Good Looking Membawa Berkah
Endina Artha
Kenalin, nama gue Yoon Sanha. Panggil aja Sanha. Kenapa depannya pakai Yoon? Mana gue tahu, gue kan tempe. Enggak. Canda, Sayang.
Kalau kata emak gue dulu, sih, gara-gara dia ngefans sama Yuni Shara, makanya dikasih nama kayak gitu. Nah, terus hubungannya apa? Sama sekali enggak ada hubungan. Kayak hubungan yang baca sama doi–yang belum pernah di-notice sampai sekarang. Kasihan, sih. Tapi rela bagi-bagi?
Oke, skip.
Ada yang tanya, kenapa enggak dinamain Soo Sanha aja? Ya, entar gue makan kembang dong, Beb. Gimana, sih. Sambil bilang, “Bang, satenya seratus tusuk, Bang.”
Gue sekarang lagi duduk di sebuah depot bakso Mang Agung Jinjja Pedas yang gedenya setara dosa-dosa mantan sambil menyeruput es teh manis yang manisnya masih kalah sama senyuman gue. Dinaungi terpal biru bolong-bolong, serta angin kota yang penuh polusi dan beban hidup kayak yang baca.
“Mas, geser dikit, dong.”
Terpaksa gue menyingkir sedikit begitu ada ibu-ibu bunting lagi ikut antre bakso. Di punggungnya ada seonggok daging dalam gendongan yang gerak-gerak sambil lihatin gue. Barangkali terpukau.
Alasan gue duduk di sini, sementara tas punggung yang rada kumal nangkring di kursi plastik adalah dalam rangka menstabilkan degradasi isi dompet yang kian menipis. Singkatnya, gue sedang merantau biar agak berguna jadi manusia.
Biar gue ceritain sedikit.
Jadi, begini ....
Nah, paham, ‘kan?
Apaan?!
Oke, ulang. Jadi, begini ....
Beberapa bulan lalu, gue baru aja melaksanakan wisuda program diploma di salah satu universitas negeri di Jawa Timur. Senang, enggak? Ya ... sejauh yang gue rasain, sih, cuma orang tua sama kakak gue yang senang. Gue sendiri malah merasa terbebani. Bahkan di foto wisuda, wajah gue udah kayak orang nahan berak yang banyak utang.
Mungkin alasannya emang lawas dan hampir kedaluwarsa, tapi gue emang udah salah jurusan sejak awal. Emak pengin gue jadi guru, kakak pengin gue jadi apa yang emak penginin. Ya, intinya sama aja. Mereka pengin gue jadi guru. Titik. Koma juga boleh.
Bisa bayangin gimana populernya gue nanti kalau beneran jadi guru.
Padahal dalam sel DNA terdalam, gue pengin jadi pelukis sekelas Van Gogh, Pablo Picasso, Claude Monet, dan kawan-kawan. Gue udah punya rencana buat masuk ke jurusan seni rupa murni, tapi entah kenapa malah nyasar ke teknik, dan lagi-lagi, itu sempat menimbulkan pertentangan keras dari emak yang anaknya harus kudu wajib banget berseragam PNS ala-ala, nantinya.
Ya, gini, deh. Entar gue takut bukannya mengemban tanggung jawab dengan semestinya, malah mangkir dan nangkring asoy di warung sambil nyeruput kopi. Makan gaji buta, dong, gue. Berdosa banget, dong, gue. Kamu jangan solikin! Solikin, solikin, Soimah!
“Mas, baksonya bayar dulu, Mas.”
Gue melirik Mang Agung sambil berusaha menghabiskan sisa es teh manis sebelum keselek dramatis. Bisa-bisanya ganggu di saat gue sedang mengenang secuil kenangan pahit.
Jadi, beginilah nasib gue sekarang. Gara-gara nyasar jurusan, gue bahkan enggak tahu bakal melangkah kayak gimana. Ngelamar kerja sana-sini ditolak matang-matang. CV gue udah bertebaran di seluruh pelosok negeri, tapi tetap aja, enggak ada yang nyangkut satu pun. Miris banget hidup gue. Apakah gue mesti jadi Ironman dulu biar diterima kerja? Apa gue ikut trainee aja biar debut kayak oppa-oppa yang biasa ditonton kakak gue sambil senyum-senyum kayak habis gajian?
Sehabis membayar, gue langsung cari ojek buat diantar ke tempat walk in interview yang diadakan oleh sebuah perusahaan yang satu server sama jurusan gue. Dibilang minat, sih, kalau gue boleh bohong, sebenarnya enggak minat-minat amat. Cuma balik lagi, gue merasa enggak enak kalau terus-terusan setor gizi ke kutu setiap hari. Meskipun emak bisa maklumin, tapi, hei! Harga diri gue sebagai seorang cowok juga ingin berjuang sampai titik darah pendonoran. Mana tetangga samping rumah udah mulai bergerilya menyuarakan berbagai spekulasi tentang gue. Udah bisulan, pengangguran lagi.
Bruk!
“Oalah, Mas! Mbok yo hati-hati ngono, lho, kalau jalan.”
Mampus. Logat Jawa medhok gue keluar tanpa tahu malu. Mana banyak pasang mata yang ngelihatin lagi. Yang pasti, sekarang orang-orang udah pada mikir kalau wajah sama logat bicara gue enggak sinkron. Cocok jadi sasaran copet, nih.
Nah, loh? Ketahuan, kan, kalau gue bukan nagh gawl Jekardah yang literally hits abis.
Emang, sih, tampang gue udah mendukung banget kayak tim sukses partai politik. Which is cocok lah jadi pemain sinetron sambil bawa motor gede dan pakai helm fullface. Emak gue pasti bakal bangga karena gue bisa masuk TV.
“Eh, aduh. Maaf, Mas. Saya teh nggak sengaja,” kata bapak-bapak yang tadi nabrak gue. Kumisnya yang tipis kayak isi dompet ikut bergerak ke atas saat bibirnya senyum sambil bantuin gue beresin barang-barang.
“Ndak apa-apa, Mas. Wong masnya juga ndak sengaja.”
Gue terdiam sebentar sambil meresapi kalimat yang baru aja keluar dari mulut ganteng gue. Kalau lama entar dikira nahan kentut.
Woy! Bisa jelasin, enggak, kenapa gue malah keterusan ngomong kayak gini?!
Bukannya gimana-gimana, nih. Tapi ini adalah salah satu trik gue buat membaur ke lingkungan yang bukan asal gue demi menghindari hal-hal yang diinginkan. Diinginkan pencopet dan semacamnya, maksudnya.
Terserah mau percaya atau enggak, tapi emang itu yang gue lakuin selama ini. Makanya, jangan heran kalau gue pakai lo-gue sepanjang jalan kenangan, kita s’lalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenang–
Lah?
Gue meraba-raba saku celana, tas, kaus kaki, kaus kutang, kemeja, kerongkongan, rongga dada, dan lain-lain.
Seketika itu, gue tersadar. Wajah gue langsung pucat.
“WOY! MALING DOMPET GUE YA LO?!”
Dan, ya, orang itu udah lari duluan ngalahin Rembo milik Tok Dalang.
Apes banget gue hari ini. Udah pengangguran, sekarang malah kecopetan. Untung ganteng. Setidaknya, itu bisa gue jadiin modal buat ngemper atau ngamen di perempatan jalan. T-tapi ya enggak gini juga. Gue belum siap kelaparan di kota orang, apalagi jadi gembel. Plis lah, setidaknya bilang dulu kalau mau copet, biar gue bisa sedia jas hujan sebelum disiram.
Karena enggak punya duit sepeser pun, gue memutuskan buat jalan kaki aja sampai jempor ke tempat interview. Lama, sih, tapi ya udahlah. Mulai aja dulu.
Sekitar setengah jalan–gue enggak yakin, sih, udah sampai mana, gue lihat kerumunan kayak lagi ngadain syuting gitu. Ada beberapa orang yang badannya tambun sedang ngobrol serius sama seorang cowok yang kinclong dan glowing. Gue bisa pastiin kalau itu salah satu artisnya.
“Ya, masa gue disuruh nyemplung ke got, sih? Nggak mungkin. Ini nggak adil!”
Lamat-lamat gue bisa dengar si artis protes ke orang tambun yang gue duga adalah sutradara. Dih. Apaan, tuh. Masa cowok enggak berani nyemplung got? Cupu banget!
Cukup lama gue diam di sana sambil nonton drama gratis secara langsung. Harusnya ada popcorn, nih.
“Eh, Mas!”
Gue tolah-toleh.
“Iya, kamu yang tolah-toleh kayak orang ilang!”
Wah, asem juga ya mulutnya. Dibilang orang hilang gue. Mana ada orang hilang seberkilau gue?
Akhirnya, dengan seperempat hati gue samperin orang-orang yang tadi manggil gue. Begitu sampai, gue langsung dirangkul sok akrab sama orang tambun yang setelah dibuka topinya, matahari mendadak ada dua. Silau, man!
“Nah, ini nih. Pas kalau buat jadi peran pengganti gue,” ujar si artis kegirangan. Apa-apaan, nih, maksudnya?
Membaca raut tak mengerti sekaligus tak terima dari wajah gue, si sutradara langsung tertawa. Tangannya yang jempol semua menepuk pundak gue dua kali.
“Kami minta tolong sama kamu buat jadi pemeran pengganti satu adegan.”
Gue langsung melotot enggak santai. Si sutradara buru-buru menambahkan, “Tenang aja, entar bakal dapat imbalan cuan, kok. Gimana?”
Mata gue enggak jadi melotot. Mendengar kata cuan membuat sanubari gue terketuk hingga lapisan terdalam. Mendadak gue bisa melihat ada cahaya Ilahi yang merangsek, menyinari atas kepala gue. Semriwing, semriwing, semriwing.
Tanpa aba-aba, langsung gue setujui aja tawaran itu. Enggak apa-apa, deh, kudu nyemplung got. Yang penting gue enggak gembel-gembel amat.
Detik berikutnya, gue langsung menyesali keputusan yang udah gue ambil. Ya, gimana enggak? Gue harus take adegan berulang kali sampai bau got udah meresap sempurna hingga ke lapisan hipodermis. Rusak sudah ketampanan surgawi gue!
Pada percobaan ke-50, gue baru bisa bernapas lega karena akhirnya kelar juga. Sumpah, deh, masih wangian pas gue enggak mandi berhari-hari daripada nyemplung ke sini. Rasanya, ah ... mantap!
“Makasih banyak ya, Mas. Saya suka sekali. Hasilnya memuaskan,” katanya sambil tersenyum semringah. Ya, iyalah, memuaskan. Orang take-nya aja sampai lima puluh kali. Untung aja kemurkaan gue langsung reda ketika lembar-lembar kehidupan diberikan kepada gue sebagai imbalan. Mata gue langsung berbinar lebay.
Oh, jadi begini rasanya uang hasil kerja keras sendiri.
Sehabis meninggalkan lokasi syuting itu, gue langsung cari ojek. Setengah jam lagi gue bisa telat kalau enggak cepat-cepat. Tentu aja gue udah ganti baju dan menyucikan diri dulu. Entar dikira gembel beneran saking baunya.
***
Gue menghela napas gugup ketika bangunan tinggi berlantai lebih dari sepuluh itu terpampang jelas. Padahal ini bukan akad, tapi deg-degannya udah kayak ketemu calon ibu dari anak-anak tetanggaku.
Di sini gue disambut bapak-bapak sekuriti berbadan kekar. Senyumnya kaku kayak lagi audisi. Gue cuma diam aja sampai gue ketemu mbak-mbak resepsionis istri-able yang ngantar gue ke ruang wawancara. Gue udah hampir putar balik karena lihat pelamar kerja yang kayak lagi antre sembako. Buset, dah. Ini kapan kelarnya?
Butuh waktu lebih dari tiga jam gue nunggu. Perut udah dangdutan aja. Mana keringat gue baunya naudzubillah lagi. Untung aja, setelah itu nama gue dipanggil. Ya, iyalah. Gue kan pelamar terakhir yang tersisa.
“Saudara Yoon Sanha.”
Gue merapikan pakaian sebentar, lalu menyemprotkan parfum secukupnya biar yang wawancara gue enggak meninggal mendadak. Dalam sesi wawancara ini, sih, enggak ada yang spesial. Yang spesial mah cuma kamu. Eaaa.
“Oh, belum ada pengalaman kerja, ternyata. Udah usia segini padahal. Ngapain aja kamu?” tanya seorang pria yang–setelah gue baca name tag-nya–bernama Shindong. Kacamata tanpa kaca yang dia pakai diturunin sedikit sambil mandang wajah gue dengan pandangan merendahkan. Perawakannya gede. Kalau buat gampar gue udah pasti langsung remuk kayak ayam geprek.
Paling sering, nih, ditanya pertanyaan kayak di atas. Rasanya pengin gue cabutin aja ubannya sampai botak. Ya gimana mau punya pengalaman kalau diterima kerja aja enggak pernah. Gue tuh udah hampir putus asa. Udah berusaha semaksimal yang gue bisa sambil memanjatkan doa makan setiap saat, tapi hasilnya tetap sama. Entah emang apes, atau emang belum rezeki aja.
“Main Among Us, Pak,” balas gue asal. Minat dan respek gue udah hilang gara-gara cara mandangnya kayak gitu. Bodo amat dibilang baperan. Gue udah capek. Hayati lelah.
Dan, yah, seperti yang bisa diperkirakan. Lamaran kerja gue kali ini sama apesnya seperti lamaran-lamaran gue yang sebelumnya. Gue udah jauh-jauh ke kota, dan masih belum dapat apa-apa. Ini menandakan bahwa wajah blasteran surga gue enggak punya pengaruh banyak.
Kok bisa, sih? Padahal gue udah teramat sangat good looking. Dilihat dari kaki gunung Everest pun pasti kelihatan. Kelihatan enggak masuk akalnya.
Gue memutuskan buat balik dengan tangan kosong. Kalau bawa apa-apa entar digebukin masa, dong. Dikira jambret.
Habis ini, rencananya gue mau langsung pulang. Uang cuma ada sedikit hasil dari nyemplung got berkali-kali tadi siang. Mendadak gue kangen sama dompet gue. Emang tipis, sih, dan isinya cuma bon doang. Setidaknya masih ada isinya. Enggak kayak hati gue yang melompong.
Tarik, sis! Semongko!
Itu suara dering HP gue. Enggak usah pakai nada kalau baca.
Kening gue agak mengkerut lantaran ada nomor asing yang tiba-tiba nelepon gue. Gue udah celingukan ke sana kemari. Takut-takut kalau ada yang berencana nyulik wajah unyu gue.
“Halo? Dengan siapa, di mana?”
“Dengan Jefri di Bekasi.”
“Password-nya?”
“Luwak black kof–Heh! Kok malah kuis, sih, Mas. Saya serius, nih!” Suara di seberang sana malah maki-maki gue. Salah gue apa coba?
“Jangan serius-serius lah. Jalan aja dulu.” Setelah gue jawab begini, mas-masnya ganti misuh-misuh. Sepertinya saking gemasnya sama gue. Iya, iya, bentar lagi gue bakal ngadain fanmeeting, kok. Tenang aja.
“Dengan Mas Sanha, betul?” tanyanya setelah beberapa detik meributkan diri.
“Iya, betul.”
“Saya yang tadi bantuin pak sutradara buat take adegan di got.” Gue mencoba mengingat-ingat meskipun sebetulnya udah ingat, lalu angguk-angguk kepala tanpa sadar.
“Katanya dia berminat buat rekrut masnya jadi pemeran tambahan di sinetron terbarunya nanti. Gimana, Mas? Kalau mau, langsung aja ke lokasi siang tadi buat ....”
Belum selesai orang itu ngomong, gue udah jatuhin HP gue dengan efek slow motion sinematik ala-ala. Mata gue berkaca-kaca. Ingus gue udah meler duluan. Tuhan itu emang benar-benar Maha Adil. Jadi makin saranghae, deh.
Dengan segala perasaan yang menggebu-gebu, gue langsung cari ojek dan meluncur ke lokasi syuting. Enggak bakal gue sia-siain kesempatan berharga ini.
Emak! Anakmu yang paling glowing dan good looking ini bakal masuk TV!
TAMAT
Kenalin, nama gue Yoon Sanha. Panggil aja Sanha. Kenapa depannya pakai Yoon? Mana gue tahu, gue kan tempe. Enggak. Canda, Sayang.
Kalau kata emak gue dulu, sih, gara-gara dia ngefans sama Yuni Shara, makanya dikasih nama kayak gitu. Nah, terus hubungannya apa? Sama sekali enggak ada hubungan. Kayak hubungan yang baca sama doi–yang belum pernah di-notice sampai sekarang. Kasihan, sih. Tapi rela bagi-bagi?
Oke, skip.
Ada yang tanya, kenapa enggak dinamain Soo Sanha aja? Ya, entar gue makan kembang dong, Beb. Gimana, sih. Sambil bilang, “Bang, satenya seratus tusuk, Bang.”
Gue sekarang lagi duduk di sebuah depot bakso Mang Agung Jinjja Pedas yang gedenya setara dosa-dosa mantan sambil menyeruput es teh manis yang manisnya masih kalah sama senyuman gue. Dinaungi terpal biru bolong-bolong, serta angin kota yang penuh polusi dan beban hidup kayak yang baca.
“Mas, geser dikit, dong.”
Terpaksa gue menyingkir sedikit begitu ada ibu-ibu bunting lagi ikut antre bakso. Di punggungnya ada seonggok daging dalam gendongan yang gerak-gerak sambil lihatin gue. Barangkali terpukau.
Alasan gue duduk di sini, sementara tas punggung yang rada kumal nangkring di kursi plastik adalah dalam rangka menstabilkan degradasi isi dompet yang kian menipis. Singkatnya, gue sedang merantau biar agak berguna jadi manusia.
Biar gue ceritain sedikit.
Jadi, begini ....
Nah, paham, ‘kan?
Apaan?!
Oke, ulang. Jadi, begini ....
Beberapa bulan lalu, gue baru aja melaksanakan wisuda program diploma di salah satu universitas negeri di Jawa Timur. Senang, enggak? Ya ... sejauh yang gue rasain, sih, cuma orang tua sama kakak gue yang senang. Gue sendiri malah merasa terbebani. Bahkan di foto wisuda, wajah gue udah kayak orang nahan berak yang banyak utang.
Mungkin alasannya emang lawas dan hampir kedaluwarsa, tapi gue emang udah salah jurusan sejak awal. Emak pengin gue jadi guru, kakak pengin gue jadi apa yang emak penginin. Ya, intinya sama aja. Mereka pengin gue jadi guru. Titik. Koma juga boleh.
Bisa bayangin gimana populernya gue nanti kalau beneran jadi guru.
Padahal dalam sel DNA terdalam, gue pengin jadi pelukis sekelas Van Gogh, Pablo Picasso, Claude Monet, dan kawan-kawan. Gue udah punya rencana buat masuk ke jurusan seni rupa murni, tapi entah kenapa malah nyasar ke teknik, dan lagi-lagi, itu sempat menimbulkan pertentangan keras dari emak yang anaknya harus kudu wajib banget berseragam PNS ala-ala, nantinya.
Ya, gini, deh. Entar gue takut bukannya mengemban tanggung jawab dengan semestinya, malah mangkir dan nangkring asoy di warung sambil nyeruput kopi. Makan gaji buta, dong, gue. Berdosa banget, dong, gue. Kamu jangan solikin! Solikin, solikin, Soimah!
“Mas, baksonya bayar dulu, Mas.”
Gue melirik Mang Agung sambil berusaha menghabiskan sisa es teh manis sebelum keselek dramatis. Bisa-bisanya ganggu di saat gue sedang mengenang secuil kenangan pahit.
Jadi, beginilah nasib gue sekarang. Gara-gara nyasar jurusan, gue bahkan enggak tahu bakal melangkah kayak gimana. Ngelamar kerja sana-sini ditolak matang-matang. CV gue udah bertebaran di seluruh pelosok negeri, tapi tetap aja, enggak ada yang nyangkut satu pun. Miris banget hidup gue. Apakah gue mesti jadi Ironman dulu biar diterima kerja? Apa gue ikut trainee aja biar debut kayak oppa-oppa yang biasa ditonton kakak gue sambil senyum-senyum kayak habis gajian?
Sehabis membayar, gue langsung cari ojek buat diantar ke tempat walk in interview yang diadakan oleh sebuah perusahaan yang satu server sama jurusan gue. Dibilang minat, sih, kalau gue boleh bohong, sebenarnya enggak minat-minat amat. Cuma balik lagi, gue merasa enggak enak kalau terus-terusan setor gizi ke kutu setiap hari. Meskipun emak bisa maklumin, tapi, hei! Harga diri gue sebagai seorang cowok juga ingin berjuang sampai titik darah pendonoran. Mana tetangga samping rumah udah mulai bergerilya menyuarakan berbagai spekulasi tentang gue. Udah bisulan, pengangguran lagi.
Bruk!
“Oalah, Mas! Mbok yo hati-hati ngono, lho, kalau jalan.”
Mampus. Logat Jawa medhok gue keluar tanpa tahu malu. Mana banyak pasang mata yang ngelihatin lagi. Yang pasti, sekarang orang-orang udah pada mikir kalau wajah sama logat bicara gue enggak sinkron. Cocok jadi sasaran copet, nih.
Nah, loh? Ketahuan, kan, kalau gue bukan nagh gawl Jekardah yang literally hits abis.
Emang, sih, tampang gue udah mendukung banget kayak tim sukses partai politik. Which is cocok lah jadi pemain sinetron sambil bawa motor gede dan pakai helm fullface. Emak gue pasti bakal bangga karena gue bisa masuk TV.
“Eh, aduh. Maaf, Mas. Saya teh nggak sengaja,” kata bapak-bapak yang tadi nabrak gue. Kumisnya yang tipis kayak isi dompet ikut bergerak ke atas saat bibirnya senyum sambil bantuin gue beresin barang-barang.
“Ndak apa-apa, Mas. Wong masnya juga ndak sengaja.”
Gue terdiam sebentar sambil meresapi kalimat yang baru aja keluar dari mulut ganteng gue. Kalau lama entar dikira nahan kentut.
Woy! Bisa jelasin, enggak, kenapa gue malah keterusan ngomong kayak gini?!
Bukannya gimana-gimana, nih. Tapi ini adalah salah satu trik gue buat membaur ke lingkungan yang bukan asal gue demi menghindari hal-hal yang diinginkan. Diinginkan pencopet dan semacamnya, maksudnya.
Terserah mau percaya atau enggak, tapi emang itu yang gue lakuin selama ini. Makanya, jangan heran kalau gue pakai lo-gue sepanjang jalan kenangan, kita s’lalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenang–
Lah?
Gue meraba-raba saku celana, tas, kaus kaki, kaus kutang, kemeja, kerongkongan, rongga dada, dan lain-lain.
Seketika itu, gue tersadar. Wajah gue langsung pucat.
“WOY! MALING DOMPET GUE YA LO?!”
Dan, ya, orang itu udah lari duluan ngalahin Rembo milik Tok Dalang.
Apes banget gue hari ini. Udah pengangguran, sekarang malah kecopetan. Untung ganteng. Setidaknya, itu bisa gue jadiin modal buat ngemper atau ngamen di perempatan jalan. T-tapi ya enggak gini juga. Gue belum siap kelaparan di kota orang, apalagi jadi gembel. Plis lah, setidaknya bilang dulu kalau mau copet, biar gue bisa sedia jas hujan sebelum disiram.
Karena enggak punya duit sepeser pun, gue memutuskan buat jalan kaki aja sampai jempor ke tempat interview. Lama, sih, tapi ya udahlah. Mulai aja dulu.
Sekitar setengah jalan–gue enggak yakin, sih, udah sampai mana, gue lihat kerumunan kayak lagi ngadain syuting gitu. Ada beberapa orang yang badannya tambun sedang ngobrol serius sama seorang cowok yang kinclong dan glowing. Gue bisa pastiin kalau itu salah satu artisnya.
“Ya, masa gue disuruh nyemplung ke got, sih? Nggak mungkin. Ini nggak adil!”
Lamat-lamat gue bisa dengar si artis protes ke orang tambun yang gue duga adalah sutradara. Dih. Apaan, tuh. Masa cowok enggak berani nyemplung got? Cupu banget!
Cukup lama gue diam di sana sambil nonton drama gratis secara langsung. Harusnya ada popcorn, nih.
“Eh, Mas!”
Gue tolah-toleh.
“Iya, kamu yang tolah-toleh kayak orang ilang!”
Wah, asem juga ya mulutnya. Dibilang orang hilang gue. Mana ada orang hilang seberkilau gue?
Akhirnya, dengan seperempat hati gue samperin orang-orang yang tadi manggil gue. Begitu sampai, gue langsung dirangkul sok akrab sama orang tambun yang setelah dibuka topinya, matahari mendadak ada dua. Silau, man!
“Nah, ini nih. Pas kalau buat jadi peran pengganti gue,” ujar si artis kegirangan. Apa-apaan, nih, maksudnya?
Membaca raut tak mengerti sekaligus tak terima dari wajah gue, si sutradara langsung tertawa. Tangannya yang jempol semua menepuk pundak gue dua kali.
“Kami minta tolong sama kamu buat jadi pemeran pengganti satu adegan.”
Gue langsung melotot enggak santai. Si sutradara buru-buru menambahkan, “Tenang aja, entar bakal dapat imbalan cuan, kok. Gimana?”
Mata gue enggak jadi melotot. Mendengar kata cuan membuat sanubari gue terketuk hingga lapisan terdalam. Mendadak gue bisa melihat ada cahaya Ilahi yang merangsek, menyinari atas kepala gue. Semriwing, semriwing, semriwing.
Tanpa aba-aba, langsung gue setujui aja tawaran itu. Enggak apa-apa, deh, kudu nyemplung got. Yang penting gue enggak gembel-gembel amat.
Detik berikutnya, gue langsung menyesali keputusan yang udah gue ambil. Ya, gimana enggak? Gue harus take adegan berulang kali sampai bau got udah meresap sempurna hingga ke lapisan hipodermis. Rusak sudah ketampanan surgawi gue!
Pada percobaan ke-50, gue baru bisa bernapas lega karena akhirnya kelar juga. Sumpah, deh, masih wangian pas gue enggak mandi berhari-hari daripada nyemplung ke sini. Rasanya, ah ... mantap!
“Makasih banyak ya, Mas. Saya suka sekali. Hasilnya memuaskan,” katanya sambil tersenyum semringah. Ya, iyalah, memuaskan. Orang take-nya aja sampai lima puluh kali. Untung aja kemurkaan gue langsung reda ketika lembar-lembar kehidupan diberikan kepada gue sebagai imbalan. Mata gue langsung berbinar lebay.
Oh, jadi begini rasanya uang hasil kerja keras sendiri.
Sehabis meninggalkan lokasi syuting itu, gue langsung cari ojek. Setengah jam lagi gue bisa telat kalau enggak cepat-cepat. Tentu aja gue udah ganti baju dan menyucikan diri dulu. Entar dikira gembel beneran saking baunya.
***
Gue menghela napas gugup ketika bangunan tinggi berlantai lebih dari sepuluh itu terpampang jelas. Padahal ini bukan akad, tapi deg-degannya udah kayak ketemu calon ibu dari anak-anak tetanggaku.
Di sini gue disambut bapak-bapak sekuriti berbadan kekar. Senyumnya kaku kayak lagi audisi. Gue cuma diam aja sampai gue ketemu mbak-mbak resepsionis istri-able yang ngantar gue ke ruang wawancara. Gue udah hampir putar balik karena lihat pelamar kerja yang kayak lagi antre sembako. Buset, dah. Ini kapan kelarnya?
Butuh waktu lebih dari tiga jam gue nunggu. Perut udah dangdutan aja. Mana keringat gue baunya naudzubillah lagi. Untung aja, setelah itu nama gue dipanggil. Ya, iyalah. Gue kan pelamar terakhir yang tersisa.
“Saudara Yoon Sanha.”
Gue merapikan pakaian sebentar, lalu menyemprotkan parfum secukupnya biar yang wawancara gue enggak meninggal mendadak. Dalam sesi wawancara ini, sih, enggak ada yang spesial. Yang spesial mah cuma kamu. Eaaa.
“Oh, belum ada pengalaman kerja, ternyata. Udah usia segini padahal. Ngapain aja kamu?” tanya seorang pria yang–setelah gue baca name tag-nya–bernama Shindong. Kacamata tanpa kaca yang dia pakai diturunin sedikit sambil mandang wajah gue dengan pandangan merendahkan. Perawakannya gede. Kalau buat gampar gue udah pasti langsung remuk kayak ayam geprek.
Paling sering, nih, ditanya pertanyaan kayak di atas. Rasanya pengin gue cabutin aja ubannya sampai botak. Ya gimana mau punya pengalaman kalau diterima kerja aja enggak pernah. Gue tuh udah hampir putus asa. Udah berusaha semaksimal yang gue bisa sambil memanjatkan doa makan setiap saat, tapi hasilnya tetap sama. Entah emang apes, atau emang belum rezeki aja.
“Main Among Us, Pak,” balas gue asal. Minat dan respek gue udah hilang gara-gara cara mandangnya kayak gitu. Bodo amat dibilang baperan. Gue udah capek. Hayati lelah.
Dan, yah, seperti yang bisa diperkirakan. Lamaran kerja gue kali ini sama apesnya seperti lamaran-lamaran gue yang sebelumnya. Gue udah jauh-jauh ke kota, dan masih belum dapat apa-apa. Ini menandakan bahwa wajah blasteran surga gue enggak punya pengaruh banyak.
Kok bisa, sih? Padahal gue udah teramat sangat good looking. Dilihat dari kaki gunung Everest pun pasti kelihatan. Kelihatan enggak masuk akalnya.
Gue memutuskan buat balik dengan tangan kosong. Kalau bawa apa-apa entar digebukin masa, dong. Dikira jambret.
Habis ini, rencananya gue mau langsung pulang. Uang cuma ada sedikit hasil dari nyemplung got berkali-kali tadi siang. Mendadak gue kangen sama dompet gue. Emang tipis, sih, dan isinya cuma bon doang. Setidaknya masih ada isinya. Enggak kayak hati gue yang melompong.
Tarik, sis! Semongko!
Itu suara dering HP gue. Enggak usah pakai nada kalau baca.
Kening gue agak mengkerut lantaran ada nomor asing yang tiba-tiba nelepon gue. Gue udah celingukan ke sana kemari. Takut-takut kalau ada yang berencana nyulik wajah unyu gue.
“Halo? Dengan siapa, di mana?”
“Dengan Jefri di Bekasi.”
“Password-nya?”
“Luwak black kof–Heh! Kok malah kuis, sih, Mas. Saya serius, nih!” Suara di seberang sana malah maki-maki gue. Salah gue apa coba?
“Jangan serius-serius lah. Jalan aja dulu.” Setelah gue jawab begini, mas-masnya ganti misuh-misuh. Sepertinya saking gemasnya sama gue. Iya, iya, bentar lagi gue bakal ngadain fanmeeting, kok. Tenang aja.
“Dengan Mas Sanha, betul?” tanyanya setelah beberapa detik meributkan diri.
“Iya, betul.”
“Saya yang tadi bantuin pak sutradara buat take adegan di got.” Gue mencoba mengingat-ingat meskipun sebetulnya udah ingat, lalu angguk-angguk kepala tanpa sadar.
“Katanya dia berminat buat rekrut masnya jadi pemeran tambahan di sinetron terbarunya nanti. Gimana, Mas? Kalau mau, langsung aja ke lokasi siang tadi buat ....”
Belum selesai orang itu ngomong, gue udah jatuhin HP gue dengan efek slow motion sinematik ala-ala. Mata gue berkaca-kaca. Ingus gue udah meler duluan. Tuhan itu emang benar-benar Maha Adil. Jadi makin saranghae, deh.
Dengan segala perasaan yang menggebu-gebu, gue langsung cari ojek dan meluncur ke lokasi syuting. Enggak bakal gue sia-siain kesempatan berharga ini.
Emak! Anakmu yang paling glowing dan good looking ini bakal masuk TV!
TAMAT