Prolog
"No man ever struggling for something he loved twice and to get failure," kalimat itu yang terus keluar dari kepalanya. Seorang pria tampak sudah menyerah dengan apa yang paling ia cintai, matanya menyisir seisi ruangan, ia memastikan kembali bahwa keputusannya kali ini sudah tepat. Menutup kedai gelato yang seharusnya menjadi mimpinya bersama orang yang paling ia cintai adalah sebuah jalan akhir.
Ia menyadari ini ujung dari perjalanannya. Tepat sepulang ia gagal berusaha menepati janji untuk terakhir kali. keputusan yang justru berakhir pahit. Ia sudah sangat terlambat. Usahanya untuk mempersiapkan segalanya agar sempurna malah berakhir pada ketidaksabaran sang pujaan hati.
Malam ini pun menjadi malam paling dingin bagi kehidupannya. Bukan karena suhu negara tempat ia berpijak saat ini yang mencapai lima derajat celcius namun karena malam ini ia harus membuat keputusan paling penting dalam kehidupannya. Dengan tegas ia membalikkan papan bertuliskan ‘close’ pada pintu kedai sebagai pertanda bahwa ia telah mengubur semua hal tentang gelato dan romansa yang mengikutinya.
Kedai gelato yang ia bangun sudah kehilangan sebagian ruhnya. Tidak akan ada lagi gelato dalam kehidupannya. Cerita di balik manis dan lembutnya gelato sudah berakhir seiring dengan kisah cinta si pembuatnya.
“The relationship between gelato and love is like a bonded relationship and now I feel the most bitter gelato, gelato that loses love in every bite.”
***
First Scoop: Pink Cotton Candy
“If someone you love, having an affair behind you, slap his face. Seriously slap his face and go get some gelato.”
Gustav masih menatap Kania lembut setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan gadis itu. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Hanya menunggu, entah sampai kapan. Selama ini ia berusaha untuk selalu ada di setiap keadaan terburuk Kania. Bola mata Kania masih mengembun. Mungkin ini adalah saat yang terburuk itu, buktinya sudah hampir setengah jam ia masih belum memulai ceritanya. Hanya kalimat emosional tadi saja. Padahal biasanya ia cukup cerewet ketika sedang sangat kesal akan sesuatu. Pandangannya cuma tertuju pada satu hal, chocolate chip di dalam cone yang ada di hadapannya. Setiap kali ia mendekatkan bibirnya pada contong es krim itu, keadaan bukannya membaik, air matanya justru keluar lagi. Bahunya berguncang tak sanggup menahan semuanya. Cukup terguncang untuk tidak menyadari lelehan es krim cokelat yang mulai merembes ke jemarinya. Kesedihan memang sering membuat orang lupa pada kenyataan.
Padahal mereka sedang duduk di sudut favorit mereka dekat jendela, di kedai gelato favorit mereka juga. Tempat mereka biasanya bertukar gosip dan kabar terbaru. Kali ini warna cerah interior kedai tidak cukup bisa menggantikan warna kelabu yang menyelubungi Kania. Sudah begitu, daftar lagu yang sedang diputar sejak tadi semua berisi lagu-lagu sedih. Untung saja kedai sedang sepi, mereka jadi leluasa menikmati sendu.
“Lalu?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Gustav. Gustav mulai tak sabar ingin mendengar penjelasan yang keluar dari bibir Kania, yang sedari tadi masih sibuk menikmati gelatonya sambil terus terisak. Gustav sebenarnya tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang menikmati makanan sambil menangis.
Kania pun tersadar ia sudah mendiamkan Gustav cukup lama. Ia menatap Gustav, tatapannya sayu seolah tak ada harapan hidup lagi. Sedetik kemudian Kania mencoba menghapus percikan kristal bening penyesalan yang sedari tadi turun dari ujung matanya. Ia mengambil tisu di atas piring kecil, lalu menghapus lelehan es krim yang hampir sampai ke meja.
“Sudah selesai.” Kania dengan suara agak gemetar dan matanya kembali berkaca-kaca. “Ia bilang, ini sudah berakhir,” lanjutnya, seketika itu meledaklah air matanya.
Gustav paham benar dengan keadaan ini, ia mulai berpindah tempat duduk di sebelah Kania. Gadis itu langsung merengkuh lengan Gustav dan menyandarkan kepalanya di pundak pria yang sudah hampir seharian menemaninya. Dalam keadaan seperti ini, Gustav sadar, ia tak perlu lagi menanti semua cerita Kania. Keadaannya sudah cukup buruk untuk melanjutkan. Walau sebenarnya ia masih merasa semuanya berubah terlalu cepat. Bukannya baru sebulan yang lalu Kania terlihat sangat bahagia dengan pria yang ia tangisi saat ini? Ia masih ingat bagaimana kebahagiaan itu tersirat.
***
Sebulan yang Lalu
“Bagaimana?” bisik Kania.
Gustav tahu Kania sedang memberi sebuah kode. Ini bukan pertama kalinya ia meminta pendapatnya untuk menilai sesuatu. Ia pasti ingin mendengar pendapat tentang pria berkemeja putih bergaris yang datang bersamanya. Pria necis itu sedang menjauh dari meja untuk menerima telepon, memberikan waktu bagi sepasang sahabat itu untuk bertukar komentar.
“Lumayan,” ujar Gustav berusaha seobjektif mungkin.
Kania memandang Gustav, ia mendekatkan wajahnya, memeriksa kembali pernyataan Gustav. “Apa? Lumayan? Hanya itu? Padahal aku berharap lebih.” Kania menanggapi komentar singkat Gustav dengan sedikit kecewa.
Gustav mengangkat kedua alisnya, tampak ragu. “Aku tidak bisa menilainya terlalu banyak, aku hanya bisa menilai dari apa yang sekilas aku lihat.” Gustav memberikan alasan mengapa penilaiannya cukup singkat.
Kania melihat ke arah pria itu, lalu berpaling lagi ke arah Gustav. “Ehm ... iya, kali ini mungkin kau benar.” Ia mengangguk-angguk tanda setuju.
Gustav sedikit berada di atas angin dan Kania menyetujui alasan dari jawaban yang sedemikian singkat tentang sosok baru yang bersamanya.
Kania memandang wajah Gustav lekat, ia mengernyitkan dahinya kali ini. “Tapi—” Ia memberi jeda. “Aku yakin ia yang aku cari selama ini. Tampan, pengertian, kami seperti sudah cocok satu sama lain.” Kania menatap punggung prianya kembali dengan senyum kebahagiaan. Ia benar-benar berusaha terlihat meyakinkan bahwa pilihannya tepat. Walaupun ini sudah ketiga kalinya ia berkata demikian, di setiap kali ia mengenalkan pria barunya.
Gustav meninggikan suaranya, memberi kesan tegas. “Semua selalu tampak sempurna di awal, bukan?” Gustav tampak pesimis mengingatkan.
“Ah, kamu selalu seperti itu.” Kania berusaha tak peduli dengan celoteh Gustav. “Baiklah, sekarang kamu tahu kan rasa apa yang cocok menggambarkan perasaanku hari ini?” Senyumnya merekah sesaat, ia berusaha menguji kemampuan Gustav meracik gelato.
Gustav mengangkat kedua alisnya, mengingat kesukaan Kania, bibirnya pun terbuka. “Seperti biasanya, ‘kan? Cotton Candy? With much swirl of pink and purple cotton candy.” Gustav menebak dengan penuh percaya diri karena ia paham benar selera Kania.
“You always know about me. One scoop, please.” Kania tersenyum puas, Gustav tidak berubah, selalu tahu apa yang jadi kesukaannya. Ia lalu memajukan wajah dan berbisik, “Gelato always makes me fall in love, Gus.”
Gelato memang selalu membuat Kania jatuh cinta. Walaupun terkadang kisah jatuh cintanya tidak semulus harapannya. Tepat tiga puluh hari setelah senyum kebahagiaan Kania terpancar seterang matahari tengah hari ketika ia memamerkan kekasih baru, serial cintanya ternyata berujung pada episode Kania menangis seharian di hadapan Gustav. Kania harus merasakan kehilangan untuk kesekian kali. Obatnya akan tetap sama, gelato
Classic Chocolate yang akan menghibur dan membuatnya bangkit untuk melanjutkan kehidupan.
Gustav selalu membuatnya yakin bahwa gelato solves everything. Setelah cukup lama memeluk lengan Gustav, Kania pun mengangkat kepalanya.
“Gus, jangan pernah bosan hadir tiap aku butuh kamu, ya?” pintanya dengan suara agak serak tapi tetap tidak bisa menyembunyikan akses lembut yang biasa.
Gustav tidak menjawab, ia hanya memandangi Kania dengan lekat.
“Setiap kali aku jatuh sejatuh-jatuhnya, paling tidak aku masih bisa menikmati gelato sekali lagi, bersamamu, di sini.”
Melihat Gustav tak merespons, wajah Kania memelas. Ia menatap wajah Gustav dengan sangat dalam. “Please.” Kania memohon karena Gustav tidak menjawab apa-apa dan hanya menatapnya.
“Kita ini member kehormatan Ordo Gelato apa gimana sih sebenarnya?” Gustav mencoba bercanda tapi tetap dengan nada serius.
“Ih, kamu, aku lagi serius tadi itu lho …”
Gustav tersenyum sambil mengangguk pelan, tanda setuju kalau ia akan selalu jadi pendengar yang baik dan seseorang yang selalu hadir di segala kondisi Kania.
“Bagaimana gelatonya, Kania? Mau tambah lagi?” suara perempuan di belakang mereka tiba-tiba mencairkan suasana.
Kania berusaha menghapus sisa air mata dengan tangannya. Ia mendongakkan kepalanya menatap perempuan sepuh itu. “Sudah cukup, Oma,” tolak Kania halus sambil tersenyum.
“Sudahlah, kaum pria memang seperti itu.” Oma mencoba menggoda Kania seraya mengedipkan salah satu matanya yang langsung dijawab dengan gelak tawa Gustav dan Kania.
Semua orang terdekatnya tahu bagaimana sifat Oma. Ia selalu terlihat muda meski usianya jauh lebih tua. Entah apa yang membuatnya terlihat muda, di usianya yang sudah 73 tahun masih terpancar pesona kecantikannya. Barangkali celetukan khas anak muda tadi yang membuatnya sebugar ini. Oma itu nenek gaul up to date, karena ia mengikuti segala perkembangan zaman yang terkadang membuat Gustav dan Kania geleng-geleng kepala.
Seperti kemarin, saat Oma tiba-tiba banyak bertanya mengenai Instagram. Dari mulai pertanyaan sederhana seperti, “Instagram itu apa?” Hingga akhirnya meminta dibuatkan akun Instagram agar ia dan usaha Zang Creme bisa terkenal.
Oma selalu seperti itu kalau ia menemukan hal-hal yang baru. Mau tidak mau, akun itu dibuat, dan hadirlah akun @omazangcreme. Ketika akun itu tayang perdana, Gustav dan Kania kaget bukan main. Karena dalam hitungan beberapa hari, akun tersebut memiliki banyak sekali pengikut yang kebanyakan adalah para penikmat gelato. Lagi-lagi Oma menunjukkan dirinya sebagai seorang pengusaha gelato berpengalaman yang tidak pernah mau berhenti belajar dan tetap mengikuti perkembangan zaman meski usianya sudah menua.
Kafe gelato milik oma Gustav ini sudah lama ada, sejak sang Opa masih ada. Katanya sih, kedai gelato ini dulu mahar pernikahan mereka. Hadiah dari Opa untuk Oma yang suka sekali makan es krim ala Italia. Nama Zang Crème dipilih Opa karena teringat masa kecilnya di Surabaya. Di kota masa kecilnya itu memang ada kedai es krim Italia legendaris bernama Zangrandi yang jadi favorit muda-mudi Surabaya sejak masa pendudukan Belanda. Namun, Gustav selalu merasa ada cerita lain di balik kedai gelato ini. Cerita yang disimpan Oma sendirian.
Kania pun bersyukur, ia dapat terdampar di sini seharian ketika kondisi hatinya berantakan. Tempat ini merupakan surga paling indah di ibu kota. Bagaimana tidak, di sini ada Oma yang selalu bisa menjadi pemecah tawa. Di sini juga ada seorang sahabat terhebat yang patut ia syukuri. Dan, yang paling penting tentu saja gelato Classic Chocolate yang sedari tadi ia nikmati perlahan. Harapannya sederhana, ia hanya ingin kelembutan gelato favoritnya ini menyembuhkan hatinya yang baru saja terkhianati. Paling tidak, gelato tidak pernah mengecewakannya.
***