Angin menerpa wajahku dengan kencang, menerbangkan rambut-rambutku hingga berantakan. Malam ini terasa lebih gelap, meski pun langit tidak menunjukkan awan mendung sama sekali. Suasana kelabunya sangat selaras dengan apa yang kurasakan, seolah memang inilah saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya.
Kakiku melangkah semakin mendekati bibir rooftop rumah sakit. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh begitu kusentuh beton penghalang, yang sekaligus menjadi satu-satunya sekat antara hidup dan matiku. Pemandangan dari atas amatlah menakjubkan, kerlipan cahaya dari pemukiman warga menjadi hamparan bak kunang-kunang yang yang tengah bersuka ria, indah. Untuk beberapa saat aku terdiam, bukan terlena pada cantiknya gemerlap lampu yang sudah menyerupai bintang, melainkan mencoba memantapkan diri untuk apa yang akan kulakukan selanjutnya.
Aku sudah mencoba beberapa kali, bukan hanya menyerah, tetapi juga bertahan. Aku benci ketika kurasa pilihan di antara keduanya selalu terasa salah. Suatu hari aku memilih untuk bertahan dan hari berikutnya memilih untuk menyerah, seperti hari ini.
Malam semakin larut, bulan semakin bersembunyi di balik awan kelam, kulirik pergelangan tanganku yang darah segarnya masih merembes membasahi perban putih. Aku gagal menyayat nadiku malam ini, namun mungkin akan berhasil menjatuhkan diri dari atas bangunan sembilan lantai ini, jatuh ke dasar hamparan kerlipan cahaya yang baru kukagumi beberapa saat tadi.
Aku takut mati, sungguh. Tapi entah mengapa lebih takut lagi untuk tetap hidup. Hanya saja aku lelah, hanya saja aku sakit, dan hanya saja aku ingin usai. Itu sebabnya kupilih untuk menaiki paksa beton setinggi dada itu.
"Shit!" Perlu bersusah payah untuk berhasil menaikinya, dan aku mengumpat sebab mengapa Tuhan masih saja memberikan penghalang saat tekadku untuk jatuh sudah bulat, seolah Dia senang mempermainkanku.
Kutendangi berkali-kali tumpukan semen keras itu, namun tidak peduli sebesar apa pun emosiku, tidak akan bisa meruntuhkannya. Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanya meluruhkan diri di lantai sambil menangis sesegukan.
Emosi dalam jiwaku bergemuruh. Marah, lelah, kecewa, semua menyerangku di saat yang sama. Menghujamku dari berbagai sisi hingga membuatku murka. Namun nyatanya semakin besar amarah, semakin menunjukkan seberapa lemah. Terbukti tubuhku bahkan terlalu ringkih untuk melewati beton pembatas dan justru berakhir tersungkur dalam tangis tak berujung.
Suara derap kaki yang bergerak cepat dan nyaring muncul tiba-tiba, aku terlalu tidak peduli untuk sekedar menoleh demi mengetahui siapa orang aneh lainnya yang mencoba mengunjungi atap rumah sakit pada tengah malam begini. Alhasil, yang kulakukan hanyalah tertunduk dan membiarkan seluruh air mataku terjun ke lantai sesuka hati.
Semakin dekat, derap langkah kaki itu memelan hingga akhirnya berhenti tepat di hadapanku. Kali ini napas terengahnyalah yang kudengar dengan jelas. Hening, seseorang terpaku, tak lagi bergerak melangkah. Mungkin orang itu terkejut melihat keberadaanku yang tengah bersimpuh, sayangnya tak ada sedikit pun kepedulian untuk menyeka air mata atau menyembunyikan kesedihanku di hadapannya. Namun, kemudian kaki dengan sepatu penuh bercak tanah itu bersila tepat di hadapanku. Hembusan napasnya yang keras bahkan menyapu poniku. Alhasil aku yang tertunduk pun mulai mengangkat kepala hingga tahu siapa gerangan yang ikut meluruhkan diri di lantai beton yang berdebu.
"Lo?" demi apa pun mata sembabku membola, sedang seseorang di depanku, yang masih menarik napasnya susah payah itu mengangkat sudut bibirnya samar. Seseorang itu adalah Bumantara Matheo. Kenangan masa lalu yang hilang begitu saja.
"Ya, ini gue."
Menatap kembali matanya setelah sekian lama berpisah, membuat sekujur tubuhku merinding, dejavu. Tanpa diminta otakku pun kembali memproses kejadian-kejadian di masa lalu, saat di mana Theo datang untuk pertama kalinya dalam hidupku, saat yang sama di mana kata menyerah menguasai hampir seluruh isi kepalaku, seperti saat ini.
Tiba-tiba tangisku kembali menderu. Dia pernah menyelamatkanku sekali, dan kali ini aku tidak mengharapkan penyelamatannya lagi. Maka, dengan lemah dan berpaling dari tatapannya, kepalaku menggeleng.
Bibir pucatnya kembali tersenyum. Theo meraih pergelangan tanganku yang terluka, mengusapnya perlahan yang entah mengapa memberikan efek lebih menyakitkan daripada ujung silet yang kugoreskan sendiri.
"Lo nggak perlu naik ke atas langit buat ikut bersanding sama bintang-bintang. Lo nggak perlu sedih udah memisahkan diri sendirian di bumi. Lo tahu? Lo sama bersinarnya kok kayak mereka, bahkan lebih indah."
Runtuh, jiwa dan ragaku runtuh saat itu juga.