Fault

Fault

septywd_

0

"Maaf Zara, saya tahu kamu karyawan yang sangat rajin dan cekatan di sini. Tapi keputusan ini nggak bisa diganggu gugat. Saya harap kamu bisa menerima keputusan ini dengan lapang," ujar Pak Gio pada Zara yang masih diam dengan wajah lesu. Menyadari itu, Pak Gio langsung berujar kembali. "Kamu tenang aja, perusahaan akan memberi kamu pesangon yang pantas. Saya harap kamu bisa bekerja di tempat lain yang lebih baik daripada di sini."

Zara tidak banyak bicara pada saat itu, ia hanya diam lalu mengucapkan terima kasih sebelum pergi dari sana. Ia sempat bertemu Niken, salah satu temannya dan ia mendapat dukungan dari Niken. Meski mereka masuk secara bersama-sama dan keluar dengan cara berbeda, namun Zara sama sekali tidak ada rasa iri ataupun benci pada Niken. 

Zara tahu rezeki orang sudah ada yang mengatur dan ini bukan rezekinya. Meski nanti Zara akan kesulitan mendapat pekerjaan baru, ada hal yang lebih penting dari itu—setelah 3 tahun berlalu akhirnya Zara bisa beristirahat dengan tenang tanpa dikejar deadline

Sebelum pulang, Zara menyempatkan membeli minuman di warung pinggir jalan karena dehidrasi. Ia menyeka keringat yang sudah sebesar biji jagung di keningnya. Hari ini Zara memang tidak membawa motor, karena motornya sedang ada di bengkel. Kemarin saat pulang kerja motornya mogok di jalan dan tidak bisa dibenarkan secara singkat. Rencananya malam ini ia akan mengambil motornya di bengkel sekalian bertemu Niken. 

Saat sampai di rumah, keadaan ruang tamu sangat sepi. Biasanya ibunya akan ada di sana sekalian menonton tv. Ada bekas piring kotor di atas meja makan, Zara mengambilnya lalu menaruh piring itu di wastafel. 

"Udah pulang? Tumben banget, Ra." 

Zara tersentak kaget saat mendengar suara ibunya dari arah kamar mandi. 

"Kaget ya? Ibu tadi baru makan terus kebelet pipis, jadi piringnya ditinggal di sana," paparnya. "Tapi kok hari ini kamu pulang cepet? Biasanya 'kan kalau nggak lembur kamu mesti keluar sama Niken."

Zara terdiam. Ia melihat wajah letih Sarah yang sudah dimakan umur. Ingin cerita namun Zara kasihan dengan respons ibunya nanti. Sarah adalah sosok orang yang suka memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan. Dan Zara takut jika Sarah banyak pikiran maka darah tingginya akan kambuh. 

"Ra, jawab ibu. Ditanya kok malam diem aja, nggak biasanya. Kalau ada apa-apa tuh cerita." Sarah mengomel lalu berjalan ke arah meja makan. Ia mengambil tempat dan duduk di sana. "Muka kamu kayak orang bingung gitu, ibu yakin kalau sekarang kamu lagi ada masalah. Iya, kan?"

Zara menghampiri Sarah dan duduk di depannya. "Aku dipecat." 

Ia melihat ekspresi ibunya yang sempat terkejut. 

"Aku diberhentikan dari sana, itu bukan kemauan aku sendiri kok. Jadi untuk bulan ini kita harus hemat dulu, okay?" Zara berujar kalem kepada Sarah yang masih diam seribu bahasa. "Ibu nggak marah, kan?"

"Kamu dapet pesangon, kan?" 

"Iya, aku dapet tapi nggak seberapa. Tapi cukuplah buat kita makan di bulan ini. Kuncinya kita harus hemat, jadi aku minta selagi aku belum dapet kerja, ibu jangan beli sesuatu yang nggak penting dulu ya?" pintanya seraya memegang tangan Sarah yang keriput. 

"Aku tau ini nggak mudah bagi ibu. Biasanya ibu suka banget belanja baju di pasar atau di toko baju langganan ibu. Tapi aku minta pengertian ibu kali ini ya? Nanti kalau aku udah dapet kerja, ibu boleh beli barang-barang sesuka hati ibu."

"Bener?" tanya Sarah bak anak kecil yang dijanjikan sesuatu oleh orang tuanya. 

"Iya, aku nggak pernah boong 'kan selama ini?" 

Sarah tersenyum. "Ibu ngerti kok sama keadaan kamu. Ibu cuma mau bilang, obat ibu abis. Nanti kalau kamu keluar ambil motor, jangan lupa beliin obatnya ibu ya?"

"Iya."

****

"Aku heran deh sama orang-orang sana, Ra. Kenapa mereka milih mecat kamu daripada karyawan yang malas kayak Regina?" tanya Niken kesal setengah mati. 

Setelah tadi Niken menjemput Zara untuk mengambil motor, mereka langsung tancap gas ke kafe biasanya mereka nongkrong. Niken banyak mengeluh karena semenjak Zara pergi, pekerjaannya di sana sangat banyak. Semuanya ditumpuk menjadi satu dan kerjaan dua orang harus bisa dihandle Niken sendirian. 

"Ya kamu tau sendiri kalau Regina pacarnya si Bos," sahut Zara lemas. 

"Simpenan maksud kamu? Kalau kamu lupa biar aku ingetin, Pak Hendra udah nikah dan dia udah punya 2 orang anak. Regina mah cuma simpenan, yakali dinikahin." Niken yang sudah kesal meluapkan semua unek-uneknya. "Inget nggak waktu Regina dilabrak sama Bu Mayang?"

"Ah, 3 bulan yang lalu?" 

"Yups, 3 bulan lalu. Waktu itu anak perempuan si bos sakit tapi malah ditinggal seneng-seneng sama Regina. Bu Mayang marah dan langsung dateng ke kantor buat labrak nenek lampir itu." 

"Hahahaha, nenek lampir katamu. Udah lah, udah rezeki Regina juga."

"Itu bukan rezeki namanya, Zara. Aduh bingung deh sama kamu. Kamu tuh selalu punya pikiran baik mulu sama Regina. Padahal dia pernah nyuri kerjaan kamu loh waktu itu." 

"Udah ah, jangan dibahas. Lagian sekarang aku udah nggak kerja di sana lagi."

Niken mengangguk. "Terus rencana kamu setelah ini apa? Udah nemu mau kerja di mana?"

"Belum sih. Aku masih belum tau mau ngelamar kerja di mana, lagi pula aku juga belum nyari loker. Kalau kamu liat ada loker, kasih tau dong."

"Pasti lah, Ra. Omong-omong temenku ada yang mau buka restoran ala-ala Korea gitu, tapi masih renovasi tempatnya sih. Kalau kamu mau, nanti aku bisa bilangin ke dia."

"Yang bener, Ken?" tanya Zara dengan mata penuh binar. 

"Iya Zara. Kata dia udah 85 persen lah. Nanti kalau udah jadi, aku bilangin kamu. Untuk saat ini aku cuma bisa bantuin nyari loker aja," katanya. 

"Iya nggak papa. Makasih ya Ken, aku nggak tau lagi harus bales apa kebaikan kamu." Zara memegang tangan Niken. Pancaran matanya terlihat tulus. "Kamu banyak banget bantu aku, tapi kamu nggak perlu ngeluh apa-apa. Beruntung banget aku punya temen kayak kamu."

Niken tersenyum. "Ya ampun kenapa jadi melow begini sih? Udah ah, kamu temen aku, dan aku berhak bantu kamu. Nggak ada sejarahnya temen merasa kerepotan kalau salah satu temennya lagi kesusahan."

Setelah berbicara banyak, Zara memutuskan pulang. Sebelum itu, Zara mampir ke apotek untuk membeli obat untuk ibunya. Sesampainya di rumah, Zara melihat Sarah sedang menonton siaran televisi. Ia mencium pipi Sarah dan membuat wanita tua itu menoleh. 

"Udah pulang? Gimana motornya?" tanya Sarah pada Zara yang sudah duduk di samping kanannya. 

"Udah. Tadi aku ketemu dulu sama Niken makanya agak lama. Terus dia cerita kalau temennya ada yang mau buka restoran, kayaknya aku mau kerja di sana aja deh."

"Iya nggak papa, yang penting nggak nganggur di rumah. Gimana obatnya? Dapet?"

"Iya." Zara menyerahkan kantong plastik berisikan obat kepada Sarah. Wanita itu mengambil air lalu meminum obatnya. "Ibu udah makan?"

"Udah, tadi ibu masak sayur sop sama perkedel. Kamu makan sana, dari tadi siang kamu belum makan apa-apa."

Zara tersenyum. Raut wajah ibunya yang terlihat lelah membuat wanita itu kasihan. Di usianya yang sudah menginjak 23 tahun, Zara masih belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya. Zara masih belum sanggup membahagiakan ibunya sebagaimana yang anak-anak lain berikan kepada orang tuanya. 

Sarah sudah setengah baya, usianya sudah 50 tahun ke atas. Di usia yang seperti itu, Sarah sudah sering merasakan lelah dan sakit-sakit di badannya. Zara hanya bisa membelikan obat dan mengantar ibunya untuk check up di puskesmas terdekat. Selain darah tinggi, Sarah juga sering mengeluh nyeri pada sendinya akibat pengeroposan tulang. 

"Zara, maaf ya kalau selama ini ibu sering buat kamu susah. Ibu tau kalau selama ini ibu banyak maunya, banyak nuntut, banyak ngerepotin kamu. Ibu udah nggak bisa ngasih apa-apa selain doa, di usia ibu yang udah tua, ibu udah nggak bisa lagi ngasih kamu materi selain rumah peninggalan ayah kamu beserta isinya." 

Zara memegang tangan Sarah. "Aku nggak pernah merasa kerepotan sama permintaan ibu, kok. Udah jadi kewajiban aku buat menuhi semua permintaan ibu. Sejak ayah meninggal, ibu yang gantiin peran ayah buat mencari nafkah dan ngurus aku. Ibu juga nggak mau nikah lagi meski ada yang ngelamar dengan dalih ingin merawat aku. Selain itu, ibu juga udah besarin aku dengan baik sampai aku bisa nyari uang sendiri. Sekarang giliran aku yang buat ibu seneng."

"Ibu harus tau, meski sekarang aku belum bisa ngasih semua kebahagiaan buat ibu secara materi, tapi aku bisa ngasih ibu dengan kasih sayang yang aku punya. Aku sayang banget sama ibu, aku nggak mau ibu sakit apalagi sampai opname di rumah sakit kayak waktu itu. Jadi, aku minta, ibu nggak usah banyak pikiran dan istirahat aja, okay?"

Sarah tersenyum tipis. Ia sangat menyayangi Zara melebihi dirinya sendiri. Bagi Sarah, Zara adalah harta peninggalan suaminya yang sangat berharga.