Sudah pemandangan lumrah di Grimbolk, melihat orang-orang rupawan berambut panjang, tetapi kelakuannya lebih anarkis dari babi kelaparan. Mereka awalnya hanya membawa tulisan "Elf Cinta Damai", dan jika dibiarkan semenit-dua menit saja, tulisannya akan berubah jadi "Elf itu Tuhan, Kurcaci itu Budak".
Semua kekonyolan ini disebabkan isu rasial yang sama konyolnya. Para elf (bertamengkan kisah masa lalu) menganggap diri mereka pantas diagungkan, dan kurcaci terlalu keras kepala untuk mengakui hal tersebut-menurut mereka. Alhasil, Grimbolk yang dulunya sebuah kota milik elf dan kurcaci, sekarang menjadi kota milik elf atau kurcaci.
"Usir kurcaci dari sini!"
"Grimbolk harus bebas dari tikus-tikus berjenggot!"
"Elf lebih penting!"
Bahkan keledai tak pernah meringkik sesumbang itu. Para kurcaci sudah berusaha mengabaikannya, sungguh. Hanya saja, mereka pasti dipersekusi kalau pura-pura tuli.
Entah sudah berapa banyak kurcaci yang minggat dari Grimbolk gara-gara hal ini. Demonstrasi semakin ganas akhirnya, membuat kaum elf sendiri terpecah-belah karena saling silang-menyilangi. Ada elf yang "elf", ada pula elf yang "kurcaci".
"Pesanan siapa yang sedang kau kerjakan, Will?" Seorang elf rambut putih duduk di depan kurcaci gondrong.
Si kurcaci yang asyik memalu besi langsung terkesiap. Ia menyingkirkan godamnya, dan tersenyum ramah menyambut sang elf.
"Ah, bukan siapa-siapa. Aku hanya berlagak sibuk. Apa yang membawamu kemari, Nat?" ujarnya.
Nat, atau Nathan Southbell adalah golongan elf yang "kurcaci". Maksudnya, ia elf yang memihak kurcaci. Bukan sekedar memihak, bahkan. Dirinya dengan Will (Gideon Willmar) sudah bersahabat sejak belia. Hubungan mereka seolah terselip di belahan dunia lain yang tak kuasa dibisiki oleh iblis-iblis pendengki.
"Aku butuh bantuanmu. Cerobongku tersumbat lagi. Kemarin kucoba perbaiki sendiri, tapi setengah badanku malah tersangkut," timpal Nat.
Will terkekeh. "Andai elf diciptakan sedikit saja lebih kecil, maka kau akan lebih berguna, Nat."
"Ya, dan jika kurcaci sedikit saja lebih tinggi, kalian pasti bisa menampar pipi kami lebih mudah."
Keduanya sontak tertawa keras. Will punya jenggot jingga tebal yang dikepangnya sampai bercabang dua. Ketika tertawa, janggut itu bergetar dan kutu-kutu di baliknya berlarian keluar.
Tak lama setelah obrolan ringan itu, sekelompok demonstran berlalu di depan toko. Salah satu dari mereka melempar batu ke lubang jendela sampai menjatuhkan beberapa pedang di atas rak. Will dan Nat bergidik kaget, kemudian saling tatap.
"Oh, elf-elf itu! Mereka semakin gila," kata Nat.
"Mereka tidak gila, Kau yang gila," tukas sang kawan.
"Kenapa aku?"
"Karena, Sahabatku, kaulah satu-satunya elf yang tidak berotak iblis seperti mereka."
Nat tersenyum pahit. Iris birunya bertengger tepat ke sorot mata cokelat Will.
"Terkadang aku merasa malu terlahir sebagai elf. Setidaknya di Grimbolk, harga diri kami tidak ada lagi."
"Sudahlah, Nat." Will menepuk bahu elf itu. "Aku akan memperbaiki cerobongmu nanti malam. Dan, pastikan kau masak kalkun buatku. Kalkun yang paling besar, ya!"
Nat sontak tergelak. "Aku ragu perut kecilmu sanggup mencernanya, Kawanku. Tapi tentu. Akan kusiapkan. Agar bisa melihatmu mati kekenyangan."
"Apa kau bilang?!" Hey, coba ulangi sekali lagi!"
Nat minggat dari toko sambil tertawa puas karena sukses mengerjai sahabatnya. Begitu sang elf tampan telah beranjak jauh, Will kembali mengambil godamnya. Ia memanaskan besi dan mulai menempa lagi.
"Tidak, Nat. Bukannya sok sibuk. Aku sedang memandai belati terbaik untukmu. Sampai jumpa nanti malam," gumamnya.
Grimbolk Tales
Langit Grimbolk nyaris gelap pekat, tetapi masih ada beberapa demonstran yang berceloteh sambil menimang-nimang obor. Mereka tak ubahnya mayat hidup yang tak peduli apa pun, selain ego sendiri.
Memulai perjalanan malam di kota ini, bagi seorang kurcaci, jelas bukan hal yang menyenangkan. Selalu ada potensi mereka dibacok tiba-tiba, atau diculik, atau bahkan ditelanjangi sampai menangis.
Will sebenarnya juga takut akan hal-hal buruk yang terjadi di sekitarnya. Ia bukan penyihir yang sanggup mengobati luka sekejap mata. Jika sebilah pisau menerabas jantungnya, maka habislah sudah.
Untuk itulah, Will kerap mengenakan tudung kain ke mana-mana, sekalian menyelipkan pisau di balik jaket beruangnya. Tubuh kurcaci memang pendek, tetapi daya tarung mereka jempolan. Tak heran jika para elf lebih memilih berkoar-koar, dibandingkan langsung menyulut api perang.
Selepas mengunci tokonya, Will bergegas pergi menuju kediaman Nat. Jaraknya tidak terlalu jauh. Akan tetapi, kerusakan bekas demonstrasi di balai kota membuat perjalanan sedikit terhambat. Will harus memakai jalur lain demi bisa sampai ke sana, dan tentunya memakan waktu lebih.
Selagi berjalan, ia menjumput sebilah belati dari dalam jaket. Belati yang indah, tajam, dan terdapat ukiran N.S di permukaannya. Itu inisial Nathan Southbell, sahabatnya. Will ingin memberikan hadiah untuknya malam ini.
"Kupastikan belati ini lebih lancip dari ujung telingamu, Nat. Karena bagi pandai besi, tak ada hadiah paling istimewa selain senjata yang paling lancip."
Will sempat berpapasan dengan dua elf demonstran yang kebetulan obornya mati. Mereka tak sadar baru saja melewati seorang kurcaci tua. Sekilas, Will menguping pembicaraan keduanya.
"Kau sudah dengar keputusan rapat komite kemarin?"
"Tentu saja. Akhirnya ada kabar baik. Kalau sampai petisi itu ditandatangani oleh setengah populasi elf di Grimbolk, takkan ada kurcaci lagi selamanya."
"Benar sekali. Suratnya mulai disebar, tinggal menunggu keputusan minggu depan."
Keputusan apa? Petisi apa? Surat apa? Dan mengapa lagi-lagi sentimen negatif terhadap kaum kurcaci harus diangkat? Benarkah takkan ada lagi kurcaci di Grimbolk?
Will terlalu malas untuk mengikuti alur pikiran elf-elf kolot itu. Ia fokus menapaki langkahnya menuju rumah Nat.
Sesampainya di sana, sambutan seorang elf kepada kurcaci tak pernah sehangat itu. Nat menggandeng sahabatnya masuk, menggantungkan jaket beruangnya, menarik kursi agar Will bisa duduk, bahkan bertanya bagaimana harinya berjalan. Itulah yang membuat Will percaya masih ada harapan di kota ini.
"Maafkan aku, tapi kalkun pesananmu masih dipanggang. Paling-paling sepuluh menit lagi baru siap," ujar Nat.
"Kalau begitu, kita makan setelah cerobongnya beres." Will terkekeh.
"Ide bagus. Ayo, Will!"
Nat membawa temannya itu menuju ruang tengah, di mana cerobong mampetnya berada. Meski rumah Nat tidak besar-besar amat, tetapi semua perabotnya tertata rapi. Siapa pun yang berkunjung pasti langsung tahu letak barang-barang penting saking teraturnya Nat menata rumah.
Akan tetapi, ada meja kecil di sudut ruang tengah, sedikit berantakan dengan tumpukan kertas dan pena bulu. Tidak biasanya Nat begitu, pikir Will, kendati ia sepakat mengabaikan keheranannya sendiri.
"Ini cerobongnya, Will. Dan ini tongkat penusuknya."
"Baik. Biar aku tangani." Will masuk ke perapian dan mulai menusuk-nusuk tongkatnya ke dalam cerobong.
Selagi Will melakukan tugasnya, Nat duduk di kursi sambil melipat kaki. Ia mengintip Will yang kepalanya sudah masuk ke cerobong, kemudian mendengus pelan.
"Will, kau tahu ada berapa kurcaci yang tinggal di Upperhill?"
Will berdeham sejenak. "Entahlah. Kurasa kurang dari seratus. Banyak yang pergi semenjak dipersekusi."
"Marriot masih di sana?"
Will langsung menunduk. Wajahnya menghitam bekas debu.
"Kau bercanda, Nat? Kurcaci keras kepala itu takkan bergeser sejengkal pun dari Grimbolk, walau selegiun elf datang mengusirnya."
"Benar juga. Kurasa satu-satunya alasan Walikota enggan mengesahkan perintah eksodus kurcaci karena pengaruh Marriot. Dia seorang bangsawan yang sangat dihormati."
"Begitulah." Will kembali fokus ke cerobongnya. "Mengapa kau bertanya, ngomong-ngomong?"
"Ah, tidak. Aku hanya penasaran. Semenjak konflik ini, para elf dilarang mendatangi Upperhill. Kita dulu sering main di sana, 'kan? Sekarang semuanya memburuk."
"Memang. Segalanya pasti memburuk." Will menunduk lagi, dan kali ini merogoh sesuatu di pinggangnya. "Tapi ada satu yang tidak." Ia menghampiri Nat.
"Apa?"
"Persahabatan kita," ucapnya sembari menyerahkan belati ukiran N.S. "Selamat ulang tahun, Sahabatku."
Nat terhenyak sejenak. Matanya berkaca-kaca. Sementara Will, ia tersenyum senang. Mata kecilnya jadi setipis garis.
"Terima kasih, Will."
"Tak masalah. Jadi, apa kalkunnya sudah siap?"
"Oh, astaga! Tunggu sebentar, biar kuperiksa." Nat bergegas menuju dapur.
Will hendak melanjutkan tugasnya, tetapi tumpukan kertas di ujung ruangan sungguh mengganggu. Ia sedikit penasaran, sedikit heran, juga curiga, hingga tak sadar kakinya berjalan mendekati meja.
Will mulai mengambil secarik kertas. Tertulis "Surat Utang Bank Grimbolk". Keningnya mengernyit.
Kertas kedua sampai kedelapan berisi ketentuan sangsi bank. Kertas kesembilan adalah tagihan dengan nama Nathan Southbell. Jumlahnya fantastis. Perasaan Will tiba-tiba tidak nyaman.
Tatkala mengambil kertas kesepuluh, mata kurcaci itu akhirnya terbelalak. Terpatri jelas dengan tinta merah, "Petisi Genosida Kaum Kurcaci Grimbolk". Nat sudah menandatanganinya.
"Apa-apaan ini?!" ringis Will tak terima. Ada namanya di petisi tersebut, sebagai target.
Bukan main panasnya hati Will. Emosinya meraung, geram sekali. Sosok Nathan Southbell yang selama ini dikenalnya ternyata nekat main belakang. Tak ada elf yang "kurcaci". Yang ada hanyalah elf yang "menipu kurcaci".
Namun, sebelum Will berbalik untuk melabrak Nat, punggungnya ditikam oleh seseorang. Ia kenal benda yang barusan melesak ke tubuhnya. Itu adalah belati hadiah ulang tahun Nat.
"Ka-kau!" Will tergopoh-gopoh menahan sakit. Pupilnya bergetar hebat.
"Maafkan aku, Will." Nat hanya menontonnya sempoyongan.
"Nat! Ter-terkutuk kau!"
Pandangan Will perlahan buram. Detak jantungnya lemas. Tiada lagi yang sanggup ditangkap netranya, kecuali sosok Nat yang berdiri puas. Setelah itu semuanya hitam. Will tumbang.
(Bersambung)