Apa yang lebih menyakitkan daripada sebuah kehilangan?
Ketika kamu tahu kalau kamu sendirian dan harus hidup dengan kenyataan itu.
Nirmala memandangi gate Festival Patah Hati yang berdiri kokoh di hadapannya dengan gamang. Di balik gate tersebut, terdapat area yang cukup luas untuk menampung tiga panggung dengan jarak yang cukup jauh supaya masing-masing panggung tidak mengganggu area panggung lainnya.
Malam itu adalah hari terakhir Festival Patah Hati—festival musik yang diselenggarakan dengan mengundang banyak band yang berjaya di tahun 90-an hingga 2000-an dan lagu-lagunya terbiasa jadi anthem untuk mereka yang sedang patah hati, galau merana, atau bahkan sedang jatuh cinta.
Festival ini seperti menggabungkan dua generasi yang berbeda tapi dengan tema yang sama—patah hati.
Festival bernuansa nostalgia itu didatangi banyak orang dari berbagai kalangan, karena pada dasarnya musik-musik dari musisi yang hadir memang menyentuh semua kalangan.
Harusnya aku nggak dateng sendirian ke sini, pikir Nirmala sambil berjalan masuk dan beranjak ke area panggung ketiga di sayap kiri. Tiga panggung itu terletak di tiga area yang dekorasinya berbeda dengan tema dan namanya yang juga berbeda.
Nirmala berjalan menuju area yang diberi nama ‘Masa Lalu’. Area itu sama penuhnya dengan area lain dan kini sedang dihibur oleh salah satu band hits yang pembelian albumnya mencapai jutaan kopi dalam kurun waktu kurang dari sebulan di awal 2000-an.
Nirmala suka lagu mereka, cocok didengarkan kapan pun dan di mana pun. Namun, band favoritnya (yang jadi salah satu alasan Nirmala ke sini), belum waktunya tampil.
Dengan cepat, Nirmala mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mengirim pesan pada Arimbi, sahabatnya yang berjanji akan datang menyusul ke sini untuk menemaninya.
Nirmala: Kamu di mana, Mbi? Aku udah di area panggung yang namanya ‘Masa lalu’ itu lho.
Arimbi: Bentar, baru turun GoCar nih. Pakai baju warna apa? Nunggu di sebelah mananya?
Nirmala: Baju warna biru muda, nunggu di belakang penonton yang banyak ini deh pokoknya. Deket stand yang jualan kopi.
Arimbi: Okeee, wait for me ya!
Setelah mengirim emoji berupa ibu jari, Nirmala hanya berdiri di sana memandangi kerumunan orang yang terlihat bahagia saat menyanyikan lagu bernuansa patah hati itu bersama-sama.
Kalau bukan karena calon suaminya sudah memesankan tiket festival ini, mungkin Nirmala tidak akan datang. Memang sih, di sini banyak band dan musisi favorit Nirmala.
Tapi tetap saja… rasanya berbeda.
“Habis ini Ada Band! Ayo, maju! Maju!”
Seruan seseorang yang kemudian diikuti oleh banyak orang di sekitar Nirmala membuat perempuan itu celingukan. Sepertinya mereka yang ada di sekitarnya adalah penggemar band tersebut dan memang menunggu di sini untuk kemudian maju saat band yang lagu-lagunya memiliki lirik yang mengena di hati itu tampil.
Nirmala tadinya masih berniat menunggu, tapi entah kenapa ia jadi terdorong oleh orang-orang di dekatnya dan dipaksa maju bergabung di kerumunan penonton.
Perempuan itu agak panik dan ingin mundur, tapi orang-orang di belakangnya malah terus maju.
Akhirnya Nirmala hanya bisa pasrah dan berharap Arimbi bisa menemukannya di tengah-tengah kerumunan ini.
Lagu Manusia Bodoh yang pernah sangat hits di masanya terdengar melalui pengeras suara setelah vokalis band tersebut menyapa para penonton. Nirmala berusaha tenang meski nyatanya sulit, karena penonton di belakangnya entah kenapa semakin mendorongnya maju dengan kasar.
“Duh, apa mundur aja ya?” gumam Nirmala tanpa sadar. Ia menoleh ke belakang, tapi bertepatan dengan itu, barisan penonton di belakang Nirmala juga terdorong penonton yang lain dan membuat Nirmala terhuyung.
Saat tubuhnya tak seimbang, Nirmala pikir ia akan terjatuh. Tetapi ada seseorang yang dengan sigap langsung merangkul bahunya dan membantunya untuk menegakkan tubuh.
“Are you okay?”
Suara itu….
Nirmala berbalik dan menemukan lelaki dengan rambut gondrong dan setelan kasual, yang tengah menatapnya dengan khawatir. Bertahun-tahun tidak bertemu tidak membuat Nirmala lupa begitu saja wajah oval dengan mata tajam bak elang itu.
“Andaru…?” Nirmala bertanya untuk memastikan.
Senyum terbit di wajah Andaru dan ada kerutan tipis di dekat matanya, ciri khas Andaru yang tak hilang. “Kamu inget aku?”
“Ingetlah, aku kan nggak amnesia.” Nirmala menjawab sambil tersenyum tipis.
Sebelum Andaru sempat menanggapi, tubuh Andaru dan penonton lain yang sebaris dengannya kembali didorong dari belakang. Hal itu tentu saja membuat Nirmala kembali terhuyung, tapi dengan cepat Andaru menangkapnya.
“Aku mau mundur aja deh, kayaknya aku nggak bakal kuat di tengah-tengah penonton begini,” kata Nirmala dengan agak berteriak karena kini para penonton tengah ikut menyanyikan bagian reff dari lagu Manusia Bodoh.
“Oke.” Andaru mengangguk. “Aku temenin aja.”
“Eh?”
Nirmala tak bermaksud mengajak Andaru karena ia pikir lelaki itu tentu datang dengan orang lain layaknya penonton kebanyakan. Tetapi, Andaru meraih tangannya dan menggandeng Nirmala. Andaru membuka jalan untuk mereka, mengucapkan kata ‘permisi’ pada para penonton supaya mereka mau memberikan sedikit ruang untuk mereka bergerak.
Sepuluh menit yang terasa seperti selamanya itu akhirnya berakhir. Mereka berdua kini duduk di pinggir area ‘Masa Lalu’ itu, kebetulan ada kursi yang baru ditinggalkan di sebelah stand penjual kopi yang tadi dijadikan Nirmala patokan untuk Arimbi yang tak kunjung datang.
“Sebentar ya,” pamit Andaru pada Nirmala. “Aku beli minum dulu.”
Nirmala mengangguk saja, rasanya masih seperti mimpi bisa bertemu teman kuliahnya dulu di sebuah acara festival musik seperti saat ini.
Tak butuh waktu lama bagi Andaru untuk kembali ke sisi Nirmala. Lelaki itu membukakan tutup botol air mineral yang ia beli dan menyerahkannya kepada Nirmala.
“Thanks,” kata Nirmala setelah meminum isinya. Siapa sangka ternyata ia lumayan haus? “Kamu kok ikut mundur sih? Temen kamu gimana?”
“Temen?” Andaru kebingungan selama beberapa saat sebelum akhirnya sadar dengan apa yang dimaksud Nirmala. Lelaki itu tertawa kecil. “Aku dateng sendirian ke sini, dapet tiket ini juga karena dikasih seniorku yang nggak bisa dateng karena baru putus sama pacarnya.”
“Oh….” Nirmala ikut terkekeh.
“Kamu sendiri? Sendirian?” Andaru celingukan, seperti mencari teman Nirmala karena ia tak melihatnya di mana pun, bahkan saat tadi ia menangkap sosok Nirmala di tengah-tengah kerumunan.
“Harusnya sama Arimbi, tapi dia belum dateng.”
“Oh, gitu.” Andaru mengangguk paham. “Kamu potong rambut ya? Kupikir kamu nggak bakal pendekin rambutmu.”
“Eh?” Secara refleks, Nirmala menyentuh ujung rambutnya yang memang dipotong pendek, hanya sebahu. Padahal sejak sekolah hingga kuliah, rambut Nirmala selalu panjang dan tak pernah di atas bahu seperti sekarang, minimal ya sesiku.
“Aku sempet ngenalin kamu dari samping, tapi agak ragu karena rambutmu pendek,” cerita Andaru lagi. “Pas aku kedorong ke arah kamu, ternyata beneran kamu.”
“Lagi pengen ganti suasana aja sih,” dusta Nirmala sambil meringis.
Andaru agak curiga, ia bisa merasakan kalau Nirmala tidak berkata yang sejujurnya atau minimal ada yang ia sembunyikan. Tetapi, Andaru tidak mendesaknya atau bertanya lebih jauh.
Sebaliknya, ia malah bertanya, “Ngomong-ngomong, tadi kamu cuma nyebut kalau pergi sama Arimbi. Bang Arshad emang nggak ikut?”
Nirmala terdiam ketika Andaru akhirnya menanyakan kekasih sekaligus calon suaminya tersebut.
Bagaimana cara paling mudah menjelaskan soal kehilangan?
Nirmala tak tahu jawabannya dan ia pun memilih diam sampai tiba-tiba ponselnya berdering, menampilkan nama Arimbi di layarnya.