
Bagian paling tidak menyenangkan dari menulis adalah ketika kau mengalami writer’s block ... duduk berjam-jam di depan laptop tapi tidak bisa menuliskan satu kata pun. Rasanya waktu berlalu dengan lamban lalu kau hanya bisa menatap halaman kosong dengan hampa.
Sama seperti aku saat ini.
Jelang akhir cerita Dragon King’s Lover ini, aku merasa segala yang kutuliskan terlalu buruk. Entah itu kematian Raja Naga, kematian cenayang kerajaan, atau mati berdua, semuanya terlalu tragis. Jika saja akhir cerita ini kutuliskan sepuluh tahun lalu, aku akan dengan senang hati menuliskan naga hitam berkorban buat cenayang kerajaan. Lagipula, tragedi di akhir cerita fantasi bukanlah hal baru.
Hanya saja ... saat ini, mendadak aku mengingat percakapan remaja-remaja di Apgujeong tempo hari. Seandainya mereka tahu, di kafe, saat mereka sedang asyik membaca Dragon King’s Lover, aku sedang duduk di meja belakang mereka. Obrolan mereka yang berisik itu pun terdengar olehku.
“Heol(kata seru Korea yang kurang lebih berarti ‘wow!’)! Aku benar-benar berharap Raja Naga bersatu dengan Cenayang Kerajaan!” celetuk seorang siswi SMP.
“Mereka memang sudah terlalu banyak menderita!” jawab temannya, “Aish, kenapa si penulis itu jahat sekali? Setiap kali mereka akan bahagia, selalu saja ada rintangan lagi!”
Mendengar itu, aku langsung keselek milk tea.
Penulis jahat ... frasa ini kemudian terngiang-ngiang di telingaku.
“Kenapa ini susah sekali?” Aku meremas rambut dengan frustasi. Setelah itu, kepalaku langsung terasa gatal-gatal. Aku baru ingat, aku belum keramas hampir seminggu. Sepertinya, aku juga belum mandi dari kemarin sore. Oh, pembaca ... seandainya kalian bisa memahami penderitaanku ini. Hiks ....
“Apa di sini baru terjadi badai?” suara itu mengalihkan perhatianku. Aku menoleh lalu langsung melihat sosok pria berjaket putih sedang memunguti bungkus keripik, mangkuk ramyeon (mi instan Korea), juga kaleng soda yang berserakan. Dengan tenang, pria itu membuang sampah-sampah yang dia kumpulkan tadi ke tempat sampah.
“Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” protesku langsung. Heran, rasanya aku baru mengganti password apartemenku ini. Kenapa dia masih bisa masuk?
“Kang Minjun!” aku menegurnya keras, “Apa yang sedang kaulakukan di sini? Kalau dilihat paparazzi bagaimana?”
“Ck, Noona(panggilan dari lelaki berusia lebih muda kepada perempuan berusia lebih tua ‘kakak’.) jangan pelit begitulah. Memangnya paparazzi mana yang masih mau membuntuti aku?” senyuman secerah matahari itu—sialnya—selalu melemahkan aku. Berengsek, sepuluh tahun berlalu, tapi, hatiku masih saja berdebar melihat senyuman itu ....
***
Aku mengenal bocah nakal bermata biru itu sepuluh tahun lalu, saat naskah Dragon King’s Lover ditolak untuk kelima kalinya.
Aku ingat, saat itu akhir musim gugur. Cuaca begitu dingin hingga tulang-tulangku terasa membeku. Aku menangis tersedu-sedu sampai perutku protes karena lapar. Ketika kuperiksa segala tempat penyimpanan, uang yang tersisa hanya lima puluh-enam puluh ribu Won saja. Aigoo! Tidak adakah hal yang lebih buruk lagi?
Kepalaku begitu kosong hingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, aku berniat membeli bir dan beberapa camilan di sebuah toko serba ada. Ahn Chansoo—pegawai toko yang juga tetanggaku itu sempat menegurku sekilas dan mengeluhkan sepinya toko. Aku membalasnya dengan senyuman canggung kemudian beranjak ke bagian keripik di dalam.
Di sanalah, aku melihat Kang Minjun.
Rambut keperakannya terlihat terlalu mencolok saat dia melepas topi. Dia duduk di sebuah sudut, memeluk lutut dengan badan gemetaran. Ragu-ragu, aku berjalan menghampirinya.
“Kang Minjun?”
Dia bergeming sesaat, lalu berpaling melihatku. Pipinya merah sekali. Reaksiku saat itu adalah mengulurkan tangan dan menaruh telapak tanganku di dahinya.
“Kau sedang demam!” aku terkesiap kaget, “Kau ... kau harus ke rumah sakit!”
“Gwenchansumnida(tidak apa-apa),” dia menjawab lemah, “Anda—apakah Anda melihat paparazzi saat sedang kemari?”
Paparazzi? Aku mengerutkan alis, susah payah mengingat-ingat orang yang kutemui saat perjalanan tadi. Paparazzi seharusnya cukup mencolok dan aku tidak ingat melihatnya. Eh, mengapa dia bertanya tentang paparazzi, ya?
“Sepertinya tidak,” jawabku ragu. Otakku berpikir keras tentang asal-usul bocah yang terlihat seperti anak SMA ini. Saking sibuknya berpikir, aku hanya mengangguk-angguk saat dia bicara sambil menunjukkan puppy eyes-nya.
***
Aku tak tahu, sejak kapan aku dan dia menjadi begitu akrab. Yang kutahu, sejak aku membelikannya obat demam karena dia tidak membawa dompet itu, aku jadi agak sering bertemu dengannya.
“Apa kau ini kurang kerjaan?” kataku di suatu waktu.
“Iya, aku memang sedang kurang kerjaan. Kegiatan promosiku dibatalkan lagi,” katanya sambil menyengir.
Oh, ya ... Kang Minjun ternyata member boyband bernama Soleil. Sejak mengenalnya, aku sering mencari tahu tentang grup Soleil dan menyadari kalau Kang Minjun bukanlah anak emas di grup itu.
Bisa dibilang, aku bersimpati padanya karena apa yang dia alami sangat mirip dengan apa yang dialami Almarhum oppa-ku. Oppa-ku juga dulu seorang idola. Kariernya jatuh gara-gara ada fans yang mengaku dilecehkan olehnya. Ketika skandal itu terbukti palsu, semua sudah terlambat. Oppa keburu meninggal karena bunuh diri.
Kang Minjun lebih beruntung. Yang bermasalah adalah XM-salah satu rekan grupnya. Wanita yang mengaku dirudapaksa oleh XM juga akhirnya meralat pernyataannya. Meski demikian, nama Soleil dan Kang Minjun telanjur tercoreng. Apalagi, Kang Minjun berdarah campuran begitu.
“Noona, apa kau tidak menyesal mengenalku?” dia pernah bertanya.
“Menyesal? Kenapa?”
Dia menarik napas seraya mengangkat kaleng bir di tangannya, “Kalau saja aku bukan anggota Soleil, apakah kau akan menyukaiku?”
“Bodoh, tentu saja aku menyukai Kang Minjun yang penuh semangat dan terus berjuang,” kataku ringan, “Kenapa kau menanyakan itu?”
Entah ini perasaanku saja atau bukan, tapi, rasanya wajah Kang Minjun memerah, “Kurasa, aku akan keluar dari Soleil.”
Pernyataan Kang Minjun ini tak pelak membuatku terkejut. Aku tahu arti Soleil baginya. Tapi ....
“Masa kontrakku telah habis dan kurasa agensi tak ingin memperpanjangnya lagi. Grup kami sudah di ujung tanduk, sebentar lagi jatuh. Agensi mana pun tentu akan memilih grup yang lebih menjanjikan ... aish.”
Aku merasakan kegetiran dalam nada suaranya. Naluriku sebagai seorang saudari secara otomatis mengambil alih. Aku menenggak bir di tanganku dengan cepat lalu berkata, “Tidak apa-apa! Aku percaya, kau akan berhasil sama seperti aku percaya novel Dragon King’s Lover akan berhasil!”
Aku menutup mulut segera dengan kedua tangan, merasa keceplosan.
“Dragon’s King Lover?” Kang Minjun tergelak, “Ah! Apakah itu naskah yang selalu ada di mejamu?”
Wajahku segera memanas karena malu, “Bukan! Bukan apa-apa!”
“Ayolah, ceritakan padaku!” bujuknya.
“Ceritakan apanya? Naskah itu baru saja ditolak untuk keenam kalinya,” dan karena itulah aku minum banyak malam ini. Huhuhu~
“Bukan itu! Aku ingin tahu ... apa itu tulisanmu?” tanya Kang Minjun lagi. Kali ini, dia mengatakan ini sambil menatapku lekat. Entah pengaruh bir, entah jarak yang terlalu dekat ... mendadak ... angin malam di atap gedung ini terasa begitu hangat hingga jantungku berdebar begitu kencang.
Aku menunduk malu, “Novel itu ... sebenarnya aku dulu tidak ingin menerbitkan cerita itu. Akan tetapi, Oppa pernah bilang kalau aku harus memperjuangkan cerita itu.”
“Kalau begitu, perjuangkan saja,” Kang Minjun berkata dengan enteng, “Bukankah tadi kau bilang, kau yakin ceritamu akan sukses? Berjuanglah ... aku juga akan berjuang. Demi keyakinanmu dan keyakinanku. Lagipula, kau menyukai Kang Minjun yang penuh semangat dan terus berjuang ini, kan?”
Ada ambiguitas dalam tatapan Kang Minjun hingga jantungku mendadak berdebar-debar.
Aku menyukai Kang Minjun ini? Mengapa mendadak aku merasa kata itu menjadi teramat berat?
***
Dragon King’s Lover akhirnya terbit menjadi cerita digital berseri di penerbit kedelapan yang kudatangi. Karena cerita tersebut jadi bersambung, aku harus siap merevisi dan memperpanjangnya jika pembaca semakin banyak.
Meski novel itu meraih popularitas cukup tinggi, yang lebih memuaskan adalah rasa puas saat karyaku dibaca orang-orang. Aku mulai terbiasa dengan celotehan orang tentang Raja Naga dan cinta terlarangnya pada Cenayang Kerajaan. Meski Oppa sudah meninggal, aku merasa dukungannya selama ini semakin menguatkanku.
Sayangnya, saat itu, Kang Minjun sedang wajib militer. Aku yang girang setengah mati jadi tidak memiliki teman berbagi cerita.
Malam itu, aku berdiri di beranda atap gedung, memandang bintang-bintang yang bersinar gemilang. Aku mengangkat kaleng soda di tangan, bersulang pada langit malam.
“Kang Minjun, kau benar. Aku harus memperjuangkan kisah ini. Terima kasih,” kataku gembira.
Samar-samar, aku merasa seolah Kang Minjun tertawa lebar. Sesaat kemudian, hatiku telah berdebar kencang.
***
Sejak itu, waktu berlalu tanpa terasa. Tahu-tahu, aku sudah melihat Kang Minjun dalam sosok yang lebih dewasa. Kini, rambut peraknya sedikit lebih panjang. Dia juga lebih sering mengenakan jas—alih-alih kaus dan jaket seperti sepuluh tahun lalu.
Setelah keluar dari agensi, Kang Minjun dan XM mendirikan agensi sendiri. Dari pengalamannya, dia membuat sistem yang lebih ramah bagi para trainee dan member grup. Agensi kecil itu lalu mendapat investor cukup besar dan bisa dibilang cukup berhasil. Kang Minjun yang dulunya berkuliah bisnis kini menjadi CEO yang cukup piawai mengawal agensinya.
Aku sendiri cukup minder dengan posisiku sebagai penulis berpenghasilan pas-pasan begini. Harga diriku sebagai individu membuatku enggan pulang ke rumah Ahbeoji meski untuk meminta sesen uang. Sudah cukup waktu-waktuku di rumah bagaikan neraka itu.
Sayangnya, meski rumah itu bagaikan neraka, rumah itu juga menyimpan kekayaan yang kadang kupikirkan. Tak kupungkiri, terkadang aku berpikir seandainya aku masih nona di rumah itu, tentu aku tidak akan merasa seminder ini.
Entah apa yang dipikirkan Kang Minjun saat memilih terus menempel padaku. Setelah bertahun-tahun bertemu, berkomunikasi, melewatkan waktu, Kang Minjun seolah tak lelah bergaul denganku, separah apapun keadaanku. Saat ini pun, dia duduk dengan cueknya di sebelahku.
“Masih belum selesai juga?” tanyanya, “Aish! Setidaknya kau mandi! Badanmu bau sekali!”
Alih-alih menjawab, aku malah bertanya, “Kang Minjun, apa kau tidak takut disebut sebagai stalker?”
Wajahnya langsung cemberut, “Apa noona tega melakukan itu?”
Aku menghela napas, “Masuk ke apartemen orang lain tanpa izin itu perbuatan kriminal, tahu?”
“Kau masih menganggapku orang lain? Kalau begitu kenapa password apartemenmu selalu berkaitan denganku?”
Wajahku langsung terasa panas.
“Kau sudah berjanji akan menemaniku makan hot pot, aku sudah menanti-nantikannya beberapa hari,” dia makin cemberut.
“Aku ... aku belum menemukan akhir yang bagus untuk ceritaku,” akhirnya aku menjawab, “Mulanya, cerita ini berakhir tragis. Namun, sekarang aku jadi tidak tega. Semua ini gara-gara dua gadis yang merumpi itu!”
Alisnya kini bertaut, “Kenapa kau memikirkan akhir yang tragis untuk ceritamu?”
Aku menggigit bibir. Sesaat, aku mengenang masa-masa menyedihkan di rumah masa kecilku. Meski Ahbeoji adalah saudagar di Chungcheon, dia suka menggebuk orang dengan tongkat besinya. Eomma kabur saat aku dan Oppa masih kecil. Kami sendiri baru berhasil kabur saat Oppa lolos menjadi trainee di salah satu agensi. Dia menghabiskan tabungannya, mengajakku ke apartemen ini dan di sinilah aku berada sampai sekarang.
“Rasanya hanya itu yang ada di kepalaku,” kataku lirih. Segala macam kesedihan dan kekacauan berputar-putar di kepalaku. Aku menunduk, rasanya mataku buram lalu air mata membasahi pipiku. Kenapa mendadak aku memikirkan ini sekarang? Apakah aku memang ingin mengubah ending karena dua gadis yang merumpi itu?
“Kurasa, saat menuliskan itu, aku hanya ingin menuangkan segala kesedihanku di sana.”
Dadaku terasa sesak. Namun, sesaat kemudian, aku merasakan kehangatan melingkupi bahuku. Aroma manis jeruk yang akrab terasa begitu lembut, menenangkan.
“Kurasa, aku setuju dengan dua gadis itu,” suara Kang Minjun merendah dan berat, “Tokoh-tokohmu berhak mendapat akhir bahagia. Seperti dirimu.”
“Aku .... “
Jemari lentik Kang Minjun meraih daguku, “Noona, apakah kau tidak mau memberi akhir bahagia pada dirimu sendiri? Juga ... akhir bahagia untukku?”
Pandanganku berserobok dengan pandangannya. Dalam sesaat, segala perasaanku selama bertahun-tahun ... perasaanku saat bersamanya, perasaanku saat tidak bersamanya, menenggelamkanku dalam manik mata sebiru laut itu. Untuk sesaat, akhir bahagia yang dia sebutkan membayang dalam pikiranku. Di hari yang terang, kami berdua berjalan di taman, membawa seekor anjing golden retrivier seperti sebuah keluarga bahagia.
“Sepertinya, aku sudah menemukan akhir yang bagus,” aku berkata. Tanpa sadar, aku mendekat padanya, berusaha memupus jarak yang selama ini menjadi penghalang antara aku dan dia, jarak yang menjauhkanku dari sebuah happy ending. Aku berhak mendapatkan ini, kan?
“Noona! Mandi dulu sana! Bau!” dia menutup hidung.
Jeritan Kang Minjun mengagetkanku. Sial, padahal sudah dekat sekali.
SELESAI
***