(MUHAMMAD HASBI TSAQIF)
Baru selangkah memasuki rumah, tamparan sudah mendarat di pipi kiriku. Lagi-lagi, papa menghancurkan suasana rumah yang harusnya jadi tempat pulang paling tenang. Rasanya panas dan sakit. Cukup jadi alasan untuk aku memegang pipi dan menghela napas panjang.
“Dari mana kamu jam segini baru pulang?” Papa bertanya dengan nada yang tak jauh beda dari biasanya. Wajahnya marah. Berbanding terbalik dengan wajah mama di belakangnya yang tampak cemas tapi tak bisa melakukan apa-apa.
Aku menutup pintu yang bahkan belum selesai kuurus karena saking cepatnya papa dalam urusan main tangan. Seorang dokter yang katanya punya pekerjaan mulia untuk menyembuhkan orang sakit, justru jadi alasan aku sakit parah. “Ada urusan.”
Papa berkacak pinggang. “Apa yang harus diurusin anak seusia kamu selain belajar?” tanya dia lagi masih dengan mata melotot.
Aku malas menanggapi. Karena sama seperti sebelum-sebelumnya, hal semacam ini hanya berakhir pertengkaran yang lebih panjang dan rasa sakit dibadan yang lebih banyak. Papa tak pernah main-main menyiksa anaknya sendiri.
“Jawab!” bentaknya lagi saat aku hanya diam dan menatap ke sembarang arah. Memperhatikan ikan-ikan kecil di akuarium dekat tangga, lalu melihat ke arah ruang makan menerka-nerka mama masak apa malam ini.
“Pa, bisa gak hari ini aja, jangan marahin Hasbi? Hasbi capek pa,” ucapku memelas. Aku tak mau ini bertambah panjang dan mengganggu waktu yang seharusnya aku pakai untuk tidur.
“Papa bilang jawab!”
“Udahlah Pa, jangan marah-marah terus. Gak baik,” sela mama lembut sambil meraih tangan papa. Sumpah, aku benci mama bersikap lembut pada orang sekasar papa.
Papa menoleh ke arah mama. “Diem Ma. Anak gak tau waktu harus dikasih pelajaran!” ucapnya sambil menarik tangannya kasar dari genggaman mama.
“Kalau masalah Papa sama Hasbi, jangan ikut kasar sama Mama dong!” bentakku saat melihat perlakuan papa pada mama. Sekasar apapun dia padaku, aku lebih tak rela kalau mama juga diperlakukan tidak baik.
“Jangan sok ngajarin Papa!” ucapnya sambil menunjuk ke arah mukaku. “Dari mana aja kamu? Jawab!” tanyanya lagi.
Aku yang malas berdebat langsung membanting tas, membuka jaket dan menggulung sedikit celana. Menunjukkan luka-luka baret di tangan, sikut, lutut, dan pergelangan kaki. “Hasbi kecelakaan. Hasbi baru pulang dari rumah sakit. Kalau Papa gak peduli sama Hasbi, setidaknya jangan siksa Hasbi malam ini,” tegasku sambil menatap wajah papa sangar.
Mama kaget dan mendekat ke arahku tapi ragu karena diawasi oleh papa. Aku yang masih merasa linu-linu di badan, dan panas di pipi akibat tamparan papa segera memunguti jaket dan tas. Papa tak bereaksi. Aku dengan menahan amarah dan sakit, segera naik ke lantai dua menuju kamar. Perasaan ingin pulang untuk makan enak dan istirahat sudah papa hancurkan sejak di langkah pertama masuk rumah.
Meski masih kudengar mama yang menangis dan bicara ini itu pada papa, dan ada sedikit rasa penasaran dengan reaksi papa, akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamar dan menguncinya rapat-rapat. Aku cape. Dan aku butuh istirahat panjang.
Setelah kubanting tas ke sembarang arah, entah kenapa lagi-lagi perasaan aneh itu muncul. Tak menunggu aba-aba, amarah memuncak. Aku bahkan berlinang air mata meski sekuat tenaga kucoba menahannya. Tanganku mencengkeram sembarang benda dan memukul-mukulnya melampiaskan emosi. Sambil kutahan agar tak sedikitpun suara terdengar. Ini selalu terjadi, sayangnya bukan di hadapan papa.
Hingga saat aku mulai mencengkeram tanganku sendiri, aku menyadari sesuatu yang janggal. Plester-plester kecil yang membalut luka-luka di tangan.
DI RUMAH SAKIT, SORE TADI
Meski cemas dengan keadaan orang yang aku tabrak, setidaknya aku sudah berhasil membawa dia ke rumah sakit untuk segera ditangani. Mbak perawat yang membantu mengurus orang itu bilang, semuanya akan baik-baik saja. Dia minta aku menunggu tak jauh dari IGD.
Ini hari yang berat. Kenapa disaat-saat hubunganku dengan papa makin buruk, aku harus menabrak orang lain yang pasti jadi alasan papa semakin marah padaku (kalau dia tahu). Rasanya berat dan berantakan. Sampai lagi-lagi, tanpa sadar, aku memukul-mukul kursi panjang yang aku duduki di koridor rumah sakit ini.
Aku kalah. Akhirnya aku menangis meski sekuat tenaga ku tahan. Malu jika ada orang yang melihat seorang Muhammad Hasbi Tsaqif menangis di tempat umum seperti ini. Dengan memejam, aku menengadahkan kepala supaya air mata tak tumpah.
“Hey!” aku tersentak kaget saat tiba-tiba ada seseorang memegang tanganku. Refleks ku tarik lagi tangan dan melotot ke arah orang asing di hadapanku
“Hai!” sapanya dengan ekspresi yang bertolak belakang dengan ekspresiku. Seorang gadis kecil. Duduk di kursi roda, lengkap dengan slang infus yang menggantung di tiang yang sepertinya satu paket dengan kursi rodanya. Wajahnya pucat. Tubuhnya juga kecil. Dia pasien rumah sakit?
Aku terkesiap. “Apa-apaan?” tanyaku ketus sambil menggeser posisi duduk menjauhinya. Sedikit mengalihkan arah wajah, tak ingin mata berair ku terlihat olehnya.
Dia tak beranjak. “Aku obatin dulu ya luka kakaknya?” pintanya baik-baik.
Entah kenapa, aku ragu-ragu menatap ke arahnya. Separuh diriku mencoba waspada, takut kalau-kalau ternyata dia penipu. Separuh lagi merasa percaya kalau dia hanya pasien rumah sakit biasa. Tapi kenapa dia tiba-tiba datang terus mencoba mengurus luka-lukaku?
“Gak usah, makasih,” jawabku singkat masih mencoba menghindar.
Dia tak bergeming. “Ayolah kak. Itu lukanya cukup parah loh. Jangan dibiarin. Takut infeksi,” ujarnya lagi sambil berusaha meraih tanganku.
Aku yang bingung karena tiba-tiba diperlakukan seperti itu oleh orang asing masih tidak mau menerima perlakuannya. “Apaan sih? Kamu siapa?” ucapku masih dengan mencoba menghindar.
Dia terdiam dan ekspresi wajahnya berubah. Seperti geram. Tapi kulihat dia mencoba tenang dan tersenyum lagi. Senyum yang asing bagiku. “Yang penting aku gak akan makan kakak.” Dia berkata dengan lemah lembut.
“Gak, gak usah. Aku gak berurusan sama orang asing,” pungkasku mencoba beranjak.
Dia mencoba menghalangi jalanku. “Ih negatif thinking banget sih,” ujarnya mulai kesal.
“Ini namanya waspada!” tukasku ketus.
Dia terdiam dan menghela napas lembut. “Kadang, kalau mau menilai seseorang, dan memutuskan untuk percaya atau tidak, kita perlu memberinya kesempatan untuk melakukan tujuannya.”
Aku terdiam mendengar ucapannya yang bagiku ada benarnya. Meski dia orang asing dan aku harus waspada padanya, tak bisa disangkal juga bahwa aku setuju dengan apa yang dia katakan. “Bodo amat,” ucapku singkat setelah akhirnya aku sadar bahwa aku harus tetap menghindar dari orang asing sepertinya.
“Keras kepala banget sih,” protesnya.
Aku menatapnya, “Ya biarin. Bukan urusanmu juga.”
“Tapi luka itu urusanku, kak!” tegasnya tetap dengan nada lembut.
“Ya jangan diurusin,” sergahku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kenapa? Ya kamu siapa? Bebas dong kalau aku gak mau percaya sama kamu?” ucapku masih dengan nada judes. Aku tak pernah mengira, hari ini akan jadi hari yang panjang dan penuh kejadian-kejadian yang tak pernah aku bayangkan.
“Kakak gak percaya sama aku, tapi kakak percaya sama ucapanku. Iya kan?” tebaknya. Telak. Aku memang tak menyangkal kalau aku percaya dan setuju dengan apa yang dia ucapkan barusan.
“Hah?” responku gagap.
“Udah, sini,” ucapnya kesekian kali dengan nada lembutnya. Kali ini aku tak menolak. Dengan ragu, akhirnya aku membiarkannya melakukan apa yang dia mau.
Dia membuka sebuah kotak kecil di pangkuannya. Isinya obat-obatan dan peralatan p3k sederhana. Sedikit merasa aman, aku membiarkannya mengoleskan obat-obatan pada lukaku yang cukup banyak.
Hingga tiba di bagian ruas-ruas jari, dia tersenyum. “Dunia udah jahat banget sama kakak. Jadi tolong jangan jahat sama diri Kakak sendiri. Karena gimana pun keadaannya, dia yang paling ngerti gimana sakit dan sulitnya. Kalo kakak jahatin dia, terus dia kabur gimana?” Dia tertawa kecil sambil menempelkan plester pada luka-lukaku.
Aku terdiam mendengar ucapannya.
“Nah, udah selesai,” ucapnya riang sambil mengemasi barang-barangnya. Aku yang tersadar karena ucapannya, segera menarik tangan dan menggerak-gerakkannya perlahan. “Cepat sembuh ya kak, Babay!” pamitnya sambil melambaikan tangan dan segera memutar kursi rodanya.
Aku masih terdiam mencerna kejadian yang baru saja kualami, terutama ucapan perempuan kecil itu yang cukup menyentuh hati. Siapa dia? Kenapa dari sekian banyak orang yang ku kenal, aku harus mendengar kalimat itu dari orang asing?
“Tunggu!” cegahku saat dia berlalu pergi. Sedikit berlari, aku menghampirinya. “Nama kamu, siapa?” tanyaku pelan.
Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Aku Azza. Azza Kamilatuzzahra. Kakak?” tanyanya lagi.
“Hasbi. Aku Muhammad Hasbi Tsaqif. Makasih ya,” ucapku tulus. Kupikir, aku sudah salah dengan menilainya buruk. Dia hanya datang untuk mengobati luka-lukaku.
Azza tersenyum. “Kakak ngapain disini? Luka-luka tapi kok gak ditangani dokter atau perawat?” tanyanya melanjutkan pembicaraan. Dia sosok yang unik. Di pertemuan yang aneh kita hari ini, dia seperti punya sesuatu yang membuatku percaya padanya untuk bicara banyak.
“Gak sengaja nabrak orang. Sekarang lagi ditangani,” ucapku cukup pelan sambil kembali duduk dan menatap sekeliling. Tak berani menatap wajahnya.
Azza tampak terkejut. “Jadi itu luka kecelakaan?” tanyanya sambil mendekat lagi. Memperhatikan luka-lukaku yang sebenarnya sudah dia lihat sejak tadi.
Aku mengangguk. “Sebagian.”
Azza menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi roda. “Jangan diulangi lagi ya,” pesannya dengan lembut.
Aku refleks menatapnya bingung. Sejak tadi, kata-katanya seperti punya sesuatu yang lain dari ucapan-ucapan manusia biasanya. “Apa?” tanyaku memastikan.
“Menyakiti diri sendiri,” ucapnya.
Aku gelagapan. Ucapan-ucapannya telak mengenai hati. Hampir membuatku menangis lagi. Tapi segera ku palingkan wajah menatap sekeliling. Apa yang dia punya sampai dia tahu apa yang aku alami? Apa yang dia punya sampai tahu apa yang aku rasa?
“Kamu dirawat di sini?” tanyaku basa-basi mengalihkan pembicaraan.
“Kalau di rumah sakit lain gak mungkin aku di sini,” jawabannya sambil tertawa. Aku menyadari kebodohanku bertanya hal sedasar itu.
“Semoga cepat sembuh ya. Dan terima kasih,” ucapku lagi.
“Terima kasih untuk apa?” tanya Azza.
Aku menunjukkan plester-plester di lukaku. “Pengobatan gratisnya,” jawabku singkat.
“Emang kata siapa itu gratis?” tanya Azza.
“Emang bayar?” aku kaget.
Azza tertawa. “Gak santai banget ih kak Hasbi,” ujarnya tertawa sambil membenahi anak rambut dan menyelipkannya ke belakang telinga. Cantik. “Kakak sembuh dan jangan nyakitin diri sendiri lagi. Jadi lunas. Oke?” ucapnya sambil tersenyum manis. Sebuah senyuman yang baru ku lihat dan ku perhatikan lagi setelah sekian lama aku benci seseorang tersenyum.
Aku hanya terdiam dan mengangguk pelan. Sementara Azza meraih jaket di bahunya. “Sini!” titahnya. Aku hanya menurut dan mendekat ke arahnya meski ragu-ragu. Lantas dia memakaikan jaketnya padaku.
“Ya walaupun warnanya gak laki-laki banget, tapi lebih baik dari pada pakai kaos basah kayak gitu. Jangan sampai masuk angin,” ucapnya sambil masih membenahi jaket yang dia kenakan.
“Eh gak usah, Za.” Aku mencoba menolak dan membukanya lagi.
“Iya gak usah nolak,” sergahnya cepat. “Dipakai ya. Jaga diri baik-baik kak Hasbi,” ucapnya lagi sambil membenahi posisi kursi roda. Aku masih bingung harus bereaksi apa. “Azza pergi ya. Babay,” ujarnya melambaikan tangan.
Aku hanya membalasnya kikuk sambil terus memperhatikan pergerakan Azza dengan kursi rodanya. Dia seperti punya hipnotis. Aku bahkan bingung harus melakukan apa dan bereaksi seperti apa karena bertemu seseorang seperti dia.
Kulihat seorang perempuan paruh baya menghampirinya sambil menunjukkan keresek yang dia tenteng. Azza tersenyum girang. Dia lantas mengacungkan tangan seperti superhero. Memberi komando. Perempuan paruh baya dibelakangnya segera mendorong kursi rodanya sambil sama-sama tertawa.
Siapa Azza? Siapa perempuan seindah itu yang aku temui baru saja? Siapa perempuan kecil yang bisa menyentuh hatiku itu?