Gendut, Dilarang Jatuh Cinta!

Gendut, Dilarang Jatuh Cinta!

sidsaft

3

Gesti : Rif, maaf, aku udah sampai di alun-alun Cimahi, nih. Aku tunggu ya. 


Berkali-kali aku terus ketik hapus, ketik lalu hapus lagi, saking merasa gugupnya membayangkan akan bertemu dengan Arif. Aku mendengkus lirih lalu menghapus lagi dan mengetik ulang sekali lagi, setelah membaca pesan yang baru saja kuketik terkesan genit sekali. 


Gesti : Rif, aku udah sampai di alun-alun Cimahi. 


Oke, send! Pesan itu terkirim namun perutku yang terasa melilit ini tak kunjung berhenti. Belum bertemu saja, aku sudah membayangkan yang tidak-tidak. Jujur saja, aku takut Arif berekspektasi terlalu tinggi terhadapku. Maklum, dengan berat badan 80 kilogram dan tinggi badan yang hanya 150 sentimeter, aku bagai buntelan bacang. 


Apa aku tidak diet? Sudah! Kok masih gemuk?! Asal tahu saja aku sudah pernah melakukan diet ala OCD mantan pesulap itu saat kuliah dulu, lalu diet air putih ala salah satu artis, belum lagi diet pisang ala idol K-pop dan berbagai macam diet lain pun yang mengharuskan menghitung kalori sudah kujalankan. Hasilnya? Gagal bin sial! Yang ada bukannya tambah turun, aku malah masuk rumah sakit. 


Sampai akhirnya aku berada di tahap pasrah dan hanya mengendalikan nafsu makan terutama saat malam hari—di mana itu adalah waktu terbahagia, karena bisa maraton drama korea dan nonton dua belas bujangku dari grup bontotnya agensi YG entertainment.


Di usiaku yang akan menginjak tiga puluh ini, aku masih berkutat dengan kerja, kerja, kerja tapi nggak kaya-kaya. Mama pun sering marah karena anak gadisnya hanya senang hibernasi di kamar daripada keluyuran. Katanya, Teh, mbok ya sekali-kali itu jalan sama teman-teman kamu gitu, siapa tahu ada cowok yang nyantol dan naksir, terus dilamar. 


Jujur saja, siapa sih yang nggak pengin punya pangeran kuda putih layaknya Lee Min Ho di Eternal Monarch atau cowok cool dan bad boy macam Han Seo Jun, tapi aku ini lebih nyaman ketemu sama cowok di dunia maya, berkenalan dari Instagram, forum-forum diskusi baik di Facebook ataupun Twitter. Kenapa? Jawabnya satu: mereka tidak melihat bagaimana fisikku, itulah yang membuatku nyaman dan betah ngobrol berjam-jam. 


Seperti halnya dengan Arif ini. Kita bertemu di sebuah utas tentang pembahasan sepak bola dan berakhir sering direct message sampai akhirnya kita bertukar nomor Whatsapp. Intens berkomunikasi hingga dua bulan ini, kami akhirnya memutuskan kopi darat. Kebetulan Arif yang berasal dari Bekasi sedang ada pekerjaan selama enam bulan ke depan di sebuah pabrik di daerah Batujajar, kabupaten Bandung Barat. 


Aku terus melirik ponsel yang tengah kugenggam dan sama sekali belum ada notifikasi balasan dari Arif. Kakiku sudah menghentak-hentak di atas tanah, gugup bercampur dengan ketakutan. Aku memang sudah memberikan deskripsi penampilanku hari ini yang memakai kemeja warna hitam dan celana jins pun sebelumnya kami sudah pernah saling kirim gambar wajah masing-masing. Aku berusaha menampilkan penampilan terbaik, termasuk membeli catokan untuk meluruskan rambut dan belajar make up selama satu minggu ini, agar terlihat flawless. Karena selama ini saat aku bekerja, cukup hanya memakai alas bedak dan lipcream warna nude. Aku tidak bisa mengalis apalagi memakai eyeliner. Tapi khusus untuk hari ini, aku berusaha memaksimalkan diri agar bisa menarik dan tidak membuat Arif malu. 


Hampir setengah jam kemudian, ponselku bordering, nama Arif tertera sebagai pemanggil. 


"Halo, ya, Rif," sapaku berusaha tenang dan menyembunyikan kegugupanku. 


"Kamu di sebelah mananya, alun-alun, ya Ges? Aku lagi di parkiran," kata Arif. Aku sedikit mengernyit. Entah mengapa seperti kurang sopan atau hanya perasaanku saja bahwa Arif memang cenderung to the point. 


"Oh, kalau gitu aku yang nyamperin di parkiran saja, ya, kalau gitu," balasku. 


"Oh, ya, udah. Kalau gitu aku tunggu sini saja," balasnya kemudian segera menutup panggilannya. 


Aku menurutinya untuk segera berjalan ke arah parkiran. Kita memang belum menentukan akan ke mana setelah ini, tapi kenapa aku masih belum nyaman dengan panggilan dari Arif barusan. Logikaku terus berteriak, harusnya dia yang datang dan nyamperin aku ke sini, karena dia laki-laki, tapi tetap saja kakiku berkhianat dan melangkah menuju parkiran. 


Tak perlu susah-susah menemukannya, dari sini aku sudah bisa melihat sosok laki-laki jangkung sedang duduk di atas motor Yamaha N-Max warna putih. Dari plat nomor kendaraannya saja sudah jelas berbeda. Aku menghampirinya dengan langkah gugup. "Hai Rif," sapaku dengan senyum semanis mungkin. 


Arif menatapku dengan pandangan menilai. Sepertinya dia berusaha menelisik penampilankku dari atas ke bawah, tapi kentara sekali dia menahan ekspresi wajahnya. Apa aku mengecewakannya? 


"Oh, hai, Ges," balasnya berusaha menampilkan senyuman. "Maaf lama, ya, soalnya tadi sekalian temen nebeng." 


"Nggak pa-pa, kok, aku juga belum nunggu lama." Padahal sudah lebih dari tiga puluh menit dan pria jangkung itu hanya nyengir tanpa dosa. Saat aku mengatakannya pun, matanya hanya fokus pada layar ponselnya, entah sedang apa dan melihat apa. 


"Kita jadi ke mana, nih, tapi maaf nggak bisa lama-lama soalnya tadi temen bilang mau nebeng lagi." Bukannya ini sebuah penolakan yang halus? Tapi aku tetap bersikap masa bodoh. 


Kami berangkat dengan motor masing-masing, dan mengarah pada salah satu kafe yang terdapat di daerah atas. Namun, saat aku hendak melintasi daerah bundaran sekitaran kantor dinas, aku memberhentikan motorku sejenak, karena tidak melihat keberadaan Arif yang mengikuti dari belakang. 


Perasaanku mulai cemas, takut laki-laki itu nyasar, karena ia mengaku tidak terlalu hafal wilayah Cimahi dan Bandung. Segera saja aku menekan kontaknya dan menghubungingya, namun sama sekali tidak ada sahutan. Saat hendak mengirim pesan Whatsapp pun, foto profilnya pun sudah hilang. 


Dadaku bergemuruh hebat. Mataku seketika memanas. Setelah berhasil mengirim pesan, ternyata hanya ceklis satu. Di pinggir jalan, rasanya ingin benar-benar memaki laki-laki itu dan memviralkan akunnya. Berani-beraninya dia melarikan diri seperti ini! Namun, ternyata aku hanya pasrah dan menangis. Laki-laki adalah makhluk visual. Dan, buntelan bacang sepertiku ini tentu saja tak memanjakan matanya. 


Jadi benar 'kan pemahamanku bahwa don't judge a book by it's cover is totally bullshit! Sepertinya memang hanya dedek Yedam dan dedek Haruto yang tidak menilaiku secara fisik. Segera menghapus air mata, dan sudah sampai di Cimahi, rasanya sayang bukan kalau tidak sekalian saja pergi ke air terjun pelangi. Baru saja hendak menyalakan mesin motor, dering ponselku berbunyi. Pesan pop-up muncul dari adik bungsuku yang masih kelas tiga SMP. 


Nendah : Teh, di mana? Cepetan pulang! Ada dua orang yang nyari A Bagas, nagih hutang. 


Bagas! Masalah apa lagi yang tengah ditimbulkan adikku itu.