Jalan Katineung nomor 16
Rumah bercat putih model lama itu terlihat mencolok dibanding rumah sekitarnya yang lebih sederhana. Ia memiliki pagar besi tinggi kombinasi kayu berwarna cokelat. Jika melongok ke dalam, bangunan kokoh itu juga memiliki jendela serta pintu besar dari kayu jati yang dicat pernis untuk memunculkan eksotisme serat kayu.
Siapa pun yang memiliki cita rasa tinggi tentang keindahan akan sepakat jika rumah yang berada di hook itu memberi kesan perpaduan kontras yang penuh harmonisasi, keselarasan warna netral dan alami.
Tunggu! Tak hanya itu, rumah yang sedikit banyak mengadopsi gaya kolonial Belanda itu selalu tampak asri, kesan yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu.
Tumbuhan, rumput, dan bunga-bunga tampak tertata rapi hasil sentuhan dingin pemiliknya. Pohon mangga Arumanis berbuah lebat di sudut kanan halaman menaungi dengan sempurna dan menciptakan keteduhan yang membuat iri penghuni lain di kawasan itu.
Rumah itu biasanya sepi dan hening karena penghuni lamanya sebagian besar sudah terbang ke kota-kota impian mereka. Mereka bukan tidak ingat pulang, tetapi tuntutan hidup menjadi alasan kedatangan sering terjeda. Namun, rumah itu masih punya denyut kehidupan karena si empu rumah sekaligus akar keluarga masih ada, Ginanjar dan Kartika.
"Kang Gin, si geulis yang pernah saya ajarin waktu SMP tinggal di mana sekarang? Saya mah masih ingat kalau dia itu anak yang aktif dan kritis banget kalau nanya." Terdengar suara memecah keheningan di ruang tamu.
Ginanjar, lelaki berusia 70 tahunan dengan tubuh tinggi itu mengangkat mata dari balik tesmak plus yang dipakainya. Keningnya yang sudah berkerut beberapa garis semakin bertambah lipatan saat ia mencoba memikirkan siapa yang dimaksud lawan bicaranya. Tak lama kemudian terdengar kekehan dari bibirnya.
"Citra! Dia sekarang tinggal di Jakarta, Yi Agus. Citra itu bisa dibilang pengusaha, pemilik restoran Sunda di kawasan Jakarta Pusat. Dia memang cerdas dan mandiri pisan. Dulu, waktu kuliah dapet beasiswa penuh," jawabnya sambil tersenyum. Ada nada bangga saat menyebut nama anak sulungnya.
"Wah, hebat atuh punya usaha di Jakarta. Teu nyangki (tidak menyangka) anak daerah bisa menguasai kota besar," imbuh si tamu seraya menatap foto berukuran besar yang terpampang di dinding belakang si pemilik rumah. Matanya seolah menyiratkan kecemburuan.
"Siapa dulu atuh bapaknya!" balas Ginanjar cepat sambil menepuk dadanya. "Citra dan adik-adiknya saya didik dengan baik," tambahnya. Senyuman tak lepas dari wajah lelaki itu.
Si Tamu mengacungkan jempol sambil tertawa kecil. Sepertinya dia masih penasaran dengan anak-anak Ginanjar yang lain. Lelaki yang dipanggil Yi Agus itu rupanya pintar sekali mengambil simpati Ginanjar lewat kata-kata pujian yang melambungkan kehebatan pensiunan itu dalam pola asuh yang selama ini dilakukannya.
Seraut wajah cerah berjilbab bunga-bunga biru muncul dari balik pintu membawa nampan berisi minuman dan sepiring pisang goreng. Kartika, wajahnya sudah mulai keriput, tetapi waktu tak mampu menutupi sisa-sisa kecantikan masa muda. Dengan ramah, dia menyilakan tamunya menikmati sajian. Setelah berbasa-basi sebentar, perempuan berusia 65 tahun itu kembali ke belakang.
"Yi Agus tahu tidak? Bukan cuma Citra yang hebat, tapi juga Gilang, adiknya Citra. Dia sekarang mengikuti jejak kami jadi pendidik dan PNS. Malahan dia sekarang dipercaya menjadi wakil kepala sekolah bidang pemberdayaan siswa padahal usianya masih muda," papar Ginanjar sembari menyeruput teh hangat yang baru saja diberikan istrinya.
"Sebentar ... Gilang yang hitam kurus dan dulu paling harak (bandel) sama temannya? Yang katanya juga pernah jadi ketua OSIS jalur demo ngelawan kepala sekolah SMA-nya?" Agus mengerutkan keningnya.
"Hahaha, leureus pisan, Yi! Gusti, eta mah mun emut ka dinya baheula, asa kumaha. Masih kabayang pameunteu Ceu Kartika ngan nangis wae mikiran kalakuan budak hiji eta (Hahaha, benar banget, Dek! Ya Allah, kalau ingat dulu, kayak gimana gitu. Masih ingat wajah Ceu Kartika nangis terus memikirkan kelakuan anak itu)." Ginanjar tertawa sambil mengusap wajahnya. Air matanya sedikit keluar.
Agus ikut terkekeh. Tangannya mencomot pisang goreng hangat yang belum lama disajikan. "Tapi sekarang Ceu Kartika 'kan enggak pernah nangis lagi, Kang. Anak bandel tukang gelut (berantem) itu jadi anak kebanggaan. Alhamdulillah, anak-anak Kang Gin udah berhasil semua." Kembali si tamu memuji Ginanjar.
"Alhamdulillah, segalanya karena doa Ceu Kartika juga. Doa bisa mengubah segalanya. Tapi saya mah yakin, Yi Agus, tiap anak ada takdirnya masing-masing. Seperti Endah dan Agum.
Mereka berdua memang tak secemerlang kakak-kakaknya di masa sekolah, tapi kehidupan yang mereka jalani sekarang justru lebih baik dan menemukan jati diri. Keempat anak itu sekarang udah punya rumah masing-masing. Tinggal si bungsu yang masih kuliah," jawab Ginanjar sambil memandang ke arah halaman depan penuh bunga dengan mata berkilat besar hati.
Namun, sedetik kemudian Ginanjar teringat sesuatu saat kelima anaknya terbayang di pelupuk mata. Roman wajahnya sedikit berbeda. Lelaki berwajah serius itu mencoba menutupi dengan mengalihkan pembicaraan ke arah topik lain meskipun tetap sedikit menyerempet ke arah anak-anaknya dan masalah kondisi negara yang belum pulih benar pasca pandemi.
Ginanjar memang piawai mengemas pembicaraan, siapa pun akan terhanyut dalam obrolan dan terkesima pada kecerdasan bawaannya. Waktu seolah tak mengenal jenuh jika Ginanjar memegang kendali suasana. Hingga akhirnya si tamu pulang setelah mendapat amplop berisi uang yang memang menjadi tujuan kedatangannya ke rumah itu.
Sepeninggal tamunya, Ginanjar berdiri lama memandang foto keluarga dalam-dalam. Di kertas kanvas berbingkai kayu berukir itu terpampang wajah-wajah cerah mewarisi garis wajahnya. Mereka memakai seragam keluarga seraya menyunggingkan senyuman penuh keceriaan.
Wajah Ginanjar perlahan tampak semringah. Dia merasa di puncak kesuksesan seorang bapak karena telah berhasil mengantar anak-anaknya ke gerbang keberhasilan. Sorak-sorak imajiner yang mengelu-elukan dirinya terdengar di telinga. Ginanjar memejamkan mata.
"Apa, apa Apa ada telepon atau WA dari Otto?"
Tiba-tiba suara Kartika terdengar di belakang Ginanjar. Lelaki itu menelan saliva karena perkataan istrinya seolah melemparkannya kembali ke dunia nyata yang hening. Dia membuka mata, lalu berbalik dan mendapati Kartika dengan wajah bingung.
"Teu aya (Tidak ada), Ambu. Alah, paling dia bilang enggak akan pulang akhir minggu ini. Maklumin ajalah, Mbu. Anak muda zaman sekarang banyak kegiatan di luar, enggak kayak zaman kita muda dulu," katanya mencoba menenangkan sang istri.
"Bukan, bukan itu. Lihat, Otto mengirim ini ke Ambu!" Kartika mengulurkan ponselnya ke hadapan Ginanjar. "Kumaha atuh? (Bagaimana ini?)"
Ginanjar menatap layar ponsel dan membaca deretan kalimat yang cukup panjang. Kening tua itu berkerut. Jantungnya tiba-tiba berdebar.
Selalu seperti itu!
Otto, si bontot seringkali membuat hidupnya dan Kartika seperti dalam roller coaster. Sensasi yang tak pernah dia rasakan sebelumnya saat membersamai keempat kakak Otto.
"Apa, Ambu udah enggak sanggup! Simpanan Ambu sudah enggak ada lagi. Apa yang harus kita lakukan?" bisik Kartika seraya menatap penuh harapan pada suaminya.
Ginanjar termangu, dia tak punya jalan keluarnya.
****
Keterangan :
Apa : Bapak
Ambu : Ibu