Sandra Stefani Sanjaya
JIKA HARI INI BUKAN hari ulang tahun Evan dan saudara kembarnya, gadis kecil itu takkan mau menggenggam tangan papanya dan berjalan menyelusuri lorong rumah sakit. Tersenyum manis kepada para suster yang menyapa mereka dengan sapaan penuh hormat.
Gadis yang baru genap sembilan tahun itu benci rumah sakit. Aroma yang khas, perpaduan antara bau alkohol dan antiseptik, membuat perut gadis itu mual.
Pasangan ayah dan putri itu berdiri di depan ruang inap VVIP, dengan papan nama Evelyn Grace Sanjaya. Dengan dua orang pria berbadan besar, bersetelan baju hitam-hitam berdiri di dua sisi pintu itu, membungkuk penuh hormat, lalu mempersilahkan masuk kepada Evan maupun gadis kecil itu.
Suara elektrokardiograf yang bergema di ruangan bernuansa merah muda itu menyambut kedatangan mereka. Mata Evan langsung tertuju pada wanita yang berada di ranjang kamar inap itu. Tubuh wanita itu dipasangkan berbagai selang dan peralataan medis yang menempel di seluruh tubuhnya.
Seorang wanita setengah baya menoleh ke mereka, bangkit dari sofa kuning gading yang ada di depan jendela kamar inap mewah itu.
“Oma…” wajah gadis itu cerah ketika melihat neneknya sudah ada di kamar inap itu. Sang nenek itu merentangkan kedua tangannya dan membungkukan sedikit badannya. Gadis kecil itu berlari riang dan memeluk erat Oma Eva. Wanita yang paling dia sayang, selain maminya.
Sementara Evan berjalan mendekati ranjang yang ditiduri oleh saudara kembarnya. Mata wanita itu terpejam dengan tenang. Bahkan saat Evan mendaratkan kecupan di kening kakak kembarnya, wanita itu sama sekali tak merespon apa pun.
“Selamat ulang tahun Evelyn Sayang. Lihat apa yang gue bawa…” Evan menunjukan sebuket bunga matahari, yang merupakan bunga favorit kembaranya itu. Evan tersenyum, walaupun hatinya terasa teriris, karena saudara kembarnya masih sama setiap kali dia datang menjengguk. “Gue kangen ngobrol sama lo. Lihat siapa yang datang sama gue, keponakan lo. San-San sudah besar sekarang. Wajahnya mirip sama lo waktu kita seusianya. Dia jadi anak yang ceria, bawel, dan sangat aktif. Sukanya baca buku cerita dan mengambar, kayak mamanya.”
Pandangan gadis itu terahli ke Evan. Wajah ceria berubah jadi mendung, seakan kesedihan Evan tersedot kepadanya. Mata San-San mulai berkaca-kaca. Sandra kecil tak pernah diberitahu mengapa bibinya itu bisa terbaring di ranjang rumah sakit itu. Sejak kecil, bahkan sebelum gadis itu dan saudara kembarnya dilahirkan, Evelyn sudah berada di sini dengan kondisi terlelap, tanpa pernah terbangun, walaupun hanya sebentar saja.
“Oma!” lirih Sandra.
“Ya, Sayang!” sahut Oma dengan lembut.
Mata wanita itu juga ikut berkaca-kaca. Putranya masih berharap, putrinya bisa membuka mata dan kembali berkumpul bersama mereka. Walaupun itu tidak mungkin. Evelyn tak ubahnya seperti tubuh tanpa jiwa. Denyut nadi dan jantungnya bekerja dengan baik, namun otak dan hatinya sudah lama mati.
“Kapan Tante Evelyn bangun? Papa sedih tiap kali datang ke sini, San-San juga ikut sedih,”
Oma tersenyum tipis, berusaha keras tak menjatuhkan air matanya. Kepalanya menggeleng, tidak ingin memberikan harapan yang semu. “Tante Evelyn tidak akan bangun lagi, Sayang. Tante Evelyn tengah menunggu seseorang yang membantunya pergi ke tempat yang indah.” Tangan Oma Eva membelai lembut rambut ikat Sandra yang sudah mendapai pundak.
Wajah Sandra tiba-tiba berseri, “Tante Evelyn butuh pangera, Oma. Pasti Tante bangun lagi.”
Oma Eva tercenung. Evan pun menoleh dan tersenyum, terhibur akan ucapan polos Sandra. Yang sama sekali tak tahu apa penyebab hingga Evelyn seperti ini.
“Kemarin malam, sebelum tidur Mama cerita Sleeping Beauty. Namanya Putri Aura yang tertidur panjang sekali, jarinya ditusuk jarum oleh penyihir jahat. Hingga bertahun-tahun, sampai istana penuh dengan rumput-rumput yang tinggi sekali. Suatu hari, seorang pangeran tampan datang, masuk ke istana dengan memotong rumput-rumput itu. Pangeran Philip namanya, dia melihat Putri Aura sedang tertidur. Pangeran Philip mencium putri Aura. Kemudian, Putri Aura bangun. Mereka langsung saling jatuh cinta lalu menikah. Melahirkan anak kembar seperti Oma dan Mama,” cerita Sandra penuh semangat, matanya berbinar penuh pengharapan.
Oma Eva tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Oma berjongkok menamai tinggi cucunya itu, membelai rambut Sandra, “Bukan pangeran, Sayang. Tapi, seorang gadis tangguh yang punya jiwa sekuat baja dan berhati tulus.
“Seorang gadis tangguh?” ulang Sandra dengan ekspresi polos. Namun, entah alasan apa, jantungnya berdebar-debar. “Siapa?”
“Aku,” jawab seseorang di belakang Sandra. Nadanya mantap dan penuh keyakinan.
Sandra menoleh, tak menyadari seorang gadis seusianya dengan wajah yang tertutup topi bisbol hitam masuk dan berdiri berhadapan dengan Sandra.
Suasana berubah menjadi tegang. Sandra menatap gadis itu dengan ekspresi ketakutan. Memegang tangan Oma Eva erat-erat.
Naomi Kamui Santoso
Ini hari Sabtu.
Gadis kecil itu berharap Caleb akan mengajaknya pergi ke Jakarta. Namun ayah sekaligus orang tunggal Naomi itu sedang mengancingkan seragam Samapta Bhayangkara (Sabhara) di depan sebuah kaca yang menempel dengan lemari. Itu artinya Caleb tak dapat mewujudkan harapan Kamui.
Ini hari Sabtu, semua lebih tepat setahu gadis yang tiga bulan lagi menginjak usia enam tahun itu jika…
“Papa Mama temen Naomi semua libur di hari Sabtu dan Minggu. Kok, Daddy nggak libur?” tanya polos Naomi dengan mulut yang dimajukan beberapa sentimeter. Menatap tajam, penuh dengan ekspresi kecewa.
Caleb mendesah, raut wajah sedih dan merasa bersalah. Membalikan badannya, menatap putri sematawayanng yang duduk bersila sambil memeluk boneka kelincinya di atas ranjang.
“Minggu depan Papa janji akan minta libur sama atasan Papa. Kita pergi ke rumah Opa dan Oma.” janji Caleb.
Naomi menggeleng, “Naomi mau sekarang! Naomi bosen di rumah sendirian.”
“Kan ada Bi Surti. Atau ajak Bi Surti ke mol. Cantik ingin makan apa? Atau mau beli buku, atau beli pakaian baru?”
“Naomi mau sama Papa. Naomi nggak butuh makanan yang enak, Naomi nggak butuh buku cerita baru, atau pakaian baru. Naomi mau sama Papa. Terserah mau ke mana aja atau di rumah aja, juga boleh. Asal sama Papa,” ucap Naomi dengan nada riang, berharap ayahnya akan menanggalkan seragam polisi dan menganti baju biasa.
Kaki jenjang Caleb mendekati ranjang, duduk di samping putrinya dengan bersila seperti yang Kamui. “Papa abdi negara, Cantik. Negara butuh Papa untuk menjaga dan melindungi negara ini.”
Naomi mendesah. Sudah bosan dengan ucapan Caleb. “Andai ada Mama, Naomi pasti nggak akan kesepian seperti ini. Mama bisa temenin Naomi pergi ke rumah Oma dan Opa. Main sama Debby dan Daniel. Naomi kangen Mama, Papa!” raut wajah bocah cantik itu menjadi sedih.
Caleb pun ikut sedih. Bayangan perempuan dewasa berambut ikal sedaun telinga dan berwajah cantik yang menurun kepada putri kecilnya terlintas di minta tanpa diminta. Mengingat senyumnya. Keras kepala. Dan suara yang manja bila meminta sesuatu. Bukan hanya wajah yang menurun, tapi juga sifat dan karakter wanita yang dia cintai sejak pria itu masih menggenakan seragam putih-biru tua.
“Pa, sebenarnya Mama di mana? Kenapa Mama nggak pulang-pulang?” tanya Naomiyang sebenarnya sangat ingin bertemu wanita yang telah melahirkannya.
Caleb menarik tubuh Naomi ke dalam pelukannya, “Doakan terus agar Mama segera pulang. Papa juga rindu Mama!” air mata Caleb jatuh ke pipi.
“Jangan menangis, Pa!” ucap Naomi mengusap air matan di pipi Caleb. Dengan penuh kasih sayang.
Caleb tersenyum, “Papa janji…” Caleb menunjukan kelingkingnya. “Minggu depan kita ke Jakarta. Jumat malam kita berangkat. Kamu bisa bermain dengan Debby dan pacarmu, Daniel,” goda Caleb mengacak-ngacak rambut Si Cantik Kesayangannya.
“Ihh… Papa. Aku dan Daniel masih kecil. Kata Oma nggak boleh main pacar-pacaran. Nanti kalau gede!” elak Naomi polos. Namun, wajahnya sedikit merona. Naomi kecil tak tahu jika nama Daniel disebut, jantungnya berdebar-debar.
Naomi melihat kelingking ayahnya di depan wajahnya. “Pa, jika kelingking kita disatukan, itu artinya Papa nggak boleh ingkari janji, lho.”
Caleb mengangguk. “Janji adalah hutang. Tentu harus ditepati. Dad, janji.” Tukas Caleb.
Wajah riang Naomi terbit dengan semangat dan penuh kasih sayang, kedua tangan mungilnya melingkar di perut Caleb yang kekar.
Mata Caleb kembali berkaca-kaca, matanya terahli ke bingkai foto yang terpasang di dinding kamarnya, foto sepasang pengantin yang sedang tersenyum bahagia dengan mata yang berbinar ke arah kamera.
Kita pernah berjanji untuk hidup sehidup semati. Berjalan bergandengan tangan dalam suka maupun duka. Tapi, kamu meninggalkanku dan buah cinta kita.
Apa kabar kamu di sana? Kapan kamu kembali dan berada di tengah-tengah keluarga kecil kita. Lihat, putrimu sudah besar. Dan dia masih merindukanmu dan mencarimu.
Dea… suatu saat dia akan bertanya di mana mamanya Putri kita itu gadis yang pintar. Cepat atau lambat dia pasti akan tahu keberadaanmu. Apalagi dia mulai merasa jika dia berbeda. Berbeda dariku, orang tua kita, dan teman-temannya.
Aku selalu takut jika suatu saat ‘perbedaan’ nya membuatnya masalah besar. Tapi.. kamu pernah bilang... perbedaannya yang akan menyelamatkannya dari orang-orang yang dulu mengincarmu dan Everlyn.