ini.
Tawa keras ketiga anak ini menyadarkan gua. Entah sejak kapan mereka menyingkirkan botol susu mereka dan naik ke atas meja. Mereka mulai tertarik sama makanan gua, dan sekarang mie kuning yang udah teraduk rata ini berantakan di tangan ketiga anak ini.
“Joon! Jae! Hoon! Turun ga..” omel gua berusaha keliatan tegas, tapi ketiga anak ini malah menatap gua dengan mata berbinar kaya mau nangis. Makin repot kalau begitu.
Gua menghela napas panjang berusaha sabar. Tetap semangat Jeon Jungkook! Masih ada 50 lebih jenis makanan disini, dan sekarang baru jam 11:30. Gua kembali menggandeng ketiga anak ini, dengan Joon yang ada di sebelah kiri gua, Jae di sebelah kanan, dan Hoon berpegangan ditangan Jae. Pada dasarnya, gua bukanlah bapaknya, bukan juga abang yang deket sama mereka, jadi mereka gak akan mau nurut sama gua. Hoon mulai jalan ke arah tukan cilok. Ga ada pilihan lain, gua harus menggendong mereka bertiga.
Kita berhenti di stand kue pancong. Abangnya lagi nyetak adonan berwarna putih itu, gua pesen satu bungkus. Setahu gua sih adonannya dari tepung beras, terus ditaburin kelapa parut sama gula putih di atasnya.
Joon sama Hoon gatel banget pengen megang-megang cetakan kue pancong yang panas, sampai akhirnya gua harus nurunin mereka bertiga karena terlalu bahaya. Setelah mendapat kue pancong, gua sempet ke stand kue-kue tradisional. Gue langsung ngambil kue cucur, klepon, bugis, cilok sambel kacang, pentol sambel kecap. Semuanya gua makan sendiri, anak-anak ini cuma merengek minta pentol yang gua beli.
Akhirnya gua kembali mencari tempat duduk dan memberikan mereka klepon sama kue pancong aja. Walaupun udah duduk manis di kursi, sekarang malah Jae naik-naik ke atas senderan kursi. Hampir aja jatoh, kalau gua ga cepet narik kaosnya dari atas.
Belum beres urusan si Jae, si Joon malah nangis karena dia makan pentol sambel gua. Astaga! Gua buru-buru naruh si Jae kembali duduk dikursi, kemudian ngasih minum air mineral ke si Joon. Dia masih nangis, gara-gara kepedesan mungkin. Jadi gue jejelin kue klepon yang isinya gula merah. Perlahan, si Joon berenti nangis dan mulai mengunyah klepon tadi. Gue bernapas lega sejenak, tapi Joon nangis lagi begitu klepon di mulutnya abis. Jae juga ngerengek mau klepon, tapi udah abis. Bahkan gua belum makan satupun!
Karena mereka terus merengek, jadi gua buru-buru buka bungkus daun pisang pada dua kue bugis terakhir dan memberikannya kepada mereka. Akhirnya mereka bisa tenang makan. Tunggu, Hoon dimana?
Gua mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi ga ngeliat salah satu member dari trio pentol korek ini. “Kalian denger kata abang Kook ya.. jangan kemana-mana. Disini dulu, nanti abang Kook beliin klepon lagi oke?” kata gua memperingati mereka berdua, berusaha sekeras mungkin untuk ramah, tapi ga ada satupun dari mereka yang memperhatikan gua. Mereka sibuk dengan kue berwarna ungu dengan isian kelapa parut dan gula merah itu. Ah ya udah! Intinya gua harus cari Hoon dulu, dia pasti masih disekitar sini.
“Mas.. anaknya ya?”tanya seorang cewek cantik berparas ayu yang menghampiri gua sambil menggandeng Hoon.
“Bukan.. bukan anak. Keponakan saya.” Jawab gua dengan cepat meluruskan kesalahpahaman ini.
“Eh, maaf mas. Soalnya mirip, sama-sama sipit.” Ucap gadis itu ketawa pelan. Sementara gua ketawa kaku. “Tapi cakep kok mas, kaya idol Korea.” Lanjut gadis ini membuat gua pengen buru-buru berkaca di cermin atau spion motor orang.
“Bagus sih mas, jangan dulu nikah muda.” Kata gadis ini masih ngoceh walaupun gua belum menanggapi satu kalimat pun.
“Tahu ga mas kenapa jangan nikah muda?”
“Kenapa?”
“Saya belum siap soalnya.”
Saat itu juga, gua inget sama prinsip hidup senior gua kalau jangan liat cewek dari tampangnya doang. Karena cewek cantik di sini kebanyakan aneh, serius aneh.
Gua ketawa kaku, sambil pelan-pelan narik si Hoon kembali kepada gua. Sebelum cewek ini berenti ketawa dan ngoceh lagi, gua buru-buru pergi bawa si Hoon.
Saat balik ke kursi taman tadi, gua liat si Joon masih ngacak-ngacak pelastik makanan, sementara si Jae guling-guling di atas rumput.
Hoon langsung nyamperin Joon, dan mengambil satu buah kue pancong. Sementara gua nyamperin Jae. Baru mau gua gendong, Jae tiba-tiba bangun dan berdiri diam menatap gua.
“Kenapa?” tanya gua bingung. Bukannya menjawab, Jae malah nangis.
Ternyata Jae buang air besar, sehingga gua harus menggiring mereka bertiga ke toilet lagi. Gua ganti popoknya Jae dengan penuh rasa jijik. Setelah beres, gua kembali ke festival. Seenggaknya gua harus nyari surabi. Mereka bertiga kembali gua gendong.
Setelah menyusuri stand martabak, kue samir, dan laksa Bogor, akhirnya sampe stand surabi. Tapi gua harus kecewa, karena ternyata udah abis. Hilang sudah harapan gua.
“Joon!” panggil gua pada Joon yang lari menjauh, aduh kenapa sih mereka ga abis-abis batrenya? Padahal belum pada makan.
Sambil menggendong Hoon dan Jae, gua ngejar si Joon. Dan anak itu berenti di depan stand permen gulali yang dibentuk-bentuk jadi berbagai macam karakter dengan beberapa warna.
“aa.. bang..” Ucap Joon sambil menunjuk ke arah stand itu. Gua melempar pandangan ke arah Hoon dan Jae bergantian kemudian bertanya, “Kalian juga mau?”
Kedua anak ini berteriak senang sambil menepuk tangan mereka. Baiklah, gua pesenin tiga permen gulali. Joon bentuk beruang, Jae bentuk kupu-kupu, dan Hoon bentuk capung. Sedangkan gua minta dibikinin bentuk naga, tapi jadinya malah kaya cacing goreng.
Dan sore ini, gua berakhir di taman dekat pohon jodoh Kebun Raya bersama tiga keponakan gua sambil menjilat permen. Jae menyodorkan permennya ke arah gua, dia mau berbagi kayanya. Tapi giliran gua udah buka mulut, dia malah masukin permen itu ke mulutnya sendiri. Yah, dia belajar cepat dari gua. Kesel rasanya ga bisa dapet surabi, ga bisa makan dengan tenang, tapi disisi lain, akhirnya gua punya kesempatan main sama tiga keponakan gua yang sejak lahir gua abaikan. Mungkin setelah ini, gua harus sering-sering main sama mereka. Tapi ngeliat mereka bertiga serentak nyamperin gua dengan tatapan mau nangis ke arah gua, seketika mengurungkan niat gua barusan. Mungkin gua akan sering main sama mereka, kalau ada induknya.
Joon, Jae, dan Hoon menangis bersamaan dan gua bisa menghirup aroma busuk dari mereka. Artinya, gua harus bawa mereka ke toilet lagi.
Untuk: Jungkook Kesayangan
Adik kesayanganku.. Hari ini aku harus menemani temanku yang akan melahirkan di rumah sakit. Jadi, aku sangat terpaksa menitipkan ketiga malaikat kecilku padamu. Hanya untuk hari ini saja, bertindaklah dewasa, Jungkook. Maaf, sedikit merepotkanmu.
PS. Jika terjadi sesuatu dengan salah satu dari mereka, aku akan menghabisimu.
Sedikit merepotkan? Gua rasa lebih dari sedikit. Setiap pagi, gua harus terbangun dengan penuh tekanan karena harus berangkat kerja pagi-pagi biar ga macet. Dan hari ini, seharusnya gua bangun dengan tenang dan perasaan lega. Tapi, kakak super cerewet yang kelamaan ditinggal suami kerja di luar provinsi itu, dengan seenaknya meninggalkan ketiga setan kecil ini di kamar kos gua yang super minimalis sehingga gua terbangun dengan napas sesak kaya mau mati, ternyata si Joon lagi duduk di atas muka gue dengan bokong terbalut popok.
Belum satu jam mereka disini aja, kamar gua udah kaya kapal pecah. Tunggu, kamar ini emang biasanya kaya kapal pecah, tapi itu tugas gua untuk ngeberantakin kamar ini. Ada perasaan sangat ga rela dalam lubuk hati gua ngeliat 3 anak kembar yang baru umur 3 tahunan ini mengambil alih hak itu dari gua sebagai pemilik kamar.
“Ada apa adikku?”
Ah, akhirnya diangkat juga telepon dari gua. Sementara gua masih nahan kaos si Jae yang terus-terusan berusaha mengacak-acak rak buku gua, dua setan kecil lainnya sibuk mengacak-acak tempat tidur gua.
“Kak, bawa balik deh ini tiga pentol korek. Ga bisa, gua sibuk.” Kata gua dengan sedikit ga fokus karena tangan kecil si Jae malah nyubit-nyubit betis gua dengan wajah gembira itu.
“Kamu sibuk apa sih, Kook? Aku kan cuma titip sebentar. Lagian hari ini kamu libur kerja.” Jawab kakak gua dengan santainya, bahkan dia ga kedengeran lagi sibuk sama sekali.
“Gua kan bilang hari ini mau pergi ke festival makanan di Kebun Raya. Lo pikir gua mau melewatkan kesempatan makan gratis sepuasnya demi bantuin lo jagain 3 pentol korek ini? Gak.” Sahut gua dengan sangat jelas dan tegas berharap untuk kali ini kakak gua sedikit merasa takut.
“Nanti malem aku bawain makanan yang banyak deh buat kamu. Intinya, aku nitip mereka sebentar. Udah ya, temen kakak lagi mules-mules nih kasian.”
Telepon mati, dan gua jadi ikutan mules. Hari ini gua belum setor karena terlalu shock dengan kehadiran tiga anak ini. Joon, Jae, dan Hoon. Ketiga anak laki-laki kembar yang sekilas ga ada bedanya ini gua masukin kardus bekas TV yang gede, tentunya tanpa gua tutup. Seenggaknya mereka ga akan main kemana-mana selain di dalem kardus selama gua di kamar mandi.
Baiklah, dengan keadaan hening, gua setor di kamar mandi. Sambil menatap selembar tiket festival makanan yang susah payah gua dapet dari giveaway di Instagram, gua berpikir gimana caranya pergi ke sana sedangkan tiga anak ini harus gua jagain sampe induknya pulang.
Bahkan sampe gua beres dengan urusan di kamar mandipun, gua masih memikirkan dan menimbang-nimbang. Sementara jam dinding menunjukkan pukul 09:00 pagi, artinya 30 menit lagi festival dimulai. Selama beberapa menit gua cuma berdiri dengan pandangan bolak balik menatap kartu tiket festival dan tiga setan kecil di dalem kardus ini yang mulai berisik mengoceh ga jelas. Suara musik dangdut dari luar membuat gue berpikir, apa gua titipin tetangga? Pak RT?
Gua berjalan keluar kamar kos, menuju penyewa disebelah kamar kos. Kalau ga salah, dia itu mas-mas yang masih kuliah semester 4, gua bisa sogok dengan duit gocap buat nitip tiga setan kecil ini. Kemudian, setelah gua ketuk pintunya beberapa kali, akhirnya pintu terbuka, gua liat cowok berkulit sawo matang dengan kacamata bulat sedang memakai masker muka dan jepit rambut pita berwarna pink. Gua lupa lagi namanya siapa, dan ga peduli sebelumnya.
“Ada apa akang ganteng?” tanya cowok jepit pita itu menyadarkan gua dari keterpakuan gua ngeliat ada dua orang cowok lagi di dalem lagi mainan cat kuku.
“Ga jadi.” Jawab gua dengan cepat, berusaha melangkahkan kaki kembali ke dalam kamar kos gua. Ga mungkin, gimanapun keponakan imut gue ini – yang masih lebih imut gua sih. Mereka ga boleh terlalu feminim kaya tetangga ga jelas gua tadi.
Atau, gua bawa aja mereka sekalian sama kardus-kardusnya? Tapi, nanti gua dikira mau buang anak lagi. Ah, baiklah gua ga punya pilihan lain selain bawa anak-anak ini ikut ke festival.
Ga tahu apa yang akan terjadi di sana, yang pasti demi kue surabi, kue pancong, dadar gulung, mie ayam, dan es cendol gratis, gua ga boleh melewatkan semua ini.
***
Teteh-teteh petugas tiketnya memerhatikan gua selama beberapa detik, kemudian dia mengedarkan pandangannya ke ke sisi kanan dan kiri sampai ke belakang gua, seperti mencari sosok orang lain. Mungkin dia kaget liat cowok imut kaya gua, menggandeng 3 anak ini. “Tiketnya bisa untuk satu keluarga kan?” Tanya gua untuk memastikan teteh dengan rambut hitam yang digelung rapi ini tidak kebingungan karena gua cuma kasih satu tiket.
“Iya, satu keluarga. Maksimal 4 orang, mas – eh, maksud saya pak.” Jawab teteh ini dengan gelagapan menatap gua. Itu artinya gua ga perlu membuang salah satu anak kembar ini untuk bisa masuk ke dalem.
Dan, akhirnya gua bisa masuk. Joon, Jae, dan Hoon mulai berteriak kegirangan melihat keramaian orang dan berbagai jenis makanan disini. Kemudian, gua memutuskan untuk mengunjungi stand Toge Goreng Abah Jamal, yang katanya legendaris banget di Bogor. Setelah memastikan Joon, Jae, dan Hoon duduk dengan aman di kursi pojok, gua pun memesan makanan itu. Yang dateng ke stand ini ga begitu rame, mungkin karena udah siang.
Beberapa menit kemudian, campuran tauge, mie kuning, tahu, dan kuah tauco ini udah tersaji indah di meja. Siasat gua untuk bisa makan dengan tenang adalah menjejali tiga anak ini susu botol. Gua mencium aroma tauge goreng ini kemudian mengaduknya dengan hikmat. Awalnya gua benci sama salah satu makanan khas Jawa Barat ini, karena bau dan rasa tauco yang menurut gua aneh. Tapi karena seorang cewek bernama Nisa yang ngajak gua makan ginian untuk kedua kalinya, gua baru merasakan kenikmatan tersembunyi dari makanan ini.
Tawa keras ketiga anak ini menyadarkan gua. Entah sejak kapan mereka menyingkirkan botol susu mereka dan naik ke atas meja. Mereka mulai tertarik sama makanan gua, dan sekarang mie kuning yang udah teraduk rata ini berantakan di tangan ketiga anak ini.
“Joon! Jae! Hoon! Turun ga..” omel gua berusaha keliatan tegas, tapi ketiga anak ini malah menatap gua dengan mata berbinar kaya mau nangis. Makin repot kalau begitu.
Gua menghela napas panjang berusaha sabar. Tetap semangat Jeon Jungkook! Masih ada 50 lebih jenis makanan disini, dan sekarang baru jam 11:30. Gua kembali menggandeng ketiga anak ini, dengan Joon yang ada di sebelah kiri gua, Jae di sebelah kanan, dan Hoon berpegangan ditangan Jae. Pada dasarnya, gua bukanlah bapaknya, bukan juga abang yang deket sama mereka, jadi mereka gak akan mau nurut sama gua. Hoon mulai jalan ke arah tukan cilok. Ga ada pilihan lain, gua harus menggendong mereka bertiga.
Kita berhenti di stand kue pancong. Abangnya lagi nyetak adonan berwarna putih itu, gua pesen satu bungkus. Setahu gua sih adonannya dari tepung beras, terus ditaburin kelapa parut sama gula putih di atasnya.
Joon sama Hoon gatel banget pengen megang-megang cetakan kue pancong yang panas, sampai akhirnya gua harus nurunin mereka bertiga karena terlalu bahaya. Setelah mendapat kue pancong, gua sempet ke stand kue-kue tradisional. Gue langsung ngambil kue cucur, klepon, bugis, cilok sambel kacang, pentol sambel kecap. Semuanya gua makan sendiri, anak-anak ini cuma merengek minta pentol yang gua beli.
Akhirnya gua kembali mencari tempat duduk dan memberikan mereka klepon sama kue pancong aja. Walaupun udah duduk manis di kursi, sekarang malah Jae naik-naik ke atas senderan kursi. Hampir aja jatoh, kalau gua ga cepet narik kaosnya dari atas.
Belum beres urusan si Jae, si Joon malah nangis karena dia makan pentol sambel gua. Astaga! Gua buru-buru naruh si Jae kembali duduk dikursi, kemudian ngasih minum air mineral ke si Joon. Dia masih nangis, gara-gara kepedesan mungkin. Jadi gue jejelin kue klepon yang isinya gula merah. Perlahan, si Joon berenti nangis dan mulai mengunyah klepon tadi. Gue bernapas lega sejenak, tapi Joon nangis lagi begitu klepon di mulutnya abis. Jae juga ngerengek mau klepon, tapi udah abis. Bahkan gua belum makan satupun!
Karena mereka terus merengek, jadi gua buru-buru buka bungkus daun pisang pada dua kue bugis terakhir dan memberikannya kepada mereka. Akhirnya mereka bisa tenang makan. Tunggu, Hoon dimana?
Gua mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi ga ngeliat salah satu member dari trio pentol korek ini. “Kalian denger kata abang Kook ya.. jangan kemana-mana. Disini dulu, nanti abang Kook beliin klepon lagi oke?” kata gua memperingati mereka berdua, berusaha sekeras mungkin untuk ramah, tapi ga ada satupun dari mereka yang memperhatikan gua. Mereka sibuk dengan kue berwarna ungu dengan isian kelapa parut dan gula merah itu. Ah ya udah! Intinya gua harus cari Hoon dulu, dia pasti masih disekitar sini.
“Mas.. anaknya ya?”tanya seorang cewek cantik berparas ayu yang menghampiri gua sambil menggandeng Hoon.
“Bukan.. bukan anak. Keponakan saya.” Jawab gua dengan cepat meluruskan kesalahpahaman ini.
“Eh, maaf mas. Soalnya mirip, sama-sama sipit.” Ucap gadis itu ketawa pelan. Sementara gua ketawa kaku. “Tapi cakep kok mas, kaya idol Korea.” Lanjut gadis ini membuat gua pengen buru-buru berkaca di cermin atau spion motor orang.
“Bagus sih mas, jangan dulu nikah muda.” Kata gadis ini masih ngoceh walaupun gua belum menanggapi satu kalimat pun.
“Tahu ga mas kenapa jangan nikah muda?”
“Kenapa?”
“Saya belum siap soalnya.”
Saat itu juga, gua inget sama prinsip hidup senior gua kalau jangan liat cewek dari tampangnya doang. Karena cewek cantik di sini kebanyakan aneh, serius aneh.
Gua ketawa kaku, sambil pelan-pelan narik si Hoon kembali kepada gua. Sebelum cewek ini berenti ketawa dan ngoceh lagi, gua buru-buru pergi bawa si Hoon.
Saat balik ke kursi taman tadi, gua liat si Joon masih ngacak-ngacak pelastik makanan, sementara si Jae guling-guling di atas rumput.
Hoon langsung nyamperin Joon, dan mengambil satu buah kue pancong. Sementara gua nyamperin Jae. Baru mau gua gendong, Jae tiba-tiba bangun dan berdiri diam menatap gua.
“Kenapa?” tanya gua bingung. Bukannya menjawab, Jae malah nangis.
Ternyata Jae buang air besar, sehingga gua harus menggiring mereka bertiga ke toilet lagi. Gua ganti popoknya Jae dengan penuh rasa jijik. Setelah beres, gua kembali ke festival. Seenggaknya gua harus nyari surabi. Mereka bertiga kembali gua gendong.
Setelah menyusuri stand martabak, kue samir, dan laksa Bogor, akhirnya sampe stand surabi. Tapi gua harus kecewa, karena ternyata udah abis. Hilang sudah harapan gua.
“Joon!” panggil gua pada Joon yang lari menjauh, aduh kenapa sih mereka ga abis-abis batrenya? Padahal belum pada makan.
Sambil menggendong Hoon dan Jae, gua ngejar si Joon. Dan anak itu berenti di depan stand permen gulali yang dibentuk-bentuk jadi berbagai macam karakter dengan beberapa warna.
“aa.. bang..” Ucap Joon sambil menunjuk ke arah stand itu. Gua melempar pandangan ke arah Hoon dan Jae bergantian kemudian bertanya, “Kalian juga mau?”
Kedua anak ini berteriak senang sambil menepuk tangan mereka. Baiklah, gua pesenin tiga permen gulali. Joon bentuk beruang, Jae bentuk kupu-kupu, dan Hoon bentuk capung. Sedangkan gua minta dibikinin bentuk naga, tapi jadinya malah kaya cacing goreng.
Dan sore ini, gua berakhir di taman dekat pohon jodoh Kebun Raya bersama tiga keponakan gua sambil menjilat permen. Jae menyodorkan permennya ke arah gua, dia mau berbagi kayanya. Tapi giliran gua udah buka mulut, dia malah masukin permen itu ke mulutnya sendiri. Yah, dia belajar cepat dari gua. Kesel rasanya ga bisa dapet surabi, ga bisa makan dengan tenang, tapi disisi lain, akhirnya gua punya kesempatan main sama tiga keponakan gua yang sejak lahir gua abaikan. Mungkin setelah ini, gua harus sering-sering main sama mereka. Tapi ngeliat mereka bertiga serentak nyamperin gua dengan tatapan mau nangis ke arah gua, seketika mengurungkan niat gua barusan. Mungkin gua akan sering main sama mereka, kalau ada induknya.
Joon, Jae, dan Hoon menangis bersamaan dan gua bisa menghirup aroma busuk dari mereka. Artinya, gua harus bawa mereka ke toilet lagi.