Happy Ending

Happy Ending

Risna Utami

4.7

HAPPY ENDING

Untukmu akan kuciptakan akhir kisah yang bahagia

Karya: Risna Utami

 

 

Pangeran dari Dunia Kegelapan

 

 

Awal Musim Semi, 2000.

“Eomma*, hari ini aku mau mendengar dongeng tentang pangeran.” Seorang gadis kecil berusia enam tahun berkata pada ibunya. Ia sudah berbaring di atas tempat tidur sambil menatap sang ibu yang duduk di sisinya dengan mata berbinar-binar. (*Ibu)

“Hmm ... tentang pangeran ya ....” Ibunya berpikir sejenak. Menimbang-nimbang cerita apa yang harus ia dongengkan pada putri semata wayangnya ini. “Bagaimana kalau cerita tentang Cinderella dan pangerannya?” tanya ibunya beberapa menit kemudian.

“Tidak mau. Cerita itu kan sudah Eomma ceritakan berkali-kali. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu.

Sang ibu mengembuskan napas panjang dan tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, Eomma akan menceritakan kisah tentang seorang pangeran yang kesepian.”

Gadis bermata bening itu tersenyum semringah dan mulai memfokuskan diri pada ibunya.

“Di sebuah istana yang megah hiduplah seorang pangeran kecil yang kesepian.” Sang ibu memulai ceritanya. “Sejak lahir, ia tidak pernah tahu dunia luar itu seperti apa. Ia terus dikurung di dalam istana oleh keluarganya. Sang pangeran hanya bisa membayangkan tentang dunia luar dalam imajinasinya. Setiap hari, pangeran selalu berharap akan datang sebuah keajaiban yang bisa membawanya melihat dunia luar. Ia juga selalu berharap akan ada seseorang yang mengulurkan tangan dan mengeluarkannya dari penjara kesepian. Sayang, harapannya tidak pernah terwujud. Keajaiban tidak pernah datang padanya.

Kemudian, pangeran pun tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Sayangnya, pangeran berubah menjadi orang yang berhati dingin. Ia tidak pernah tersenyum. Di sekelilingnya hanya ada kabut hitam dan dinding tebal tanpa cahaya. Tak ada yang bisa menembus dinding tebal dan menghilangkan kabut hitam itu. Terlebih lagi, sang pangeran sendiri tidak punya tekad untuk menghancurkan penghalang-penghalang itu. Ia tidak percaya pada siapa pun. Sampai akhir hayat pun, pangeran tetap sendirian. The End.”

“Aku tidak suka akhir ceritanya,” keluh si gadis kecil setelah ibunya mengakhiri cerita. Ia cemberut. “Kenapa sang pangeran harus kesepian sampai akhir hayat? Kenapa pula sang pangeran tidak mau percaya pada orang lain? Padahal, mempunyai banyak teman itu menyenangkan. Dan, kenapa tidak ada peri yang datang menolongnya seperti kisah Cinderella?”

Sang ibu tersenyum mendengar ucapan putrinya itu, lalu berkata, “Karena sang pangeran sudah terlalu lelah berharap. Jadi, meskipun sebenarnya keajaiban itu ada di dekatnya, dia tidak akan pernah melihatnya.”

“Pokoknya, aku tidak terima! Aku harus menemukan pangeran itu dan merobohkan dinding tebal dan menyapu bersih kabut hitam yang mengelilinginya. Aku akan menyelamatkannya dari kesendirian dan membuat akhir cerita bahagia untuknya,” kata si gadis kecil dengan penuh semangat.

 Untuk kesekian kalinya, sang ibu tersenyum. Rasa haru memenuhi hatinya. “Kalau begitu, jika suatu saat kau bertemu dengan sang pangeran, maukah kausampaikan salam dari Eomma? Bilang padanya, kalau Eomma menyayanginya.”

“Em.” Si gadis kecil mengangguk mantap. “Aku pasti akan menyampaikannya.”

 

++++

 

Awal Musim Semi, 2019. Tepi Sungai Han.

Cha Bong Suk menatap sosok jangkung yang berdiri tegap di hadapannya dengan bola mata bergetar. Tangan kanannya yang mengacungkan pistol ke arah sosok itu mendadak gemetaran. Jantungnya berdebar kencang.

Sial! Bahkan, ditodong pistol seperti ini pun sosok itu tidak bergeming. Ia malah semakin mengintimidasi Bong Suk dengan tatapan dingin menusuknya, membuat seluruh tubuh Bong Suk mengalami mati rasa. Sungguh, selama berpuluh-puluh tahun berkecimpung didunia pergengsteran, ia tidak pernah merasa setakut ini. Sosok yang ada di hadapannya ini benar-benar seperti iblis yang siap mengambil nyawa korbannya tanpa belas kasihan.

Kim Myung Soo, si sosok jangkung dengan tatapan dingin itu tepat seperti rumor yang beredar di kalangan para gengster. Pemimpin klan Bulan Merah itu memang seperti iblis. Bayangkan saja, Bong Suk datang menyerang bersama sepuluh anak buah terbaiknya dan Myung Soo menghabisi mereka hanya dalam lima menit. Laki-laki berusia 27 tahun itu sendirian dan hanya mengalami goresan kecil di pipinya. Ternyata, julukan “Pangeran Iblis” yang diberikan orang-orang untuk laki-laki ini memang bukan cuma isapan jempol.

“Masih keras kepala juga rupanya,” gumam Myung Soo santai sambil membuang pistolnya yang sudah kehabisan peluru. Ia lantas memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menengadah menatap langit malam. Bulan purnama yang sejak tadi bersembunyi di balik awan perlahan mulai menampakkan diri. Myung Soo menatap bulan itu lekat, seolah mengagumi benda langit itu.

Bong Suk yang melihat tingkah Myung Soo bukannya mengambil kesempatan untuk menembak malah terpaku. Seluruh syarafnya mati rasa. Sosok tenang Myung Soo di bawah sinar rembulan entah kenapa terlihat semakin menakutkan.

Ayo tembak dia, Cha Bong Suk! Ini kesempatanmu! Ayolah, jangan jadi pengecut! Bong Suk mencoba menguatkan dirinya sendiri. Jari telunjuknya sudah siap menekan pelatuk pistol ketika sebuah benda berkilat melesat dengan cepat dan menancap tepat di bahu kanannya.

“Arrghhh!!!” Bong Suk berteriak melengking. Pistol di tangannya jatuh ke tanah.

Trap! Trap! Trap!

Myung Soo berjalan mendekati Bong Suk dengan langkah tenang dan mantap. Coat merah panjangnya berkibar diterpa angin. Raut wajah dan tatapannya tak berubah, tetap datar dan dingin.

“Jadi, siapa dia?” Myung Soo bertanya begitu berada tepat di hadapan Bong Suk yang masih mengerang kesakitan sambil memegangi bahu kanannya.

“A-apa maksudmu?” Bong Suk balik bertanya dengan suara tersendat-sendat. Ia mencoba menarik mundur kakinya, tetapi yang terjadi ia malah jatuh terduduk ke tanah. Seluruh anggota tubuhnya terasa sangat lemas dan pandangannya pun mulai mengabur.

“Aku rasa, kau mengerti maksudku,” kata Myung Soo sambil berjongkok lalu mengambil pistol yang tergeletak di sisi Bong Suk dan menempelkan moncongnya di kening laki-laki paruh baya itu.

“Ti-tidak. Akuh ... sama sekali tidak mengerti ...,” sanggah Bong Suk dengan suara parau. Darah segar dari lukanya terus menetes ke tanah. Dadanya terasa panas seperti terbakar api. “Uhuk!” Tiba-tiba ia terbatuk dan memuntahkan darah dari mulutnya.

Bibir Myung Soo berkedut samar. “Sudah dimulai rupanya,” gumamnya pelan sambil melihat jam tangan berwarna peraknya.

Mata Bong Suk melebar. Ia menyadari sesuatu. Kondisinya yang seperti ini bukan tanpa sebab. Belati Myung Soo yang menancap di bahunya pasti bukan sekadar belati.

“Uhuk!” Lagi, Bong Suk terbatuk dan memuntahkan lebih banyak darah.

Myung Soo kemudian berdiri dan membuang pistol yang ditodongkannya pada Bong Suk ke Sungai Han.

Hana (satu) ...,” ucap Myung Soo sambil memutar tubuhnya. “Dul (dua) ....” Lalu, melangkahkan kakinya menjauh. “Set (tiga) ....”

Tepat setelah hitungan ketiga, tubuh Bong Suk roboh dan tak bergerak lagi. Sang pemimpin klan Serigala Hitam itu pun meregang nyawa akibat racun yang berasal dari belati Myung Soo. Sementara itu, si Pangeran Iblis melenggang pergi dari tempat itu. Meninggalkan tubuh-tubuh tak bernyaawa yang ia kalahkan seorang diri.

“Anda baik-baik saja, Presdir?” tanya seorang laki-laki muda berkacamata yang sejak tadi berdiri tak jauh dari tempat Myung Soo bertarung. Ia tampak sangat cemas.

“Aku baik-baik saja, Sekertaris Jung,” jawab Myung Soo enteng. “Segera bereskan semuanya. Jangan sampai ada yang tertinggal. Aku tidak mau berurusan dengan polisi. Mereka menyebalkan dan cerewet.”

Jung Jae Bin, sang sekertaris Myun Soo, menyahut tegas, “Baik, Presdir!”

“Kalau begitu, aku mau jalan-jalan sebentar. Aku akan menyetir sendiri. Kalau sudah selesai, kalian pulanglah lebih dulu.”

“Baik.” Jae Bin membungkuk hormat dan bersama empat anak buahnya mulai mengangkut satu per satu tubuh musuh yang dikalahkan pemimpin mereka ke mobil pick up yang sudah disiapkan. Myung Soo sendiri mengendarai mobilnya menuju daerah Gangnam untuk mengunjungi pub milik sahabatnya. Pertarungan tadi cukup menguras tenaga. Dua atau tiga gelas wine mungin bisa membuatnya segar kembali.

 

++++

 

“Kali ini kelompok mana lagi yang melakukan penyerangan?” Moon Tae Suk, sahabat Myung Soo, bertanya sambil menuangkan wine ke gelas di hadapan Myung Soo. Mereka duduk di ruangan khusus yang sengaja dibuat Tae Suk untuk Myung Soo.

“Serigala Hitam,” jawab Myung Soo sambil mengambil gelas berisi wine-nya dan menyesapnya perlahan.

“Serigala Hitam? Bukankah klan itu sudah diporak-porandakan tiga tahun lalu?” Laki-laki yang selalu berpenampilan nyentrik itu tampak terkejut. “Ini benar-benar aneh. Sejak Tuan Besar meninggal dua tahun lalu dan kau memegang tampuk kekuasaan, klan-klan kecil yang sudah hancur lebur mendadak bermunculan dan melakukan penyerangan membabi buta. Sepertinya, ada yang sengaja membangkitkan mereka untuk merobohkan klan kita karena berpendapat tanpa Tuan Besar kita lemah.”

“Aku juga berpikir begitu. Seseorang atau mungkin sebuah organisasi besar pasti telah membiayai mereka untuk kembali bangkit,” kata Myung Soo, rahangnya mengeras.

“Kalau begitu, kita tidak boleh menganggap remeh lagi masalah ini. Penyelidikannya harus kita lakukan dengan lebih serius lagi. Apa perlu aku menugaskan anak buahku untuk melakukan penyelidikan juga?” cerocos Tae Suk berapi-api.

Myung Soo menggeleng pelan. “Tidak perlu. Kau fokus saja pada pencarian gadis itu.”

Tae Suk yang hendak meminum wine-nya tiba-tiba menghentikan gerakannya. Ia terdiam. Myung Soo baru saja mengingatkannya pada pencarian yang ia lakukan selama dua tahun belakangan ini, yang sampai saat ini belum juga menemukan titik terang. Wajah Tae Suk langsung berubah lesu. Api semangatnya yang tadi menyala-nyala padam seketika.

Gadis itu’ yang dimaksud Myung Soo adalah anak perempuan Julie, sekertaris sekaligus orang yang paling dipercaya Tuan Besar. Wanita itu meninggal karena kecelakaan sembilan belas tahun lalu. Dulu, setelah Julie meninggal, Tuan Besar berniat mengadopsi anak perempuan Julie. Namun, anak itu sudah dibawa ke panti asuhan. Sayangnya, tidak ada informasi ke panti asuhan mana anak itu dibawa. Tuan Besar terus mencarinya, tetapi tak berhasil menemukannya.

“Gadis itu ... benar-benar seperti hantu. Sama sekali tak ada jejak yang ditinggalkannya. Aku sudah memperluas area pencarian ke seluruh negeri, tetapi hasilnya tetap nihil,” ungkap Tae Suk dengan nada lesu. “Apa ... kau yakin dia masih hidup?” Tae Suk menatap Myung Soo.

Myung Soo menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan menatap langit-langit. “Kakek percaya dia masih hidup. Jadi, aku harus percaya juga,” lirihnya.

Jujur saja, jauh di dalam hatinya, Myung Soo tidak begitu yakin gadis itu masih hidup. Seperti yang dikatakan Tae Suk, gadis itu seperti hantu. Ia tak terlihat tetapi ada. Entah ke mana dan bagaimana lagi ia harus mencari gadis itu. Semua yang ia lakukan selama ini selalu saja menghadapi jalan buntu. Terlebih lagi, pergerakkannya pun terbatas karena musuh-musuhnya selalu mengintai dalam diam. Myung Soo tidak ingin pencariannya ini terendus dan malah membahayakan gadis itu.

Sial! umpan Myung Soo dalam hati sambil menenggak minumannya yang tinggal setengah dengan kasar. Kalau saja ia tidak bersumpah pada kakeknya untuk mencari gadis itu sampai ketemu, sudah sejak lama ia menghentikan pencarian. Terlalu banyak masalah yang muncul sejak kakeknya meninggal dan ia menjadi pemimpin tunggal K Group serta klan Bulan Merah. Kepalanya terasa mau pecah.

“Semoga saja ada keajaiban yang menuntun kita menemukan gadis itu,” ujar Tae Suk asal.

Myung Soo tertegun mendengar ucapan Tae Suk. Cengkeraman pada gelas di tangannya mengencang, seolah ingin meremukkannya.

Keajaiban? Hal seperti itu hanyalah omong kosong. Myung Soo mendengkus seraya meletakkan gelasnya di atas meja dan bangkit.

“Aku pulang sekarang,” katanya kemudian, lalu melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia berpesan pada Tae Suk, “Kalau ada petunjuk baru soal gadis itu, segera hubungi aku.”

“Oke,” jawab Tae Suk sambil mengacungkan jempolnya. “Hati-hati di jalan!”

Myung Soo hanya mengangkat sebelah tangannya lalu menghilang di balik pintu.

 

++++