Getting Lost

Getting Lost

RooseLina

0

Syifa baru saja bersiap untuk pulang. Dari jendela ruang klub jurnalistik, ia bisa melihat seorang gadis berparas ayu sedang celingak-celinguk di depan pintu gerbang. Dari wajahnya, ia terlihat tidak sabar. Matanya berkali-kali mengecek jam tangannya. Rambutnya yang hitam lurus tergerai hingga ke bahu membingkai wajah cantiknya dengan sempurna.

Rena pasti lagi nungguin cowok anak BEM yang dulu itu lagi, kayaknya, Syifa membatin dalam hati, lalu kembali fokus pada kameranya dan menyimpannya hati-hati ke dalam tas.

Benar saja. Saat Rena kembali melirik ke arah jendela, tampak sosok pria berkemeja biru kotak-kotak menghampiri teman satu kosannya itu. Lelaki itu tersenyum lebar seraya menatap lekat sang pujaan hati penuh damba, sementara sang gadis terlihat salah tingkah.

Syifa kembali mengambil kameranya, tergoda untuk memotret momen manis itu. Dari lensa kameranya, mereka terlihat sedang terlibat pembicaraan serius. Awalnya, Syifa mengira kalau Rena akan pulang ke kosannya diantar cowok itu seperti biasa. Ternyata, mereka berpisah di depan gerbang setelah bercakap-cakap beberapa saat, diiringi tatapan mata Rena yang terus menatap lekat punggung pria itu sampai bayangannya menghilang.

"Kenapa cuma dilihatin dari jauh? Kok tadi nggak pulang bareng, aja?" tanya Syifa setibanya di pintu gerbang. Rena menoleh ke arah sahabatnya lalu tersenyum.

"Aku nungguin kamu, Fa. Ada hal penting yang perlu dibicarakan."

"Sepenting apa, sih? Sampai nungguin aku panas-panasan di pintu gerbang?" tanya Syifa heran dengan kening berkerut.

"Aku ... mmh ... diajak Fikar naik Gunung Gede ...," ucap Rena pelan.

"Oalah. Ngajak kencan kok jauh amat!" seru Syifa spontan. "Terus, apa masalahnya?"

"Aku mau ngajak kamu buat nemenin aku."

"Hah? Ngapain? Nanti aku jadi obat nyamuk, dong! Ngintilin orang pacaran. Ogah, ah!" tolak Syifa cepat. Malas banget nggak, sih, pergi menemani sahabat ke Gunung Gede? Naik gunung itu kan capek.

"Ih! Aku tuh nggak pacaran sama Fikar. Mana mungkin Fikar suka sama aku," ucap Rena pelan sambil menunduk. Ekspresi malu-malu di wajahnya berangsur menghilang. Aura sendu mulai membayang di wajahnya.

"Dih! Orang buta aja tau kali kalau Fikar tuh naksir berat sama kamu," tukas Syifa sambil menatap Rena yang masih menunduk. Rambut lurusnya menjuntai indah di sebelah kanan wajahnya, sementara rambut di sisi kiri wajahnya terselip rapi di belakang telinganya. Kabut kesedihan tetap tidak mampu menutup aura kecantikan yang terpancar. Syifa yakin sekali kalau Fikar tidak mungkin tidak jatuh cinta pada gadis seayu ini. Ia pun tidak habis pikir kenapa sahabatnya ini begitu tidak percaya diri. Memangnya apa sih, yang dia khawatirkan?

"Udah. Jangan sedih. Aku mau kok temenin kamu ke Gunung Gede," ucap Syifa tak tega melihat wajah mendung Rena. Setelah dipikir-pikir, toh ia bisa menemani Rena sambil hunting memotret fauna dan vegetasi di sepanjang jalur pendakian. Lumayan kan buat kepentingan content, Blognya sudah lama sekali tida diisi foto-foto yang unik dan ciamik.

"Jujur, aku tuh nggak habis pikir, loh. Ngapain sih si Fikar itu kok pake acara ngajak-ngajak kamu ke gunung? Jangan-jangan Fikar punya kejutan manis buat kamu?" tanya Syifa sambil menggoda Rena. Dengan sudut matanya, Syifa melihat kalau senyum Rena kali ini berbeda dari senyum biasanya. Hanya ujung bibir kirinya yang tertarik ke belakang, sementara sudut kanannya tidak. Menurutnya, senyum itu bermakna kalau Rena menganggap ucapannya itu konyol, walau cukup membuat gadis itu sedikit tersipu. Syifa pun sedikit lega melihat senyum janggal Rena, yang menurutnya tetap manis.

Sebenarnya, Syifa merasa heran kenapa Rena yang begitu cantik dan lembut kok mau-maunya diajak Fikar naik gunung. Kalau dilihat dari tampilan fisiknya, Rena jelas bukan potongan gadis yang suka hiking. Mungkin, seperti itulah kalau hati sudah dibutakan cinta.

Dua minggu setelah pembicaraan tentang ajakan pendakian, Syifa dan Rena akhirnya tiba di Stasiun Senen. Situasi di sana sangat ramai. Fikar sudah sampai lebih dulu. Lelaki itu terlihat sedang berbincang-bincang dengan seorang perempuan dan laki-laki. Begitu matanya bertemu dengan mata Rena, senyumnya langsung mengembang lebar dan ia pun bergegas menghampiri Rena.

“Hai, Rena! Ini pasti Syifa, ya?” ucap Fikar sambil menjabat tangan Syifa, lalu kembali menatap Rena lekat-lekat, seolah ada magnet tersembunyi yang melekat di wajah Rena.

“Kenalin, ini Najmu, dan ini Jovan,” lanjut Fikar sembari memperkenalkan kedua temannya. Rena menangkap sosok gadis manis berkerudung yang walaupun bersosok mungil, tapi terlihat tangguh dengan ransel tinggi di bahunya.

“Hai! Aku Jovan,” ucap pria bertubuh tinggi besar di sebelah Fikar. Syifa menahan napas begitu lelaki itu mengangsurkan tangannya, karena langsung tercium bau tak sedap dari bawah lengannya. Setelah beberapa saat, gadis itu balik memperkenalkan namanya dengan sopan.

“Mereka ini anggota Pencinta Alam di kampus kita dan sudah berkali-kali ikut kebut gunung di Gunung Gede. Jadi nggak usah khawatir, ya. Insya Allah perjalanan kita aman karena didampingi guide yang capable,” lanjut Fikar, yang ditanggapi dengan senyum lega dari Rena dan Syifa.

“Kamu pasti Rena, ya? Gadis yang sering dibicarakan Fikar?” sapa Jovan sambil menyambut uluran tangan perkenalan dari Rena dengan mata berbinar-binar. Sama halnya dengan Fikar, mata Jovan pun seolah tak sanggup lepas saat menatap lekat wajah cantik Rena.

“Coba, ya. Itu salamannya jangan kelamaan,” tegur Fikar sambil melepaskan tangan Jovan yang masih menggenggam erat tangan Rena.

Jovan mengulum senyum sambil melirik Fikar dan bersiap balas menggodanya. Belum sempat berkata-kata, terdengar suara pemberitahuan kedatangan kereta selanjutnya.

Karena kereta yang ditunggu belum datang, mereka duduk bersebelahan di kursi panjang. Syifa mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Di beberapa sudut, teriakan-teriakan nyaring dan lantang memecah pagi di pinggiran stasiun. Sekelompok orang saling memeluk haru karena kembali bertemu dengan lama atau kerabat. Syifa mengambil kameranya dan memotret hiruk-pikuk di stasiun pagi itu. Beberapa saat kemudian kameranya menangkap siluet Jovan dari samping sedang berdiri dekat tumpukan banyak koper. Matanya memandang liar ke sekitarnya seperti takut kepergok sedang berbuat sesuatu yang salah. Syifa mengerutkan keningnya karena heran, tapi jemarinya sigap merekam kejadian tersebut lewat kameranya. Saat sedang memeriksa hasil gambarnya, Najmu datang menghampiri Syifa dan duduk di sebelahnya.

“Hai, Syifa. Banyak orang bilang kamu jago motret, ya? Boleh lihat foto-fotonya?” tanya Najmu sambil sedikit menjulurkan kepalanya ke arah kamera. Syifa tertegun sebentar, lalu memutuskan untuk menutup ikon galeri foto di kameranya.

“Ah, saya baru belajar motret, kok. Yang jago tuh Kak Najmu. Masya Allah. Keren banget sering kebut Gunung Gede. Aku kagum banget, lo, sama Kakak,” puji Syifa tulus. Najmu hanya memasang raut wajah datar, seolah tidak terpengaruh dengan pujian dari Syifa.

Tak terasa kereta dengan tujuan Bogor tiba. Setelah naik kereta, perjalanan dilanjutkan dengan naik mobil angkutan umum menuju Cibodas. Mobil yang mereka naiki dipenuhi oleh ibu-ibu pedagang pasar lengkap dengan barang jualannya. Saat mobil melewati jalan yang berkelok-kelok, barang-barang belanjaan tersebut makin menghimpit para penumpang. Jovan yang berbadan besar menggerutu karena kepalanya terantuk buah durian.

Akhirnya, mobil berhenti saat mencapai pintu gerbang Taman Nasional Gunung Gede Panggrango. Fikar dan Jovan membantu para gadis menurunkan ransel-ransel besar yang ditaruh di atas mobil angkutan umum.

“Wah … segarnya ….” Jovan merenggangkan tangan lebar-lebar. Tak hanya itu, ia bahkan memejamkan mata sambil menghirup udara segar dan memenuhi dadanya dengan rakus. Fikar spontan merapatkan kedua tangan Jovan sambil berseru,“ Ketek lo bikin nambahin Polusi, Van!”

Jovan hanya meringis saat melihat ekspresi teman-temannya yang spontan langsung menutup hidung saat ia merenggangkan tangannya lebar-lebar.

Seluruh anggota tim memasuki area Pos TNGP. Sekilas, suasana sekitar terlihat masih sepi oleh para pendaki meskipun cuaca terlihat cerah. Kabut di jalanan sudah menghilang dihalau oleh sinar matahari yang hangat.

Jovan selaku orang yang sudah berpengalaman naik Gunung Gede sebelumnya memimpin timnya dan mendaftarkan teman-temannya di pos yang tersedia.

“Apa ada yang sudah naik, Pak?” Syifa mendengar Jovan berbincang sedikit dengan petugas di loket, sementara ia sendiri sedang menyiapkan berkas berupa fotokopi KTP dan sejumlah uang untuk pendaftaran.

“Baru Mas yang daftar pertama. Pendakian baru dibuka hari ini karena sejak kemarin cuaca kurang bagus.”

“Wah, berarti kami beruntung dong, karena hari ini pas buka.”

“Iya, Mas. Malah belum seminggu ini ada yang hilang dan belum ditemukan sampai hari ini.”

Syifa melihat ekspresi Jovan yang terperangah. Perasaannya mulai terasa tidak enak. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Jovan akan membatalkan atau menunda pendakian mereka hari ini.

“Kok bisa hilang, Pak? Setahu saya Gunung Gede adalah salah satu gunung yang ramah dengan pendaki,” ucap Jovan. Syifa bisa merasakan ada getar kekhawatiran tersirat pada nada suara Jovan.

“Kemungkinan sih mereka keluar dari jalur pendakian yang legal, Mas,” ucap si petugas singkat. Tak hanya Jovan, wajah Syifa pun berubah pias. Rasa takut dan khawatir mulai menyergap benaknya.

“Sekedar kembali mengecek, ya, Mas. Perlengkapan mendakinya lengkap, kan? Alat komunikasi juga bawa, kan?” Pertanyaan si Petugas pada Jovan membuyarkan lamunan Syifa. Dia tidak paham kategori lengkap itu seperti apa. Ia menoleh pada Najmu yang seperti biasa menunjukkan raut wajah datar. Akhirnya, Syifa memutuskan untuk duduk sebentar menenangkan diri.

Sekitar beberapa meter dari tempat Syifa duduk, ia melihat seorang nenek sedang menggendong anak kecil. Syifa langsung merinding saat mereka bersitatap, terlebih saat dilihatnya si Nenek sedang mengibas-kibaskan celurit ke arah rumput-rumput liar. Belum lagi wajah si Nenek yang terlihat sangat pucat dan penuh kerutan, sedangkan bagian dalam bibirnya berwarna sangat merah seolah habis minum darah.

Ah, mungkin nenek itu habis mengunyah sirih, batin Syifa sembari memalingkan wajahnya, berusaha mengusir kelebatan pikiran-pikiran buruk yang melintas. Lewat ujung matanya, Syifa melihat nenek itu bangkit dari duduknya lalu menggendong cucunya. Syifa sejenak mengerutkan keningnya heran, karena nenek itu sama sekali tidak terkesan keberatan dengan menggendong cucunya yang terlihat cukup berat. Saat Syifa membalikkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas ke arah nenek tersebut, ia merasa semakin heran karena nenek tersebut sudah tidak tampak lagi

Aneh. Nenek itu cepat sekali menghilangnya, batin Syifa.