"Suatu hari nanti aku ingin menjadi orang hebat!" itulah kata-kata klise yang sering diucapkan oleh anak-anak lugu yang tidak tahu bahwa badai sedang berada di depan mereka, begitu juga dengan ku.
___
Entah darimana aku salah melangkah, sampai akhirnya berada di titik ini.
"Sebenarnya kau tidak salah dalam melangkah, kau hanya berhenti untuk melakukannya." Akhir-akhir ini aku sering mendengar hatiku berbisik di telingaku.
Tanpa kusadari aku berteriak, "DIAM!" namun hatiku terus berbicara.
"Mulailah melangkah, dan kau akan menemukan jawaban dalam hidupmu." Ini adalah sebuah perkataan dari suara hati dalam diri ku.
Benar-benar terdengar sangat bijaksana bukan? Sayang sekali hati yang bijak itu justru dimiliki oleh seorang pecundang.
___
Memandang langit-langit di ruangan yang sempit, aku bergumam pada hatiku, "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." Suara hati ini membalas, " Kau tidak pernah mencari tahu, berdiam diri tidak akan mengubah apa pun"
"Ah... aku lapar." Aku berdiri mengamati sekeliling kamarku yang sempit mencoba mencari sesuatu untuk dimakan, kemudian aku mulai memasak bubur gandum.
Di tengah-tengah makan malam, aku bergumam pada hatiku, "Dari mana aku harus memulai? Dari manakah seharusnya aku memperbaiki semua hal ini?" Suara hati ini membalas, "Ratusan kali kau mengatakan hal yang sama, tetapi kau tidak pernah benar-benar mencoba memperbaikinya." Diam membisu, hati ku melanjutkan kalimatnya. "Kau berbicara kepada hatimu seolah-olah aku adalah orang lain, sungguh kesepian dirimu." Aku terpaku, merasa tertampar oleh kenyataan bahwa hatiku sendiri yang secara ironis mengatakannya.
Aku lelah, sekarang aku ingin beristirahat, kemudian aku membuat diriku nyaman di tempat tidur dan terlelap.
___
Kerajaan Xiris
Desa Maren
19 Januari 1300,
Seseorang menggedor pintu kamarku pagi ini, karena tidak tahan mendengarnya akhirnya aku pun terbangun dan membuka pintu.
Di pagi yang indah nan cerah ini, seseorang menatapku dengan marah. "Ada m-masalah apa ya?" ucapku terbata-bata sembari menggaruk-garuk kepala.
Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu. Lihatlah ekspresi wajahnya yang seolah akan meledak! "Arezha, apa kau tidak tahu malu? Tunggakanmu sudah 2 bulan. Kapan tepatnya kau akan melunasi sewa kamarmu ini!?" Terkejut mendengar itu sehingga membuatku bingung, apa yang harus kukatakan padanya?
Suara hati, tolong aku! Ketika menghadapi situasi genting seperti ini, suara hati ini menghilang.
"Aku akan membayar secepatnya, tolong beri aku waktu."
"Tidak bisa, aku juga mempunyai bisnis. Aku tidak bisa mentolerir keberadaanmu lagi. Mulai besok pagi kau harus segera pergi dari sini!"
"T-tapi, tolong beri aku waktu seminggu saja, aku akan segera membayarmu kembali, aku berjanji!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu lagi, alasanmu sudah terlalu banyak. Aku akan kembali ke sini besok dan jika kau masih belum menyelesaikan semuanya. Maka aku akan menyelesaikannya sendiri! Paham?" Sergahnya. Aku hanya bisa meratapi keadaan ketika dia beranjak pergi.
___
Sialan, terkutuklah semua orang yang tidak mengetahui keadaanku. Terkutuklah aku karena tidak bisa berbuat apa-apa!
"Seakan kaulah yang tertindas dan tersakiti, tapi pada kenyataannya kaulah penjahat itu sendiri. Yang menempatkanmu dalam kesulitan itu adalah kau. Yang tidak membayar hutang karena tidak memiliki uang adalah kau, sedangkan kau yang tidak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan uang dan selalu mengharapkan kebaikan mereka. Meskipun kau tidak mendatangkan kebaikan."
Ah sial, kau benar suara hatiku, kau benar.... Aku memang selalu membohongi diriku sendiri.
___
Aku harus segera pergi dari sini. Mengemas semua yang kubutuhkan. Berencana untuk pergi ke mana pun itu. Membayangkan ke mana kaki ini akan melangkah, tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk mendatangi kota Sernia. Sebuah kota yang berdekatan dengan lautan, jika aku mengikuti aliran sungai aku tidak mungkin tersesat.
Sisa makanan yang kumiliki saat ini hanya sampai 4 hari. Perjalanan menuju Kota Sernia yang berjarak sekitar 100 km membutuhkan waktu 1 malam dan 2 hari, cukup jauh dan mungkin melelahkan, tetapi apa boleh buat.
___
Perjalanan panjang ini sudah berlangsung kurang lebih 13 jam. Aku tidak menemukan tempat peristirahatan yang layak di mana pun. Mencari-cari tempat untuk bermalam di sekitar, akhirnya aku beruntung menemukan sebuah pohon besar di tengah hamparan rumput yang luas, tidak jauh dari posisiku. Kemudian aku mendekati pohon tersebut, menyandarkan ransel dan mengistirahatkan kakiku di bawah pohon itu.
Aku mengangkat pandanganku ke langit, melihat bulan yang bersinar terang malam itu. Aku merasa lapar, namun terdapat ketakutan yang membayangi pikiranku. Aku ingin memasak, tetapi terlalu berisiko jika ada orang yang melihat. Ragu untuk menyalakan api, jika seseorang melihatnya entah apa yang akan mereka lakukan padaku.
Aku merasa frustasi dengan situasi ini, sehingga aku memutuskan untuk memasaknya jika malam telah berlalu.
___
Kerajaan Xiris
Kota Sernia
21 Januari 1300,
Di pagi yang cerah, terdengar suara burung berkicau yang merdu dan menenangkan. Dalam keheningan, mataku perlahan-lahan terbuka, merasakan udara segar memasuki paru-paruku. Kuamati sekeliling dengan seksama, membiarkan diriku terpesona dengan keindahan alam yang terhampar di hadapanku. Namun, aku tidak berlama-lama dalam kagumku tersebut, karena aku tahu ada yang harus kulakukan.
Aku segera memasak sarapan untuk memberikan energi bagi tubuhku yang akan menempuh perjalanan panjang. Kuambil semangkuk bubur gandum.
Setelah sarapan, aku mengambil tas ransel yang telah kusiapkan semalam dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Tak ada waktu untuk menunda-nunda lagi, karena aku memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Aku menemukan sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu-batu besar yang tampaknya mengarah menuju kota Sernia. Tanpa ragu, aku mengikuti jalur itu.
Aku berjalan dengan hati-hati menuruni bukit kecil, mengikuti jalan batu. Di sekitarku, terdapat pepohonan yang rindang dan suasana sekitar yang membuat hati ku menjadi tenang.
Tidak lama kemudian, setelah menuruni bukit, aku akhirnya melihat sesuatu. Kota Sernia terlihat jelas di ujung jalan, menawarkan panorama yang menakjubkan. Aku merasa sangat bahagia melihat apa yang terbentang di hadapanku.
___
Ketika aku berjalan mendekat, gerbang Kota Sernia tampak semakin membesar. Kerumunan orang berdesakan untuk memasuki gerbang. Aku tahu kota ini dari mendiang ibuku, namun aku tidak mengetahui ternyata Sernia lebih besar dari yang aku kira.
Beberapa langkah lagi hingga kaki ini melangkah masuk ke dalam kota. Salah satu penjaga gerbang yang mengenakan pelindung besi berperawakan jangkung dan kekar, melontarkan beberapa pertanyaan dan memeriksa barang bawaan ku.
Tidak ada yang perlu kukhawatirkan, karena aku tidak memiliki apa-apa.
"Apakah kau penduduk Sernia?" tanya penjaga itu.
"Bukan, aku berasal dari sebuah desa kecil bernama Desa Maren." Aku mengarahkan jari telunjukku. "Jaraknya sekitar 100 km sebelah timur laut dari sini."
"Benarkah begitu?" Dia memeriksa tas ransel ku dengan teliti lalu dia bertanya lagi, "Apakah kau mendengar rumor dalam perjalanan?"
"Rumor seperti apa?" Aku penasaran dengan pertanyaannya.
"Entahlah, tapi sepertinya ada isu yang bisa memicu perang antara Kerajaan Xiris dan Kekaisaran Kluir." penjaga gerbang itu mengoceh panjang lebar. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara sehingga membuang-buang waktumu. Jika kau tahu sesuatu beritahu aku."
Dia menyerahkan ransel ku kembali.
Kami pun berpisah dan aku melangkah melewati gerbang Kota Sernia. Kehidupan seperti apa yang menanti ku di sini?
___
Dengan kantung koin yang hampir kosong, aku melangkah di tengah hiruk-pikuk kota besar yang ramai. Berharap bisa menemukan pekerjaan apa pun itu. Sementara itu, aku terus berjalan sembari mengamati sekitar, mencari petunjuk. Aku melihat sekelompok orang berkumpul di depan sebuah papan pengumuman besar.
Tak lama kemudian, mataku tertuju pada sebuah poster besar yang menarik perhatianku. Segera saja, aku berjalan mendekat dan membaca dengan seksama apa yang tertulis di dalamnya. Poster itu berisi tentang perekrutan militer kerajaan. Terpikir di dalam benakku untuk mengikuti perekrutan tersebut, meskipun sebenarnya aku bukanlah seorang petarung yang handal.
Namun, pikiranku cepat berubah ketika aku mengingat bahwa medan perang bukanlah tempat yang aman bagi orang seperti diriku. Aku tidak ingin membahayakan diri.
Aku kembali melihat-lihat papan pengumuman itu, mencari petunjuk lainnya. Setelah beberapa saat, menemukan sebuah peta kota yang tergantung di bawah poster. Aku segera meraihnya dan mencoba untuk mengambilnya dengan hati-hati, tetapi sayangnya sebuah paku menancap di dinding dan merobek sedikit bagian dari peta itu.
Aku Menyimpan peta itu di dalam ranselku dan melanjutkan perjalanan dengan harapan dapat menemukan pekerjaan yang cocok bagiku.
___
Dengan optimisme yang kurasakan, aku menuju pasar kota untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku, seperti mengangkut barang atau menjaga sebuah toko.
Di pasar Sernia, pandanganku tertuju pada segerombol pekerja yang sibuk mengangkut dan memindahkan barang ke kereta kuda, Diawasi dengan cermat oleh mandor mereka. Untuk mencari pekerjaan, aku mendekati mandor tersebut.
Ketika dia menyadari kedatanganku, mandor itu melemparkan pandangan tajam ke arahku sambil melanjutkan tugasnya dengan nada yang tegas. "Pergilah, aku tidak memiliki uang untukmu."
Sudah bisa ditebak, dia menganggap aku sebagai seorang pengemis.
"Maaf, sepertinya kau keliru. Aku hanya ingin mencari pekerjaan di sini. Mohon izinkan aku untuk bekerja di sini."
Mandor itu menghela napas dan tampak memeriksa tubuh ku dengan tatapan ketat. "Sayang sekali, kuota pekerja sudah terpenuhi. Kau harus pergi dari sini. Tidak ada pekerjaan yang cocok untukmu di sini."
Namun, aku masih berusaha memohon kepadanya. "Tolong berikan aku kesempatan untuk bekerja. Aku tidak keberatan bekerja dengan upah yang rendah."
Mandor itu terkejut dan langsung menepis tanganku. "Sialan! Jangan menyentuhku! Seperti yang sudah aku katakan, tidak ada pekerjaan untukmu di sini!" Tak berhenti sampai di situ, dia mendorongku hingga terjatuh.
___
Setelah kegagalan di pasar Sernia, aku berusaha mencari pekerjaan di tempat lain. Namun, ke mana pun aku mencari pekerjaan, pintu-pintu selalu tertutup rapat untukku. Belasan tempat kerja yang telah kudatangi semuanya tidak berhasil.
Waktu berlalu dengan cepat, dan membuat diriku semakin cemas akan nasib yang akan menimpaku. Bagaimana bisa bertahan hidup tanpa pekerjaan? Pikiran ini terus menghantui ketakutan bahwa aku akan menjadi pengemis atau bahkan mati kelaparan.
___