Usai memotong kol dan kacang panjang, Jennie menaruh beberapa wadah kotor ke dalam wastafel. Ia mengikat ulang rambutnya sambil bergegas menghampiri kompor, hendak menghangatkan bubur ketan yang dibuatnya semalam untuk sarapan.
Waktu menunjukan pukul enam pagi. Di luar sudah terdengar suara ibu-ibu dasteran yang mengerubungi tukang sayur, suara kendaraan yang berlalu lalang, diiringi dentuman musik dari kamar Lisa. Begitu setiap hari. Adiknya itu tidak pernah tidur tanpa suara musik. Namun, Jennie tidak mau mempermasalahkan hal tersebut.
Sudah hampir lima bulan orangtua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hal yang sangat membuat Lisa berubah drastis dan terus menyalahi diri sendiri atas kematian orangtuanya. Sebab itulah, satu-satunya pengusir ingatan kejadian tragis tersebut adalah musik. Kalau saja dia tidak ngotot untuk meminta kedua orangtuanya menyerviskan laptop, mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Suara Ibu yang selalu bersenandung di kala menyiapkan sarapan atau suara Ayah yang berkomentar terhadap berita politik di TV, mungkin masih terdengar hingga saat ini.
Jennie sendiri sudah mulai ikhlas menerima kepergian mereka. Bagaimanapun juga, hidup tetap terus berjalan. Jennie harus mulai memutar otak supaya bisa membiayai kuliahnya sendiri dan sekolah Lisa. Dibantu dengan uang pensiunan sang Ayah, Jennie pun sudah satu bulan ini menjual gado-gado secara online. Resep dari ibunya memang belum ada lawan hingga membuat gado-gado Jennie laris dengan cepat.
***
` Tidak seperti biasanya, jam tujuh pagi hari itu Lisa sudah bangun dan langsung menggeser kursi di hadapan Jennie. Ia mengambil sendok besar untuk menuang bubur ketan sebanyak-banyaknya hingga hampir memenuhi mangkuk. Bubur ketan memang makanan favorit mereka berdua sedari kecil. Untungnya, Jennie mewarisi kemampuan Ibu dalam hal masak-memasak.
Ketika Jennie mendongak, ia menggelengkan kepala begitu melihat pakaian yang Lisa kenakan. Baju tanpa lengan, ripped jeans yang robekannya menghiasi bagian paha, berlapis-lapis kalung, anting yang berbeda di masing-masing telinga dan celak yang menghiasi kedua matanya.
Beberapa bulan setelah kematian orangtua mereka, Lisa yang biasa berpakaian santun, mengubah penampilannya seperti lady rocker. Banyak tetangga yang mulai bergosip dan hal tersebut sangat mengganggu Jennie.
"Dek, bajunya diganti, dong. Ga enak sama tetangga."
Di tengah kunyahan makanan, Lisa menjawab dengan nada sinis. "Kok bisa sampe ga enak, sih? Emangnya kenapa kalau aku pake baju kayak gini? Rejeki mereka bakalan surut, gitu?"
"Bukan gitu. Emang kamu mau tambah digosipin sama mereka? Padahal dulu mereka itu suka muji-muji kamu, loh."
"Dulu!! Sebelum mereka bilang aku biang keladi dari kematian Ayah Ibu. Bahkan mereka bilang aku pembunuh!"
Jennie sadar akan hal itu. Ia pun pasti akan kesal jika berada di posisi Lisa. Karena bagaimanapun, kejadian tempo hari bukan atas dasar kesengajaan. "Tapi kamu jangan dengerin omongan mereka. Mereka itu–"
"Nah, nasihat itu buat Teh Jennie aja sekarang. Ga usah dengerin omongan mereka. Kita punya hidup masing-masing. Kita punya hak nikmatin hidup dengan cara masing-masing! Toh aku ga pernah minta duit sama mereka. Malah mereka yang selalu ngutang sama Ayah."
“Hush! Jangan ngomong kayak gitu, ga enak kalau kedengeran.”
“Biarin aja mereka denger. Emang bener, kok. Ayah selalu baik sama mereka, selalu ikhlasin utang-utangnya. Sialnya, mereka malah makin ngelunjak dan ngedrama! Sekarang giliran ayah ga ada, aku yang jadi sasaran kebencian orang-orang itu.”
Jennie hanya menghela napas. Merasa percuma memperdebatkan masalah ini karena adiknya begitu keras kepala. Lagi pula, tetangga di sekitar rumahnya memang keterlaluan, terutama Mbak Minzy yang selalu mendelik setiap melihat Lisa. Mungkin juga orang itu kesal karena tempo hari Jennie menolak meminjamkan uang untuknya.
“Woalaaah… kamu ini beda banget sama ayahmu, Jen. Beliau itu orangnya ga pelit!” ujar Mbak Minzy kala itu yang membuat Jennie ingin meremas mulutnya.
"Oya, aku lagi butuh uang. Aku mau pinjem dulu sama teteh."
Jennie melihat raut wajah adiknya seketika berubah, seperti ada aura yang suram di sana. "Uang buat apa?"
"Ada lah. Keperluan mendesak. Aku janji dalam tiga bulan bakalan kulunasin."
"Emangnya mau pinjem berapa?"
"Sepuluh juta,” jawab Lisa setenang mungkin, sambil menikmati bubur ketannya lagi.
Jennie menyudahi kegiatan makannya. Ia melipat tangan di atas meja makan, menatap tajam ke arah Lisa. "Kalau kamu ada keperluan, bilang aja sama teteh. Jangan main rahasia-rahasiaan. Uang sebanyak itu buat apa, coba? Inget, beberapa bulan lagi kamu udah harus kuliah. Teteh harus atur pengeluaran dari tabungan Ayah Ibu, biar kamu bisa masuk ke universitas yang bagus."
"Pokoknya aku bakal balikin uangnya dalam tiga bulan. Kenapa, sih, aku selalu harus disetir? Aku juga punya privasi, Teh. Kalau emang Teteh gak mau pinjemin, ya udah ga apa-apa."
"Bukan itu masalahnya. Kamu... ga pake narkoba, kan?"
Sebagai jawaban, Lisa memundurkan kursi dan beranjak ke sofa untuk meraih boots. Ia tersenyum sinis mendengar tuduhan kakaknya. "Ga orang, ga kakak sendiri, pasti punya pikiran negatif sama aku. Nuduh ini, nuduh itu!"
Jennie memutar badan menghadap Lisa yang sedang mengenakan boots. "Teteh bukan nuduh kamu. Teteh cuman gak mau kamu terjerumus ke hal-hal yang ga baik. Kamu juga ga pernah bilang mau pergi ke mana, pergi sama siapa. Ayah sama Ibu pasti bakalan sedih di atas sana kalo ada apa-apa sama kamu."
"Aku tahu, mereka pasti bakalan sedih. Anak yang udah ngehilangin nyawa mereka, sekarang nyoba mempermalukan nama baik keluarga. Pemake narkoba, tampilan kayak cewek asusila, sekalian aja tuduh aku hamil!"
Seketika wajah Jennie berubah kaku mendengar kata terakhir yang terlontar dari mulut adiknya. "Tapi kamu ga hamil, kan?”
“Iya aku hamil. Kenapa? Teteh mau tam–”
Jennie tidak dapat menahan kekecewaannya. Entah apa yang mendorongnya karena tiba-tiba ia menampar Lisa sekeras mungkin. Kedua kakak beradik itu akhirnya sama-sama menangis dengan alasan berbeda. Jennie yang merasa sedih karena gagal menjaga adiknya dan Lisa yang menahan amarah, karena kakaknya langsung percaya jika Lisa bisa melakukan hal tersebut.
***
“Yang pedes pake karet dua ya, Bang,” kata Jennie pada Abang GoFood.
“Siap, Neng Geulis. Makasih, ya.”
“Sama-sama.”
Jennie hendak kembali memasuki rumah, ketika Mbak Minzy memanggilnya.
“Jen, kok si Lisa udah berhari-hari ga keliatan? Ke mana dia?”
“Oh, Lisa lagi di rumah tantenya yang di Jogja. Lagi mau rest di sana,” jawab Jennie.
“Hmm, pentesan. Kayaknya laris, tuh, gado-gadonya. Saya lihat dari tadi banyak yang dateng.”
“Heheee… iya, Mbak. Namanya juga selalu usaha, supaya ga nyusahin orang,” jawab Jennie lagi yang langsung efektif membuat Minzy bungkam seketika.
Sebenarnya, sudah lima hari sejak penamparan itu, Lisa tidak pulang ke rumah. Sudah berkali-kali Jennie meneleponnya, tetapi hasilnya nihil. Begitu pun dengan teman-teman dekat Lisa di sekolah, tidak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Kekhawatiran Jennie berubah jadi ketakutan. Arwah kedua orangtuanya pasti akan mengutuk Jennie yang tidak bisa menjaga adik semata wayangnya. Jennie juga menyesali tindakan refleknya kala itu. Seumur-umur, Ayah dan Ibu tidak pernah berlaku kasar pada mereka berdua. Kenakalan apa pun yang mereka perbuat, selalu dihadapi dengan nasihat yang bijak tanpa vonis ataupun amarah.
Maka sore hari di kala langit sedang mendung, Jennie bertekad mencari Lisa dengan mengendarai mobil sepanjang jalan pusat kota Bandung, mulai dari Alun-alun hingga ujung Jalan Surapati. Namun, lagi-lagi hasilnya nihil. Ia pun kembali pulang sekitar jam delapan malam ketika hujan deras mengguyur kota. Tangannya gemetar sembari memegang kemudi erat-erat. Ia membayangkan, bagaimana jika Lisa tidak pulang lagi ke rumah, bagaimana jika ia tidak bertemu lagi dengan satu-satunya orang yang ia punya atau lebih parahnya ia membayangkan jika Lisa saat ini sedang dalam bahaya dan tidak ada siapapun yang bisa dimintai pertolongan.
Ketika mobil yang dikendarai membelok ke arah komplek, dari balik wiper yang bergerak-gerak, Jennie melihat segerombolan orang berdiri di bawah pohon mangga depan rumahnya. Perasaan takut langsung menyergapi Jennie yang langsung turun tanpa menghiraukan guyuran air hujan. Orang-orang itu merupakan sekelompok anak muda yang berpenampilan gothic seperti Lisa.
“Kalian siapa?” tanya Jennie tanpa membuang waktu.
“Teteh kakaknya Lisa?” Gadis yang bibirnya ditindik malah balik bertanya.
Jennie mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat. “Kamu tahu di mana adik saya sekarang?”
“Kenalin, Teh, saya Rose,” ucap gadis gothic itu sambil mengulurkan tangan. “Adik Teteh ada di sebuah tempat. Dia lagi sakit parah.”
Jenie tak kuasa menahan air mata. Dipegangnya tangan gadis bertindik itu untuk menopang badannya yang lemas. Seakan mulutnya tidak kuat untuk mengeluarkan kata-kata.
“Sebaiknya kita ke sana sekarang, Teh. Kayaknya Lisa butuh Teteh.”
Tanpa membuang waktu, Jennie mengajak sekawanan anak-anak gothic tadi menaiki mobilnya. Setelah minum air putih dalam botol untuk memulihkan tenaga, Jennie pun langsung mengarahkan mobilnya ke tempat Lisa berada.
***
Ada banyak hal yang membuat Jennie terhenyak ketika mendapati Lisa dalam keadaan lemas tak berdaya. Bibirnya pucat, matanya kuyu dan seluruh badannya mengeluarkan keringat dingin. Dokter menyatakan bahwa Lisa terkena Hipoglikemia, karena ada kelainan pada kelenjar adrenal. Setelah tiga hari dirawat, kesehatan Lisa pun sudah berangsur pulih.
Lisa bercerita, setelah beberapa minggu orangtuanya meninggal, ia seperti kehilangan hasrat untuk hidup. Lisa seperti orang linglung yang tidak mempunyai semangat dan tujuan. Ditambah omongan orang-orang yang menuduhnya sebagai pembunuh, Lisa seakan ingin mengakhiri hidupnya saja. Dalam keadaan depresi, adiknya itu memutuskan untuk menemukan ajalnya di atas rel kereta api. Namun beberapa detik sebelum kereta itu menyambar, ia diselamatkan oleh seorang lelaki berpenampilan gothic. Akibat penyelamatan itu, lelaki yang bernama Mino tersebut mengalami robek pada sebelah kakinya, sementara Lisa jatuh pingsan.
Begitu sadar, Lisa sudah berada di kamar sebuah rumah yang kumuh. Tepatnya di belakang pasar dengan macam-macam bau yang menjalari udara. Namun di sana ia dirawat baik oleh seorang Ibu, yang ternyata adalah Ibunya Mino. Mino sendiri kakinya sudah dijahit di Puskesmas dengan alat ala kadarnya, namun lelaki itu meyakinkan Lisa supaya tidak khawatir.
Keesokan harinya Lisa ke sana untuk membawa makanan sebagai ucapan terima kasih. Tapi karena mereka sangat baik, Lisa seperti mempunyai keluarga baru. Terlebih ketika Mino mengenalkannya pada beberapa teman yang berpenampilan gothic. Ada Rose, Jisoo, Yoon dan Hoony. Lisa tidak tahu mengapa mereka berpenampilan seperti itu. Namun ia tidak peduli, karena di kala orang lain mencecarnya, mereka malah berbaik hati menghibur Lisa ketika ia bercerita tentang kejadian tragis yang menimpa kedua orangtuanya.
Lisa belajar satu hal, untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya saja. Orang-orang ini, meskipun tinggal di daerah kumuh, mereka tetap semangat bekerja keras seharian untuk mendapat makan, membantu sesama yang membutuhkan, solid, dan tidak pernah mengeluh. Itulah mengapa Lisa akhirnya memutuskan untuk berpenampilan seperti mereka, karena menurutnya penampilan tidak menentukan sifat baik seseorang. Lagi pula, menurut Jisoo, mereka berpenampilan seperti itu supaya orang-orang tidak berani macam-macam dengan mereka.
“Terus buat apa kamu minta uang sepuluh juta?” tanya Jennie yang sedari tadi air matanya berlinang.
“Aku pengin membalas kebaikan temen-temenku di sini. Seenggaknya, uang itu cukup untuk modal mereka kerja. Daripada ngamen panas-panasan, lebih baik temen-temen cewek aku di sini jual makanan aja. Mino juga butuh gitar, karena katanya dia ga bisa lepas dari ngamen. Selama ini gitar yang dia pake itu pinjam dari temannya, jadi hasil dia ngamen harus dibagi.”
Jennie memeluk Lisa begitu erat. Bersyukur adiknya masih hidup hingga sekarang, sekaligus menyesal karena selama ini ia sudah menuduh yang bukan-bukan.
“Maafin Teteh, ya. Teteh janji ga akan nuduh macem-macem lagi. Teteh cuman khawatir aja sama kamu, ga mau kalo kamu terus-terusan jadi bahan omongan tetangga.”
“Iya, aku juga minta maaf karena selalu ngelawan teteh. Aku lagi kesel dan teteh selalu jadi pelampiasan, padahal harusnya aku langsung aja marahin orang-orang itu, terutama si Mbak Minzy.”
Jennie tertawa singkat. “Kayaknya keinginan kamu yang satu itu ga bakalan terkabul. Soalnya si Mbak Minzy udah pulang kampung. Rumahnya disita gara-gara dia pinjem uang ke rentenir dan ga bayar-bayar.”
“Oya?” Lisa membesarkan matanya. “Teh, aku dosa ga, sih, kalo ketawain dia?”
Jennie sendiri sudah tertawa lebih dulu sambil menggelengkan kepalanya. “Teteh tahu kalo berita ini bisa jadi kabar gembira buat kamu.”
Mereka pun terbahak hingga merasa puas.