Nay Adzilla duduk dengan bersemangat di dalam mobil keluarga Keanu yang melaju menuju bandara. Senyum tak pernah meninggalkan bibirnya sejak kemarin. Sejak ia mendengar kabar dari papanya kalau David Keanu akan kembali ke rumah dan melanjutkan sekolah di Indonesia setelah lima tahun tinggal di Inggris bersama neneknya. Nenek David—dari pihak ayah—meninggal tiga bulan yang lalu. Karena itu, Keanu, ayah David memutuskan bahwa David lebih baik pulang daripada harus tinggal sendiri di negara yang memiliki julukan The Black Country itu.
Akhirnyaaa....
Akhirnya, Nay bisa melihat lagi pujaan hati, jantung, dan paru-parunya yang—pasti bertambah—tampan itu. Rasa tak sabar untuk bertemu pun makin memuncak. Otak sintingnya mulai menduga-duga apa David juga sama excited dengannya, lalu cekikikan sendiri membayangkan kalau reaksi pemuda itu nanti akan tepat seperti dugaan.
Mendengar cekikikan Nay, Mala—ibunda David—menoleh. Perempuan itu tertawa melihat gadis yang sudah dianggap putrinya sendiri bertingkah menggemaskan. Siapa yang tidak gemas melihat binar-binar cemerlang dari mata dengan kedua pipi bersemu karena bahagia itu?
“Ciee, yang mau ketemu pangeraan,” goda Mala membuat Nay terkikik lagi.
“Mama Mertua tahu aja, deh, anaknya mirip pangeran.”
Mala tertawa kecil. Keanu yang sedari tadi sibuk menyetir pun terlihat menyungging senyum geli. Ia menyuarakan pernyataan, “Kamu gak berubah, ya, Nay, walau lima tahun gak ketemu David.”
“Ya nggaklah, Papa Mertua!” seru Nay yakin. “Seluruh hati, jiwa, raga, jasmani, rohani, mental, dan fisik Nay, kan, udah Nay kasih semua ke Kak David.”
“Iya, deh, iya.” Keanu menghentikan mobil, mereka sudah tiba di bandara.
Nay Adzilla melompat turun dari mobil itu dan berdiri di sebelah Mala. Keanu sendiri mengambil ponsel lalu menempelkannya di telinga. Lelaki itu berucap ‘halo’ yang efeknya dahsyat mengena pada Nay. Gadis itu sedang berusaha menenangkan jantungnya agar tidak gugup. Ia tidak boleh gugup di depan calon suami masa depannya!
“Kamu di mana, Dave? Papa udah nyampe di bandara.”
“....”
“Oke, Papa tunggu di tempat parkir, ya.”
“....”
Keanu menutup teleponnya. “Masih di toilet.”
Wah, pasti Kak David gugup mau ketemu gue. Makanya buang air kecil dulu, batin Nay narsis.
Beberapa menit kemudian David muncul dari arah kanan. Nay yang memang tolah-toleh sejak tadi langsung menyadari kedatangannya. Gadis itu mengguncang lengan Mala berlebihan, membuat Mala menggeleng-geleng kecil.
“Kak David dateng, Tanteee. Nay udah cantik belum?” Gadis itu heboh sendiri.
Mala tertawa dan hanya menganggukinya saja. “Cantik, kok.”
Langkah David memelan begitu netranya menangkap sosok papa dan mamanya. Kacamata hitam yang membuatnya terlihat keren di mata Nay ia lepas. Matanya yang dinaungi alis lebat menyipit diikuti langkah yang terhenti melihat sosok lain berdiri di sebelah mamanya. Sosok gadis yang bahkan di mimpi terburuknya pun tak pernah ia harapkan. Sosok gadis yang memiliki fisik mungil, sekilas rapuh, tapi nyatanya ....
“Kak Daviiiid!” teriak Nay sambil berlari merentangkan tangan ke arah David.
... mengerikan!
David yang menyeret koper melepas kopernya. Pemuda itu menahan napas, mendelik, dan melangkah mundur dengan tatapan horor melihat Nay hampir tiba di depannya. Pikirannya meminta ia lari, tapi itu ditepisnya. Tidak lucu kalau Nay mengejar-ngejarnya ala film India di bandara, kan? Hhh, apa Papa dan Mama tidak sadar bahwa mereka sudah membawa gadis gila untuk menjemputnya? David lebih memilih jalan kaki keluar dari bandara dan naik taksi kalau tahu gadis gila itu ikut menjemputnya.
“Setop!” David mengangkat tangannya, mencegah supaya Nay berhenti.
Nay otomatis berhenti. Matanya yang berbinar berkedip bingung. Bibirnya menekuk ke bawah, cemberut. David menghela napas lega karena gadis gila itu menuruti ucapannya. Namun, lima detik berselang, ia hampir terjungkal karena Nay menubruk tubuhnya dengan tiba-tiba. Kali ini ia melepas napas pasrah.
Nay yang hanya setinggi pundak David, menenggelamkan wajah di dada pemuda itu dan menghirup wanginya dalam-dalam. Ia hanya ingin memastikan apa yang dipeluknya benar-benar David atau bukan. Dari wangi parfum dan aroma tubuh yang membuat Nay ingin segera menyeretnya ke KUA, ia meyakini kalau itu David.
Benar. Hanya David yang memiliki detak jantung paling menyenangkan jika didengar. Nay mendongak dan tersenyum. Lihat, sorot mata tajam yang hanya tertuju padanya itu, cuma David yang memiliki. Hidung bak perosotan anak TK yang sewaktu kecil sering menjadi tempatnya bermain, juga hanya David yang punya.
Singkatnya, pemuda itu benar-benar David Keanu yang Nay rindukan setengah mati. Pemuda itu adalah Davidnya.
“Udah-udah! Apaan, sih, lo? Jauh-jauh dari gue.” David mendorong pundak Nay.
Nada ketus itu juga khas David. Nay tersenyum girang. Bibir tanpa senyum itu juga hanya milik David. Fix! Yang berdiri di depannya sekarang adalah pujaan hatinya!
David mengernyit. “Dasar cewek gila. Nih, bawa.” Ia menyerahkan kopernya pada Nay yang diterima gadis berhidung bangir plus tahi lalat di pelipis kiri itu dengan bahagia.
David tidak peduli kalau tindakannya memperdaya Nay. Toh, gadis itu senang-senang saja. Kewarasannya, kan, tinggal secuil. Kalau ia menyuruhnya melompat ke sumur juga pasti Nay lakukan.
David memeluk papanya, kemudian mamanya. “Dia kok dibiarin ikut, sih, Pa, Ma? Dave alergi tahu.”
“Ah, Kak David mah, sok gak mau sama Nay. Padahal, mau tapi malu, kan?” cetus Nay, lengannya menyenggol David dengan genit.
David bergidik. “Najis!”
Keanu mengulum senyum sedangkan Mala sudah tertawa. “Udah, ah. Ayo pulang.”
“Dave mau di depan!” seru David hendak membuka pintu di sebelah kemudi.
Namun, Nay lebih cepat meraih lengannya dan menggeleng-geleng. “Jangan gitu, Kak. Gak sopan nyerobot kursi orang tua. Kak David duduk sama Nay!” kata gadis berponi tipis di dahi itu setengah memaksa.
“Lo berani merintah gue?!” David memelotot. Itu malah menyenangkan bagi Nay yang menjawab dengan gelengan.
“Nggak, kok. Mana mungkin Nay berani merintah suami. Kak David salah paham, ih. Nay cuma bilang, Kak David duduknya di bela—”
“Bawel lo!” David duduk di jok belakang dengan kasar. Ya, ampun! Begini banget nasib gueee ....
Tiba di rumah David, Nay menyesal karena tidak bisa menempeli pemuda itu lebih lama. Padahal ia rindu. Semua karena Karina—saudara Papa—yang memanggilnya pulang. Di rumahnya hanya ada ia, Papa, dan Tante Karina. Sedangkan ibundanya telah meninggal karena kecelakaan tunggal. Karina sendiri tinggal di rumah itu karena bercerai dengan suaminya.
Nay segera berlari menyeberang jalan. Rumah mereka bertetangga, sih, berhadap-hadapan. Orangtua mereka bersahabat sejak SMA.
Melihat Nay pergi, David melepas napas lega.
“Kadev, lo pulang?” Kevin—adik David—bertanya dengan songong.
Kevin seumuran dengan Nay, mereka juga sekelas. David setahun di atas mereka. Kini usia David sudah menginjak delapan belas tahun.
David monoyor kepala adiknya yang memberi sambutan kurang ajar itu. “Gue gak pulang, lo juga yang nangis ke Mama gara-gara kangen.”
“Dih, ogah kangen sama manusia kejam macam lo. Si Cebol, tuh, yang ngangenin lo tiap hari.”
David langsung memasang wajah masam. Ia tahu pasti siapa si Cebol yang Kevin maksud. Lebih baik dirindukan adik kurang ajarnya daripada dirindukan gadis gila. Setidaknya Kevin lebih waras daripada Nay Adzilla.
Kevin mengekori David menuju kamar pemuda itu sambil merangkul pundaknya. “Gue serius kali, Kak. Cebol tiap hari datang ke sini buat ngeberesin kamar lo. Dia cinta mati kayaknya, deh, sama lo.”
“Kayaknya idup gue bakalan susah, deh, mulai sekarang,” keluh David sambil membuka pintu kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Kevin.
Kamar itu masih sama seperti saat sebelum David meninggalkannya. Semua barang tetap di tempat yang ia tetapkan, tidak bergeser sesenti pun. Bahkan buku-bukunya tetap dalam susunan yang sama seperti dalam ingatannya. Tirai jendela masih berwarna abu-abu senada dengan warna bed cover. Semuanya sama. Jika benar gadis gila itu yang membereskannya tiap hari, mungkin David harus berteri—ah, jangan. Kalau ia berterima kasih, nanti Nay besar kepala karena merasa berguna untuknya. Ujung-ujungnya ia juga yang susah.
“Wah, si Cebol calon istri idaman banget, ya, Kak!” celetuk Kevin membuat David mendengkus.
“Yang ada, cowok yang jadi suaminya bakalan ikut gila kayak dia. Udah, jangan ngomongin tuh cewek mulu, bantuin gue beresin nih baju dalem koper.”
“Ogah!” tolak Kevin seraya melangkah ke arah pintu. “Kalau mau, gue panggilin si Cebol buat beresin tuh baju-baju.”
“Lo manggil dia dan gue manggil malaikat maut buat beresin kalian berdua.”
Kevin mendengkus. Kakaknya itu kalau mengancam memang agak seram walau ancamannya konyol. Meski begitu, ia sangat menyayangi David dan sedikit kasihan pada pemuda itu mengingat kemungkinan hidupnya akan berombak mulai sekarang.
***