Hallo, Mas Dosen

Hallo, Mas Dosen

Secret Annoying

0

Di balkon kamar sebuah rumah megah, tampak seorang anak lelaki tengah sibuk menatap segerombolan orang diseberang sana. Raut dingin dan datar terpancar jelas di wajahnya.

Ia berdecih sinis, terlihat tidak suka dengan keberadaan mereka. Rumah yang beberapa tahun silam kosong, kini sudah terisi oleh anggota keluarga asing itu.

"Alan, turun dulu sayang! Sarapannya udah siap nih. Sebentar lagi kamu berangkat sekolah kan?!" pekik Elina, dari dapur.

Yang dipanggil berdecak malas, "Iya, bunda."

Memilih tak perduli pada tetangga barunya itu, dengan langkah cepat Alan kembali memasuki kamar. Setelah menyambar tas diatas meja belajar, ia segera menghampiri ibunya.

******

Tok Tok Tok!

Suara ketukan itu begitu mengganggu dipendengaran Alandra. Raut dingin selalu terpasang di wajahnya. Tak ada senyum yang ia perlihatkan. Anak itu bahkan juga sering mengacuhkan kedua orang tuanya sendiri.

Alan mengabaikan ketukan itu. Ia kembali fokus pada benda pipih digenggamannya.

Karena tidak ada sahutan, suara ketukan tergantikan oleh bunyi bel.

Ting Tong! Ting Tong!

Suara bel kembali berbunyi, dengan langkah tergesa seorang wanita paruh baya muncul dari arah tangga. Ia menatap Alan dengan sengit.

Alan mendongak sekilas, lalu ia kembali fokus pada video game di iPad yang ia genggam. Tak memperdulikan pelototan ibunya itu.

"Alan! Kenapa nggak segera dibuka pintunya? Bunda lagi banyak kerjaan tau." kesal Elina.

Namun Alan tetap bungkam, dengan santai ia mencomot kripik pisang di toples yang berada di pangkuannya. Mengabaikan omelan wanita itu.

Elina menghela gusar, ia lelah menghadapi kekeraskepalaan putranya itu. Memilih mengalah, ia segera membukakan pintu.

Terlihat sepasang suami-istri dan kedua anaknya berdiri disana. Elina mengernyit, ia tampak asing dengan orang-orang itu.

"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elina, tersenyum ramah.

"Maaf mengganggu waktunya, mbak. Kami adalah tetangga baru disebelah." sahut wanita paruh baya itu. "Ini, kami ada sedikit oleh-oleh. Mohon diterima ya."

"Wah, jadi repot. Terima kasih ya." sahut Elina menerima bungkusan kue coklat itu. "Ayo, masuk dulu."

Mereka mengikuti langkah Elina. Duduk tidak jauh dari Alan yang masih tidak bergerak sedikitpun dari zona nyamannya.

"Sebentar ya. Saya panggilkan suami saya dulu." setelahnya Elina menghilang dibalik tembok ruang tamu, usai mendapat anggukan dari keduanya.

"Oh, kalian tetangga baru itu ya? Perkenalkan saya Damar, suami Elina." begitu tiba, Damar menghampiri mereka. Lalu ia duduk dihadapan keempat orang itu, diikuti oleh Elina.

"Ah, iya. Saya Wirya." Wirya langsung menjabat tangan Damar. "Dan ini istri saya Wulan."

"Oh, iya. Lalu siapa nama kedua anak manis ini?" Damar beralih menatap kedua anak yang duduk diantara Wulan dan Wirya.

"Nama ku Nara, om." sahut gadis kecil itu. Senyum manis terukir di wajah imutnya.

"Kalau aku Miko. Kakaknya Nara." timpal anak laki-laki disebelah Nara. Raut wajahnya tampak malu-malu. Berbanding terbalik dengan sang adik, yang tampak ceria.

"Hmmm. Sini, sayang. Om punya coklat buat kalian." Damar tersenyum semakin lebar, ia menatap Nara dan Miko yang sudah berada dihadapannya dengan gemas.

"Terima kasih, om." sahut Nara dan Miko. Kedua anak itu menyalami Damar dan Elina.

"Wah, sopannya." sahut Elina. Kedua anak itu hanya tersenyum malu.

"Oh iya, umur kalian berapa tahun?" tanya Damar lagi.

"Aku empat belas tahun, om." sahut Miko.

"Kalau aku sembilan tahun." sahut Nara masih menampilkan senyum cerianya.

"Oalah, beda lima tahunan ya. Berarti Miko udah SMP dong. Anak om juga seumuran kamu loh, Mik." lalu Damar melirik Alandra sekilas. Namun anaknya itu pura-pura tidak mendengar.

"Wah, Nara boleh panggil dia kakak juga nggak?" celetuk Nara.

Elina terkekeh gemas, "Iya, boleh. Tapi kamu jangan dekat-dekat dia ya. Nanti kamu di gigit."

Nara mengernyit bingung, "Memang anak tante singa ya?"

Elina terkikik geli, "Iya, bahkan dia rajanya singa."

"Ngaco. Bunda, jangan bicara aneh-aneh!" geram Alan melempar iPad ditangannya dengan kasar di sofa yang ia duduki.

"Lah? Emang benarkan?" sahut Elina sengit.

Alan hanya mendengus jengkel. Sementara Damar sudah geleng-geleng melihat tingkah keduanya, heran mereka ini ibu dan anak atau musuh sebenarnya?

"Alan, sini nak!" panggil Damar. "Salim dulu sama om dan tante."

Terpaksa, Alan menghampiri ayahnya. Wajah datar masih terpampang jelas disana.

"Ayo, salim! Malah bengong." suruh Damar.

Dengan malas Alan kembali menuruti perintah ayahnya itu.

"Tampannya." Wulan menyunggingkan senyum lebar, menatap Alan dengan ramah.

"Terima kasih." sahut Alan ketus.

Damar memelototi anaknya itu, "Nak, nggak boleh gitu. Nggak sopan banget kamu ini. Ayo, minta maaf!"

Alan mendengus, ia menyambar bungkusan kue di atas meja. Tak memperdulikan omelan sang ayah. Setelahnya meninggalkan orang-orang menyebalkan itu.

Elina meringis mendapati kelakuan tidak sopan anaknya itu, "Maaf ya, anak saya memang agak keras kepala."

"Nggak apa-apa. Namanya juga anak muda." kekeh Wirya.

"Tante, tante." panggil Nara, mengalihkan perhatian orang-orang dewasa itu.

"Kenapa, sayang?" heran Elina.

"Nara boleh main sama kak Alan?!" tanya Nara terdengar memaksa.

Elina mengangguk, "Boleh."

Setelahnya Nara langsung menyusul langkah lebar Alan.

"Miko nggak ikut?" tanya Elina, saat mendapati bocah itu diam saja disebelah ibunya.

Miko menggeleng, "Disini aja, tante."

Elina mengernyit, "Loh, kenapa?"

Wulan terkekeh, "Miko emang sedikit pemalu. Dia lebih suka duduk anteng sendirian, berbeda dengan Nara yang super aktif."

Elina mengangguk maklum, setelahnya mereka kembali melanjutkan obrolan.

******

Begitu tiba di taman belakang rumah, Nara mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan Alan yang tiba-tiba menghilang. Sesekali ia berdecak kagum, disana banyak sekali pohon mangga dan beberapa bunga langka yang ditanam.

Bahkan juga terdapat kolam renang dan beberapa gazebo. Dan disanalah Alan berada. Nara segera menghampiri Alan yang duduk dipinggir kolam. Dengan perlahan ia melangkah, berniat mengagetkan anak itu. Namun sialnya dia tersandung pada pijakan lantai yang agak mencuat.

BRUKK!!!

"Aduh." ringis Nara, matanya sudah berkaca-kaca.

Alan menoleh, tawanya langsung menyembur mendapati lutut gadis itu telah mencium lantai. Nara terpaku, air bening mulai membanjiri matanya. Rasa malu dan sakit pada lututnya menjadi satu.

Alan menggeleng-geleng gemas, lalu menghentikan tawanya. Kini tawanya digantikan dengan senyum tipis. Ia melangkah menghampiri Nara, mengulurkan tangan dan membantu gadis kecil itu berdiri.

"Dasar ceroboh." ejek Alan.

Nara mendengus, menerima uluran tangan lelaki itu. Alan mendudukkan Nara di bangku dekat kolam. Gadis kecil itu mengernyit melihat kepergian Alan setelahnya.

"Mau kemana dia?" gumam Nara, dengan sisa air mata dan sesegukan.

Beberapa saat kemudian Alan kembali, sambil membawa kotak P3K digenggamannya. Detik berikutnya ia berjongkok.

"Mau ngapain?" heran Nara.

Alan tidak menjawab, ia mengarahkan kapas ditangannya ke arah lutut Nara yang berdarah.

Gadis kecil itu meringis, "Perih."

Alan menoleh, menatap mata coklat terang Nara. Keduanya terpaku, saling menatap salah tingkah.

"Tahan ya! Aku bakal pelan-pelan kok." suara Alan terdengar lembut. Mata elangnya seakan menenangkan hati Nara.

Seakan tersihir, Nara menuruti perkataan lelaki itu. Tanpa sadar, ia terus memperhatikan wajah tenang Alan yang tampak serius mengobatinya.

"Terima kasih, kakak." sahut Nara, setelah Alan selesai mengobati lukanya.

Alan hanya mengangguk dan wajahnya kembali berubah datar.

*****