GASING TENGKORAK

GASING TENGKORAK

RafRandu

5

Kamis jelang Jumat. 

Tepat tengah malam, bulan sedang penuh-penuhnya. Di kejauhan terdengar lolongan serigala meremangkan bulu kuduk. Desau angin berhembus seolah membisikkan sebuah rahasia yang sedang terjadi di nagari bernama Tungkek Basi, desa yang terletak di lereng gunung Marapi. 

Dalam remang cahaya lilin, sesosok lelaki paroh baya terlihat sedang melakukan ritual mistis. Di tangannya tergenggam sebuah benda berbentuk pipih. Benda itu ia buat dari tengkorak kepala seorang gadis belia yang siang tadi baru saja dikuburkan.

Ia tampak serius. 

Benda pipih itu diberinya lubang. Lalu ia masukkan guntingan kain kafan beserta benang tujuh ragam, hingga membentuk sebuah kalung. Tali kalung itu ia bentangkan sambil memutar-mutarnya. Benda pipih yang ada di tengah tali itu pun ikut berputar-putar layaknya sebuah gasing. 

Terlihat pula sebuah bejana tanah liat di atas mejanya. Bejana itu berisi api yang mengepulkan asap berbau kemenyan bercampur bau rambut terbakar. Sebuah mangkuk berisi jeruk purut dan lembaran kelopak bunga mawar ia letakkan di sebelah bejana. Lalu ia komat kamit membaca mantra. 

“Indak talok dek pakasiahan, gasiang tangkurak nan den mainkan,” desisnya di antara mantra-mantra yang tengah ia dengungkan. (Tidak bisa dengan santet pengasih, Gasing Tengkorak yang saya mainkan.)

Ia terus merapal mantra sembari memutar-mutar benang pada benda yang bernama gasiang tangkurak (gasing tengkorak). Benda itu kecil saja tapi mempunyai kekuatan magis luar biasa. 

Mata laki-laki itu terpejam. Sesekali ia membeliak, menampakkan pemandangan menyeramkan. Bola matanya merah menyala menatap tajam ke satu arah.

Foto seorang gadis cantik.

“Kareh bana hati wakau, bia sijundai nan manyalasaikan,” imbuhnya dengan seringai menakutkan. (Keras benar hati kau, biar si Jundai yang menyelesaikan.) 

Asap berputar-putar di sekitarnya. Udara terasa panas. Bau kemenyan memenuhi ruangan. Ia terus komat kamit. Sesaat kemudian, laki-laki itu menghembuskan napas dengan suara kencang.

“Hufft!” 

Semburan napasnya membuat asap seketika bergerak keluar ruangan. Seperti diperintah, gumpalan asap itu langsung bergerak menembus malam dan melayang-layang di atas hutan kelam menuju sebuah rumah. Tujuannya jelas, mencari gadis yang ada di dalam foto yang terpampang di hadapan sang pemilik mantra.

“Jikoknyo lalok suruah jagokan, jikoknyo tagak suruah bajalan,” rapal sosok itu menyelesaikan ritualnya. (Jika dia tidur, tolong bangunkan. Jika dia berdiri, suruh berjalan.)

Kemudian laki-laki itu membuka mata dan menatap sebuah kepala yang menghadap lurus ke arahnya. Benda itu ia curi dari kuburan menjelang tengah malam demi membuat gasiang tangkurak. Kepala yang sudah tak utuh itu ia pajang di atas meja ritual. Senyum sumringah menyeringai di sudut bibirnya.

“Cantiknya kau, gadis manis...,” gumamnya senang. 

Kepala itu milik gadis remaja usia belasan yang tadi pagi mengalami kecelakaan lalu lintas. Menjelang salat Asar, jasadnya dikebumikan. Sejak itu, sepasang mata terus mengintai hingga akhirnya ia merasa aman untuk membongkar kuburan yang masih basah.

Sekali tebas, kepala mayat gadis malang itu terlepas dari badan. Lalu dengan sigap ia bungkus dengan kain hitam dan bergegas pulang setelah menutup kuburan dengan gerakan sangat tangkas.

Kini mata mayat itu menatapnya dengan pandangan seolah tak ikhlas. Namun, laki-laki itu justru mendapatkan sensasi tersendiri saat menyaksikan mata itu menyorot hampa. Terkadang, jika ada mata jasad hasil curiannya yang tertutup rapat, sengaja ia buka dan beri ganjal agar terbuka lebar. 

“Jangan takut memandangku gadis cantik,” kekehnya saat berhasil membuat mata si mayat melotot nyalang. “Setelah ini kau akan kuabadikan dalam ruangan rahasiaku. Kalian saling berkenalanlah,” desisnya sembari membelai rambut si mayat dengan kasar. 

Laki-laki itu dikenal warga dengan panggilan Tuak Gamang. Ia orang pintar yang kerap dimintai menyembuhkan warga jika ada yang sakit. Namun tak sedikit pula yang datang untuk meminta ilmu guna-guna dan pelet pengasih. Sedangkan gasiang tangkurak merupakan salah satu ilmu kebanggaannya yang tak ada duanya. 

Gasiang tangkurak bukan ilmu sembarangan. Selain bisa membuat korban menjadi gila, juga bisa membuat korban berjalan tanpa sadar, bahkan hingga memanjat dinding.

Itulah mengapa gasiang tangkurak tak bisa dibuat dari sembarang tengkorak. Ia haruslah berasal dari tengkorak bagian dahi gadis perawan yang meninggal dalam keadaan bersimbah darah. 

Tak heran Tuak Gamang sangat bahagia jika mendengar ada anak gadis yang mati terbunuh atau tewas karena kecelakaan lalu lintas. Dengan sabar ia akan mengintai semalaman untuk mencuri mayatnya. 

Dengan ilmu hitam yang dimilikinya, Tuak Gamang tak pernah kesulitan membongkar dan menutup kembali kurburan dalam waktu singkat. Lalu membawa kepala mereka pulang ke rumah dengan wajah sumringah.

“Kalian memang gadis-gadis cantik nan menawan,” kekehnya dengan seringai senang. 

Sudah lebih dari tiga puluh tahun ia mempraktekkan ilmu hitam dan gasiang tangkurak. Bukan hanya imbal jasa berupa emas yang membuatnya bersemangat, tapi menyaksikan korban demi korban yang menjadi gila dan bahkan meregang nyawa, menjadi kepuasan tiada tara bagi seorang Tuak Gamang yang hidup sebatang kara. 

Tak ada warga yang berani melawan Tuak Gamang. Selain dianggap sakti, ia juga sangat ditakuti. Tak boleh ada yang menatap langsung matanya, atau mereka akan mendapat kesialan tak berkesudahan. 

Tuak Gamang bagai legenda di kampungnya. 

“Aden memang indak ado lawan!” seringainya dengan pongah. (Saya memang tak ada lawan.)

Ia kembali menatap puas benda yang ada di hadapannya. Setelah itu Tuak Gamang membereskan meja ritual dan beranjak masuk ke ruang rahasia yang berada di tempat persembunyiannya. Sebuah gubuk yang berada jauh di dalam hutan, di lereng gunung Marapi nan menyimpan beribu misteri.

“Putuihnyo gasiang putuih makripaik,” senandungnya riang sembari meletakkan kepala itu di antara kepala-kepala lain yang tampak mengerikan. (Putus gasing, nyawa melayang.)

Malam terus merambat. Kelam kian pekat. Jeritan hewan malam menambah suasana di sekitar Desa Tungkek Basi terasa mencekam. Namun Tuak Gamang seakan berada di surga. Ia sangat mencintai kegelapan dan kesunyian.

Dari kejauhan, kembali terdengar lolongan serigala ditingkahi suara mengikik seseorang yang membuat bulu roma meremang. Desa yang indah itu tak lagi sunyi. Gasiang tangkurak siap melaksanakan misi. 

Sesaat kemudian… di sebuah rumah, seorang gadis terlihat menggeliat-geliat gelisah dalam tidurnya. Ia terbangun dengan gerakan patah-patah. Lalu, duduk di tepi ranjang dengan rambut tergerai panjang menutup seluruh wajahnya. 

***