Mataku melihat dalam gelap, bibirku merapal doa dalam sunyi,
tubuhku terinjak kaki musafir kelaparan, layu sudah.
1995....
Sri mengelap peluh yang mengalir dari keningnya. Suasana pasar sudah sangat ramai, bau ikan asin, sayuran, serta berbagai aroma khas pasar menggelitik hidungnya. Tahun ini makin banyak saja yang mempunyai kendaraan bermotor. Parkir sepeda jadi lebih susah karena harus mengatur motor-motor bising itu, Sri membatin.
“Letakkan saja di dekat tiang listrik, nanti saya rapikan barisan sepedanya!” ucap Sri pada seorang ibu berkaus biru muda bercorak bunga mawar.
“Terima kasih,” sahut si pemilik sepeda jengki.
Sri duduk di atas tumpukan karung berisi pasir. Matanya melotot, ia melihat ibunya keluar dari pintu pasar. Buru-buru Sri bangkit dan berlari menyelinap masuk ke warung kelontong milik Pak Abu. Tas selempang yang ia bawa bergelayutan menyenggol pinggul. Tas itu berisi uang receh dan terkadang digunakan untuk menyimpan kartu remi.
“Ada apa, Mbak?” tanya Pak Abu.
“Ibu saya baru keluar dari pasar, bisa gawat kalau dia melihat saya jadi tukang parkir dengan pakaian seperti pria begini,” Sri membungkuk dan mengintip dari sela-sela pintu warung.
Pak Abu menggelengkan kepala melihat tingkah Sri. “Kau itu wanita, dan kau kini memiliki penampilan seperti pria. Perangaimu itu sungguh menyenangkan dan selalu ceria. Biasanya kau akan menguncir rambut seperti ekor kuda, tetapi hari ini berbeda.”
“Saya telah memangkas pendek rambut ini. Terasa jadi lebih longgar karena rambut sudah pendek layaknya rambut pria. Saya leluasa mengenakan topi lalu meniup peluit; jadi tukang parkir hari ini di depan pasar. Kalau besok saya pasti akan berada di sawah mengangkut karungan padi. Anda jangan bilang pada ibu saya.” Sri berucap setengah berbisik.
“Kau ini, Sri-Sri! Srigading-Srigading.” Pak Abu geleng-geleng. “Tenagamu bak kuda yang tak kenal lelah. Lebih baik kau jadi kuli tetap di tokoku saja.”
“Gampang. Jangan jangka panjang, saya mudah bosan. Bekerja apa saja akan saya lakukan asal bisa makan dan membantu keuangan Ibu, Pak,” sahut Sri.
Hari-hari ia lalui dengan penuh rasa syukur. Mengantar barang, mengikuti proyek membangun saluran air, angkat batu, angkat karung semen—Sri kerjakan tanpa mengeluh.
***
Mentari merayap turun di sisi barat dan sebentar lagi akan Magrib. Sri berlari menyusuri lorong pasar yang telah sepi. Empat pria mengekor di belakang. Suara kaki Sri seperti kasut kuda yang membentur tanah. Ia terus berlari masuk jauh hingga belakang pasar.
Dadanya berdentam-dentam, napasnya memburu. Jalan buntu, ke kanan ada pintu keluar, tetapi para pria yang mengejarnya makin mendekat. Sri buru-buru menikung tajam dan keluar menuju belakang pasar—kebun pisang. Tembok beton menjadi pemisah antara pasar dengan kebun pisang itu. Komplotan pria terus mengejar dan makin cepat, alhasil salah satu pria berkepala plontos berhasil menarik kaus yang dikenakan Sri.
“Lepaskan! Kalian mau apa, huh!” Sri meronta.
“Jangan pura-pura bodoh! Bersenang-senanglah dahulu dengan kami.” Celetuk pria gundul yang tadi menarik kaus Sri.
“Berengsek! Akan kulaporkan kalian pada polisi karena melecehkanku!”
Para pria itu tergelak, mereka lalu menjatuhkan Sri ke tanah. Salah satu pria memegangi kedua tangan Sri. Sedangkan, pria gundul tadi membungkuk lalu jongkok di depan Sri. “Polisi katamu?”
Empat pria itu bersamaan tertawa terbahak-bahak. “Lihat! Dia anggota polisi, jadi kau mau lapor pada polisi mana?” Si Gundul menunjuk pria berbadan tegap yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dada.
“Polisi?” tanya Sri.
“Ya. Dia bandar togel, bahkan semua wanita murahan seperti dirimu juga ia punya koleksinya, kami tinggal pakai. Tak hanya itu, semua jenis miras dan obat-obatan akan aman dalam lindungannya. Jadi, jangan malu-malu kucing lagi, semua aman. Jangan pedulikan soal hukum, polisi ini akan melindungi kita.”
Sri langsung meludah tepat di wajah si gundul. Pria gundul itu naik pitam, ia mengayunkan tangan dan mendamprat pipi Sri. Pria yang memegangi Sri kehilangan fokus dan melepaskan tangan Sri. Buru-buru Sri meronta dan berdiri. Sri merogoh tasnya, ia ingat—ada benda yang bisa menggertak para begundal itu. Mendadak ia telah menodongkan sebuah pistol ke arah para pria.
“Hei! Jangan bergurau!” Si Gundul kaget nyaris memekik.
Namun, pria lainnya justru tertawa termasuk si Polisi. Polisi itu mengenakan kaus hitam dan memaki topi. Ia melangkah mendekati Sri sambil tersenyum. “Sudahlah, jangan mencoba mengancam. Mana mungkin kau punya senjata sungguhan. Penampilanmu seperti pria tetapi tubuhmu tak bisa berbohong, kau memiliki tubuh sintal binti seksi bin menggoda.”
“Aku serius akan menarik pelatuknya jika kalian terus mendekat, ini bukan mainan!” Sri menyeringai.
Si Polisi terus mendekat sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kepala. “Mana mungkin itu pistol sungguhan. Kepemilikan senjata bagi rakyat biasa sulit dilakukan di negara ini. Kau tak bisa menipuku.”
Mereka terus tertawa, Si Gundul yang tadi sempat kaget juga bangkit dan ikut menertawai Sri. Mendadak, salah satu pria menubruk Sri, ia menarik kaus yang dikenakan Sri hingga kaus itu robek tepat pada bagian lengan. Sri memberontak dan berusaha melepaskan diri.
“Jangan keras kepala! Aku serius akan menembak kalian,” suara Sri melengking.
“Hei. Kemarilah, Gadis Manis. Jangan mengancam dengan pistol mainan itu. Tak ada gunanya,” Si Polisi makin mendekat dan berusaha meraih tangan Sri. Senja makin tenggelam dan membuat sekitar jadi lebih muram.
Tampaknya Sri masih ragu apakah ia akan menarik pistol itu atau tidak. Ia tak mengerti apa itu hanya pistol mainan atau bukan. Namun, rasanya benda itu sangat berat. Satu detik, dua detik, polisi itu telah meringkus tangan Sri. Tubuh mereka berdua ambruk, Si Polisi berusaha melucuti pakaian yang dikenakan Sri. Namun, dengan sigap dan tenaga yang kuat, Sri menendang pria itu. Buru-buru Sri bangkit dan mengambil pistol yang tadi jatuh ke tanah.
Si Polisi makin beringas dan berusaha menubruk Sri. Seketika itu suara memekakkan telinga terdengar. Dor! Sri menarik pelatuk pistolnya. Si Polisi ambruk—tersungkur di tanah. Kepalanya tertembus peluru panas. Telinga Sri dan para pria berdenging bagaikan dengingan nyamuk, nging... amat keras.
Mendadak, suasana menjadi sangat hening, para pria lainnya saling menatap dan gemetaran. Telinga mereka belum berhenti dari berdenging. Sri terdiam, jantungnya seakan melambat dan otaknya mencoba memproses yang terjadi, ia mengingat barusan menarik pelatuk pistol dan rasanya amat berat. Aku belum pernah berlatih menembak, batin Sri.
Tangannya yang sudah sering bekerja keras, mengangkat barang-barang berat, mengaduk semen dan pasir, masih terpental karena letupan dari senjata api itu, berat sekali, dari jarak satu meter, sedekat itu, peluru sedikit melenceng mengenai dahi sisi kiri sang polisi lalu menembus ke belakang. Bukan seperti pistol yang seolah enteng atau mudah ditembakkan seperti dalam film-film. Karena terdesak itulah mungkin peluru bisa mengenai kepala si polisi yang hendak memerkosanya. Kram, berat, tangannya seperti terpelintir karena senjata sungguhan nan ganas dan beringas itu. Wajah Sri memucat ketakutan.
Si Gundul nyaris tak bisa bergerak karena lututnya juga terus gemetar “Ter ... ternyata itu pistol sungguhan,” ucapnya.
Sri terdiam dan mayat polisi itu terbujur di hadapannya. Para pria yang lain lari tunggang-langgang, mereka kabur meninggalkan tempat tersebut. Suasana kebun menjadi mencekam diiringi suara jangkrik, mentari perlahan turun, suara dengungan dari nyamuk-nyamuk mulai menghiasi telinga.
Hanya ada hamparan sampah di sekitarku, aroma pasar tradisional sangat khas menyeruak ke dalam lubang hidung. Aku jatuh terduduk di belakang pasar—terpisah tembok beton yang berlumut dan dikelilingi pohon-pohon pisang. Buku-buku jariku berkeringat, tangan gemetar tak karuan. Aku baru saja menembak seorang polisi, kepalanya tertembus peluru. Apa aku sekarang adalah seorang penjahat?
Sri masih terdiam dengan tatapan kosong hingga senja larut, suara azan berkumandang saling bersahut-sahutan. Dua orang warga datang—dan makin banyak warga yang berkerumun, kebun pisang itu telah ramai—pembunuhan di belakang pasar—berita besar akan tersebar. []
***
*Cerita ini fiktif, sebagian latar memang berasal dari fakta yang hanya diperuntukkan guna keperluan jalan cerita. Segala konflik, alur, dan tokoh hanyalah rekaan semata.