Ghisarra Nevan, yang baru menyelesaikan diskusi mengenai teknologi listrik tanpa media penghantar sehingga bisa digunakan di planet bulan -yang sedang dalam pembangunan untuk bisa dihuni manusia- segera datang ke ruang kerja penerus tahta Kerajaan Nevan, yaitu kakak pertamanya, Theonard Nevan.
Langkah yang Isarra buat amat pelan dan hati-hati, sehingga nyaris tidak ada suara yang tercipta, selain hembusan napasnya saja. Ini Isarra lakukan agar sang kakak yang sedang fokus bekerja tidak melirik layar transparan di dinding dan menyadari kehadirannya. Jika Theo tahu dia akan datang, pasti kakak pertamanya akan membuat penghalang transparan didepan pintu, yang hanya mengecualikan Isarra untuk bisa masuk dengan mudah.
Yah, Isarra memang harus berjinjit-jinjit seperti orang kuno. Pasalnya, meski mengenakan sandal anti gesekan dan tidak mengeluarkan suara, lantai disekitar ruang kerja Theonard dibuat khusus, yang tidak mengecualikan sandalnya untuk mengeluarkan suara. Gravitasi disini sangat aneh, tidak lazim, dan mencurigakan. Tapi, tidak peduli seberapa keras pun Isarra mencoba memahami logaritmanya, dia bahkan belum bisa menyelesaikan dasarnya.
Pada akhirnya, Isarra menyerah, dan jadi lebih yakin kalau Theonard memang pantas menjadi penerus, jika dilihat dari kehebatan IT-nya.
Sayangnya, Isarra terlalu ceroboh hari ini. Ketika dia nyaris mencapai pintu, sebuah semut yang berjalan di dinding hanya Isarra lihat sambil lalu, tidak sadar kalau itu sebenarnya adalah cctv.
Dan, hanya berselang sedetik dari tangan Isarra hendak men-scan jari telunjuknya di pintu, ketika sebuah penghalang tiba-tiba muncul, dan Isarra dimundurkan paksa beberapa langkah.
Isarra cemberut, dan menatap kesal pada pintu. Dia belum mengerti apa yang terjadi, hingga tanpa sengaja melihat semut di dinding tadi, tiba-tiba berbalik dan berjalan ke dinding atas lagi.
Tidak normal bagi semut yang mengandalkan indra penciuman untuk tiba-tiba berbalik ke jalur berbeda dari sebelumnya seperti itu. Terlebih lagi, setelah dilihat secara mendetail dengan lensa berteknologi tinggi yang Isarra pakai, semut itu tidak memiliki organ dalam, tapi terbuat dari besi super murni yang per-kilonya memiliki harga setara dengan belasan apartemen mewah di pusat kota.
Jadi, dengan wajah bersungut-sungut, Isarra berujar tidak terima. "Kakak pertama curang," gerutunya dengan kesal.
Pintu yang semula nampak terbuat dari kayu itu, tiba-tiba memunculkan wajah Theonard yang sedang fokus bekerja. Tanpa menatap pada layar transparan, Theo menjawab gerutuannya dengan satu kata: "Payah."
Isarra seharusnya merasa tidak heran lagi. Sejak ia kecil, kakak pertama yang merupakan anak dari istri penguasa rumah itu memang tidak pernah baik padanya. Dia selalu membenci Isarra, tidak peduli apapun yang Isarra lakukan.
Tapi, tetap saja, meski telinganya terbiasa mendengar kata hinaan menyakitkan seperti ini, hati Isarra tidak pernah menjadi kebal. Dia tetap saja merasa sakit hati, hingga ingin menangis.
"Apa yang kau inginkan kali ini? Katakan dengan cepat dan jangan membuang waktuku lagi." Theo berujar ketus untuk kedua kalinya, tidak peduli dengan wajah menyedihkan anak kelima itu.
Isarra menyeka air matanya dengan manual -maksudnya menggunakan tangan, bukan teknologi tinggi- dan menjawab, "Ini berkaitan dengan permintaan yang aku sebutkan kemarin."
"Tentang listrik itu?" tanya Theo dengan nada yang tidak seketus sebelumnya. Dia memang lebih jinak pada Isarra, jika yang dibahas adalah teknologi.
"Mm-mm." Isarra mengangguk. Dia kemarin memang menemui Theo, dan meminta diskusi mengenai perkara ini. Tapi, saat ia tiba, layar proyeksi langsung mencegahnya masuk, dan menunjukkan jadwal Theonard pada hari itu; memeriksa alat pengendali magma di gunung Semeru.
Isarra yang tahu kalau pekerjaan Theo tidak mungkin berakhir dengan cepat, memutuskan untuk kembali lain hari.
"Ada yang mengganggu pikiranku mengenai hal itu, Kakak Pertama." kata Isarra dengan kening mengernyit bingung. "Logaritma secara keseluruhan sudah aku selesaikan pagi ini bersama organisasi ilmuwan di seluruh dunia, tapi masih ada terasa janggal. Jadi, jika Kakak Pertama berkenan, aku ingin meminta saran Kakak Pertama mengenai masalah ini.
Jika dilihat, wajahnya akan tampak menggemaskan, tidak peduli meski beberapa fitur sudah menunjukkan perbedaan karena Isarra mulai beranjak dewasa. Semua orang pasti menjadi terenyuh, dan tidak tahan untuk menolak apapun permintaannya.
Namun, semua hal di dunia ini pasti ada pengecualian. Dan itu tak terkecuali mengenai keimutan yang dimiliki Isarra. Tidak ada orang yang tahan dengan keimutannya, kecuali kakak pertama.
Bahkan, jika Isarra menunjukkan keimutan secara sengaja didepan Theo, dia tidak berkutik sedikitpun, dan malah menutupi wajahnya dengan topeng tertentu yang dibuat dari sinar di kancing lengannya.
"Wajahmu mengganggu pemandangan," adalah yang Theo ucapkan saat itu, ketika Isarra protes meminta topeng itu untuk dilepaskan.
Kembali lagi ke masa sekarang.
Mendengar permintaan Isarra, Theo jadi mengalihkan pandangannya dari pekerjaan, dan langsung menatap layar transparan yang menjadi media komunikasi diantara mereka.
Dengan wajah datar, Theo menggeleng padanya. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, karena teknologi itu tidak akan digunakan."
Isarra tersentak kecil. "Bagaimana mungkin?" tanyanya, dengan nada terkejut. "Ayah sudah setuju dengan teknologi yang aku usulkan, Kakak Pertama. Ayah bahkan sudah menandatangani surat persetujuan, dan baru akan aku kirimkan ke kantor ilmuwan penemu sore nanti. Bagaimana mungkin itu tidak jadi dipakai?"
Theo mengangkat sebelah alis, dan menatapnya dengan sorot heran. "Apakah hal sesederhana ini masih perlu aku jelaskan, Putri Kelima?"
Panggilan 'pertama' dan 'kelima' yang Isarra dan Theo sebutkan bukan merupakan urutan lahir, melainkan pangkat yang diberikan oleh ayah mereka, sang Raja teknologi. Theonard Nevan menjadi yang pertama, karena selain dia merupakan penerus, Theo juga anak yang dilahirkan dari rahim istri pertama Raja, sang Permaisuri Matahari. Sedangkan Isarra harus rela menjadi yang kelima saja, karena dia belum pernah memberikan hasil yang luar biasa dari usahanya, dan Isarra juga lahir dari istri ayahnya yang paling sering dilupakan, karena lebih suka menyendiri.
Mendengar pertanyaan bernada merendahkan dari Theo, Isarra terdiam, merasa tersinggung. Mukanya jadi terlihat kesal, dan semakin menambah kadar keimutannya.
Tapi Isarra tidak berkata apa-apa, karena dia masih penasaran dengan alasan dibalik dibatalkannya teknologi itu. Karena kalau dia berbicara lagi, Theo pasti tersinggung, dan tidak mau mengatakan apa-apa sampai Isarra meninggal di usia tua nantinya.
Seperti dugaannya, Theo langsung menjelaskan setelah ia hanya diam.
"Listrik tanpa media itu memang bagus, tapi akan terlalu beresiko jika digunakan di bulan. Berbeda dari listrik tanam yang memiliki arah beraturan karena didesain dengan mempertimbangkan gravitasi, listrik tanpa media itu akan menghasilkan medan tertentu, yang dalam perkiraan, bisa menarik beberapa planet untuk saling berbenturan." kata Theo dengan dingin. "Jadi, dengan mempertimbangkan semua aspek itu, apakah kau tetap akan meluncurkan teknologi itu, Putri Kelima?"
Jika ia tetap memaksa teknologi itu rilis, maka Isarra akan mengorbankan ribuan nyawa manusia yang terkena dampak dari ledakan planet. Dia memiliki hati yang murni, dan tidak akan tega untuk melakukan itu.
Pada akhirnya, setelah tertegun sejenak, Isarra berujar, "Terima kasih atas penjelasannya, Kakak Pertama. Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya."
"Jadi kau akan menyerah dengan mudah?" tanya Theo.
Isarra segera menggelengkan kepala, hingga rambutnya yang di kuncir kuda menggunakan ikat rambut tanpa teknologi, mengayun mengikuti gerakan. "Tidak mungkin, Kakak Pertama. Aku akan memperbaiki teknologi itu, dan menghilangkan kemungkinan munculnya medan penarik planet sesegera mungkin."
Dia sangat bernafsu pada pembangunan di bulan ini, karena Isarra ingin membeli rumah terbesar disana nanti. Dia merasa tidak cukup memiliki rumah di Mars, Jupiter, dan Saturnus saja. Isarra ingin mencoba suasana baru di bulan.
Jadi, demi teknologi yang bisa mempercepat pembangunan ini, bagaimana mungkin Isarra akan menyerah dengan mudah?
Kemudian, ketika Isarra sangat bertekad untuk melanjutkan penelitian, suara acuh tak acuh Theo terdengar.
"Kau tidak akan bisa menyelesaikan teknologi itu. Terlalu rumit. Sadari kapasitasmu, Putri Kelima."
Isarra merasa amat tersinggung karena diremehkan. Tapi, sebelum dia sempat membalas perkataan Theo, alarm yang ada di lensa yang Isarra kenakan berdering, dan menunjukkan sinar merah.
Hal yang sama terjadi di ruangan Theo. Alarm berwarna merah muncul, dan berkedip dengan cepat.
Teknologi itu diciptakan oleh Kakak Kedua, dan memiliki kerumitan yang sangat memukau. Alarm tersebut hanya akan berdering ketika seseorang dalam anggota keluarga berada dalam bahaya.
Satu kedipan sinar merah berarti yang berada dalam bahaya adalah anak pertama, dua kedipan sinar untuk anak kedua, tiga kedipan sinar untuk anak ketiga, dan berlanjut terus hingga yang terakhir, anak kedelapan.
Tapi, kedipan itu tidak berhenti hingga delapan saja, melainkan terus dan seolah tanpa akhir.
Dan itu hanya berarti satu hal: bahwa yang berada dalam bahaya adalah Raja, empat permaisuri, dan seluruh selir yang ada di harem.
***
Pintu ruang kerja Theonard yang semula menghalangi Isarra untuk masuk tiba-tiba terbuka lebar. Theo keluar dari sana dengan terburu-buru, dan segera menyambar lengan Isarra.
"Kita akan menggunakan teleportasi agar cepat tiba." kata Theo sembari mengaktifkan teleportasi yang ada di dekat pintu.
Sekali lagi, sebelum Isarra sempat merespon, Theo langsung menyambar lengan putri kelima itu, dan membawanya masuk.
Hanya dalam hitungan detik, mereka sampai di istana utama, yang seharusnya berjarak puluhan kilometer dari ruang kerja Theonard tadi.
"Kakak Pertama, apa yang terjadi?"
Ketika tiba, sudah ada anak kedua, ketiga, dan seterusnya di halaman istana. Wajah semua orang menunjukkan kecemasan yang sangat. Anak kedelapan, yang panik sehingga tidak bisa berpikir, langsung bertanya hal itu pada Theonard.
Theo menggeleng, dan wajahnya makin terlihat keruh. "Mari kita lihat." katanya, sembari berjalan lebih dulu dan melepaskan pegangan tangannya pada Isarra.
Tidak ada yang memperhatikan mengapa Theo yang benci pada Isarra tiba-tiba membawa serta anak kelima itu. Semua orang terlalu panik pada orang tua masing-masing, sehingga tidak peduli pada hal lain.
Wajah Theo masih dipenuhi kebencian ketika melewati pintu utama dengan hening. Pertanyaan dari anak kedelapan itu memang menusuk ke egonya, karena sampai saat ini, Theo belum berhasil menciptakan cctv tanpa batas, yang bisa merekam semua kegiatan anggota keluarganya.
Selain Theo yang tampak amat tersinggung, semua orang sangat waspada. Alarm yang dibuat anak kedua menyala dengan kecepatan penuh seperti itu, yang hanya berarti satu; bahwa bahaya yang mengintai memang benar-benar hebat. Tidak ada yang berani untuk menyepelekan hal itu, tidak terkecuali Isarra sendiri.
Ketika anak ketujuh dan keenam berpegangan tangan karena takut, suara ledakan tiba-tiba muncul dari lantai dua.
Theo spontan berhenti melangkah, dan yang lain berhenti tepat dibelakangnya.
"Waspada," kata Theo, dengan kening berkerut dalam. Wajahnya tidak lagi menunjukkan kalau dia tersinggung, melainkan sedang dipenuhi kekhawatiran sekarang.
Anak kedua, yang sedari tadi sibuk pada gadget transparannya, segera berujar, "Aku sudah menelusup pada sistem keamanan di ruangan pribadi Ayah, dan menemukan Paman menyeret pedang berteknologi asing."
Theo menoleh, dan tatapan tajamnya mengarah pada anak kedua. "Siapa yang kau maksud?"
Sedang yang lain langsung tersentak, dan berasumsi di dalam pikirannya masing-masing. Namun, semua asumsi sama, yaitu dugaan terburuk dari yang paling buruk.
Anak kedua menjawab secara tidak langsung pertanyaan Theo. "Tujuh puluh lima persen dugaanku, Paman sedang melakukan pemberontakan." katanya, tanpa menunjukkan ekspresi berarti.
Dan jawaban anak kedua menegaskan dugaan buruk mereka semua.
Isarra tidak mengatakan apa-apa, tapi merasa sangat panik. Dia mencoba berpikir jernih dan mencari cara menggunakan teknologi dari lensa di matanya. Tapi, ketika Isarra nyaris bisa menelusup masuk di pertahanan ruangan lain istana utama ini, sesuatu tiba-tiba memblokir teknologi lensanya, membuat eror seketika.
"Ah," Isarra mengaduh, dan segera melepas lensa dari mata kirinya itu, sebelum menyakiti pupilnya.
Karena seruan tertahannya itu, semua pasang mata yang sedang cemas spontan menatap pada Isarra dengan kesal. Mereka -kecuali anak ketiga- sedang berpikir bahwa Isarra hanya melakukan sesuatu yang sia-sia, ketika Theo tiba-tiba berujar dengan nada marah. "Segera hancurkan semua teknologi yang kalian bawa, karena virus berbahaya sedang menyerang dengan kecepatan tinggi."
Setelah Theo mengatakan itu, semua orang, tak terkecuali Theo sendiri, mulai melepas semua teknologi yang dibawa, dan menghancurkannya.
Barang-barang yang hancur semula hanya berupa lensa, pulpen, anting, bando, kalung, jam tangan, cincin, atau barang-barang kecil lain, sampai anak ketiga, Regarda Nevan, tiba-tiba melepas bajunya, dan membakar benda itu dengan pemantik api, yang juga berteknologi tinggi.
Api mulai membumbung tinggi, dan Regar juga ikutan melempar pematik apinya, hingga meledak di kobaran api.
Meski sangat tidak lazim ada orang yang mendesain teknologi menjadi baju, tidak ada yang terlihat heran dengan itu, karena anak ketiga tidak pernah menjadi 'lurus' seperti orang lain.
"Kita semua kembali ke peradaban kuno sekarang." gumam anak ketiga, penuh penyesalan. Dia berjalan ke arah Isarra, dan memeluknya dari belakang. "Jangan khawatir, Arra. Meski tanpa teknologi, Arda ini akan melindungimu sekuat tenaga."
Dalam dekapannya, tubuh panik Isarra menjadi sedikit lebih tenang. Isarra mengangguk dengan patuh. "Ya, adik kelima mengerti, Kakak Arda."
"Kau bahkan tidak bisa bertarung melawan singa mekanik, Regar, tapi bisa sombong seperti itu." cibir anak ketujuh. Dia memang selalu menjadi pembenci nomor satu Regar, tidak peduli apapun yang anak ketiga itu lakukan.
Regar tidak menyahut, bukan karena takut. Tapi, disekitar mereka saat ini, udara kosong tiba-tiba berubah bentuk, menjadi dinding putih.
Kedelapan anak itu sempurna terisolasi dari dunia luar, di dalam 'kotak' putih itu.
Anak ketujuh, yang merupakan anak perempuan lain selain anak kedua dan anak kelima -Isarra- seketika bertanya dengan panik. "Apa yang terjadi?"
Anak kedua mengepalkan tangannya dengan dendam. "Paman mengunci kita,"
"Kenapa Paman melakukan itu? Kenapa dia memberontak? Padahal kita berlaku sangat baik pada Paman. Aku bahkan menganggapnya seperti ayah sendiri, sampai membuat Ayah kita merasa marah." Anak kedelapan bergumam sedih dalam pelukan anak ketujuh.
Theo berdecak kasar. "Bukan waktunya untuk menangis, Ilal."
Reiqina Nevan -Qina- spontan membekap mulut Ilalang Nevan -adik dari ibu kandung yang sama. Sebagai anak ketujuh yang jauh lebih tua dari anak kedelapan, Qina mengetahui dengan jelas betapa sadisnya Theo.
Padahal Qina setahun lebih tua dari Theo, tapi dia tetap merasa segan luar biasa pada anak pertama itu.
Isarra menatap Qina dan Ilal sejenak, lantas mengedarkan pandangan pada sekeliling lagi.
"Paman?" Isarra memanggil sang Paman dengan gerakan bibir, tanpa ada suara yang terdengar. Itu dia lakukan karena tahu Paman sedang mengawasi mereka semua.
Dia nekat melakukannya, karena tanpa orang lain tahu, bahwa Isarra menjadi orang yang paling dekat dengan Paman.
Isarra berkata tanpa suara lagi, "Kenapa Paman melakukan ini?"
Jawaban Paman tiba tidak lama kemudian, memakai teknologi penghantar suara khusus, yang hanya mencapai telinga Isarra. "Kamu akan tahu nanti,"
Setelah itu, Isarra tidak bertanya lagi, karena tahu pertanyaannya tidak akan dijawab Paman untuk kedua kalinya.