Fake Idol

Fake Idol

Ravenura

4.9

BAB 1

Seoul, Korea Selatan. Maret 2006.

 

Usia Kim Yohan baru menginjak delapan tahun. Dia sedang bermain pisau swiss yang tajam milik ayahya. Salah gerakan sedikit, urat tangan Yohan yang terpotong. Anak itu sedang bosan menunggu ibunya datang membawa salad buah yang dijanjikan sejak sore. Namun Yohan tak bisa keluar dari kamar. Dia sengaja dikunci dari luar.

Padahal Yohan tidak nakal dan kena hukuman. Nilai ulangannya juga tidak jeblok. Tapi Yohan dikurung tanpa pemberitahuan apapun.

Entah bagaimana ayahnya sembrono membiarkan pisau itu tergeletak sembarangan di meja. Tak hanya pisau. Melainkan banyak senjata berbahaya dalam kotak yang tak pernah dilihat Yohan. Kotaknya pun tersimpan di bawah kasur Yohan—jika dilihat dari kotak-kotak berisi pakaian lama yang dikeluarkan paksa dari bawah ranjang menjadi berantakan.

Ada bungkusan jarum suntik steril dan beberapa botol kecil berisi zat-zat mematikan. Silet, palu dan segala senjata yang tak bisa Yohan sebut namanya. Anak kecil bertampang lugu itu mengambil salah satu logam seukuran wadah lipstik ibunya. Dengan senyum merekah, dia menyerut pensil menggunakan pisau lipat itu.

Yohan tak diizinkan bersuara sampai ibunya yang membukakan pintu. Bila dia menurut, ibunya janji akan membelikan tas sekolah yang baru. Yohan tadinya berkumpul di ruang tengah bersama kedua orang tuanya. Dia mengerjakan PR yang diberikan hari itu dan harus dikumpulkan besok pagi. Terdengar suara pintu diketuk. Lewat lubang intip di pintu, tiba-tiba wajah ayahnya menjadi pucat pasi. Ayahnya berbisik pelan di telinga istrinya, lalu mengambil sesuatu di kamar Yohan.

Setelah memastikan janji bahwa Yohan tak akan berisik, pintu kamar Yohan ditutup. Kedua orang tua Yohan berada di ruang tamu, menyambut tamu tak diundang bertampang aneh. Tamunya mengenakan jaket parasut hitam. Jumlahnya empat orang. Yohan sempat melihat ekspresi panik orang tuanya yang sangat khawatir sebelum mengurungnya.

Eomma lama sekali. Padahal aku sudah lapar,” gerutu Yohan terus menyerut pensilnya yang selalu patah. Yohan memang belum pandai menyerut pensil. Ayahnya yang selalu meruncingkan ujung pensil setiap malam agar keesokannya di sekolah, Yohan bisa menulis aksara hangul dengan baik.

****

“Kirim anakmu ke agensi hiburan. Jenderal menginginkannya jadi idol. Kelak jika sudah tenar, Yohan akan jadi perwakilan negara ini. Anakmu tak sekadar idol yang dipuja jutaan wanita. Dia akan punya misi khusus nantinya,” kata si tamu dengan nada memerintah.

Pria berbadan tambun itu mengenakan mantel hitam dari kulit imitasi. Cara bicaranya amat sangat congkak. Kakinya ditopangkan di atas meja, menunjukkan kekuasaannya yang jauh lebih tinggi dibandingkan sang tuan rumah. Topi fedora diletakkan di sebelah kakinya. Aroma tembakau dari cerutu menyebar ke penjuru ruang tamu. Dengan sengaja, pria itu menyemburkan asap ke wajah Kim Sanghoon—ayah Yohan.

Sanghoon menganggukkan kepala kikuk. Dia menundukkan kepala amat dalam. Pria itu gemetar ketakutan.

Ini salahnya. Jatuh cinta pada wanita Korea Selatan. Menikah diam-diam dan melarikan diri dari Paju. Kota perbatasan antar dua negara beda idiologi ini member pintu kebebasan bagi Sanghon. Pria itu seorang mantan tentara Korea Utara yang kabur. Sekarang dia telah tertangkap oleh ketua pimpinannya.

Seharusnya dia mati ditembak Letnan Jeon, pria penghisap nikotin dari cerutu panjang itu. Tetapi Letnan Jeon adalah seorang manipulatif kawakan. Letnan Jeon lebih suka memainkan emosi orang. Dengan memanfaatkan kelemahan lawan, dia langsung menang secara mudah. Targetnya bukan Sanghoon. Dia menetapkan keturunan Sanghoon akan menerima dampak mengerikan. Itu adalah kepuasan menyaksikan Sanghoon menderita akibat pembangkangannya.

“Istrimu cantik, Sanghoon. Tapi untungnya dia pandai menyimpan rahasia. Kalau kalian berdua buka suara…,“ Letnan Jeon melirik pistol di meja, “kalian semua akan mati. Camkan itu Prajurit Kim. Paksa putramu ikut agensi hiburan kalau ingin hidup kalian tenang.”

Sanghoon enggan menanggapi. Keinginannya sederhana. Anaknya bebas melakukan apapun yang mereka mau. Tidak seperti dirinya yang sejak lahir sudah menerima tugas berisiko tinggi. Sayangnya nasib buruk tetap akan membayangi keturunan Sanghoon.

Sanghoon tidak bisa melawan. Mau bertarung pun, dia tetap kalah jumlah. Istri dan kedua putranya bergelimang darah. Ikut terbunuh selagi Sanghoon ditangkap oleh Letnan Jeon.

Mata pria itu bergetar. Menahan amarah yang menggelora di dada. Dengan tenang, ditatap pria bertopi fedora, mengharap ampunan agar keluarganya diampuni.

Kekehan Letnan Jeon bergema, mengejek ketakutan yang menyergap dada Sanghoon. Pria itu sudah tertangkap di rumahnya sendiri oleh atasannya. Kim Yohan, putra sulungnya menjadi tawanan yang siap dijagal kapan saja oleh pemerintah yang dikhianati Sanghoon.

“Mari pulang, anak-anak,” ajak Letnan Jeon ke tiga pengawal lain. Mereka berempat beranjak dari kursi masing-masing.

Para pengejar pengkhianat negara meninggalkan rumah Sanghoon dengan langkah kaki enteng, namun di hati tersimpan kebengisan tak terperi.

Tangisan Minhee pecah seketika. Tidak menduga bahwa empat tamu itu sangat berbahaya. Datang memberi perintah yang amat sangat riskan. Minhee ingin melapor ke polisi, tetapi kasus ini hanya akan berbutut panjang. Suaminya bakal dideportasi, lalu mati dibunuh berlabel status pengkhianat. Belum cukup itu, urusan administrasi kedua putranya tak akan diakui dua negara secara mudah sekalipun mereka memilih salah satunya.

“Suamiku, bagaimana bisa nasib anak kita terancam. Maafkan aku yang mudah membuka pintu. Kukira kurir biasa yang mengantar paket tabloid langganan. Maafkan aku yang mengabaikan peringatanmu agar tidak membuka pintu sembarangan,” isak Minhee memeluk sang suami. Takut setengah mati.

“Tidak apa-apa. Yohan harus melakukannya. Jika tidak, kita semua mati. Jangan beritahu masalah ini ke anak-anak sampai mereka cukup umur,” ucap Sanghoon. Suaranya tercekat. Benar-benar tidak tega pada kedua putranya yang tak tahu apa-apa.

“Kenapa tidak sekarang agar mereka lebih mengerti keadaan kita?” desak Minhee kehilangan akal sehatnya. Wanita itu kalut. Benar-benar ngeri ketika salah satu tamu memainkan pistol.

“Sadarlah, Minhee! Anak-anak kita tak boleh tahu. Biarlah kita mengarahkan masa depan mereka seakan ini pilihan mereka sendiri. Bukan paksaan kita mau pun Letnan Jeon.” Sanghoon semakin gusar atas kekalutan yang menimpa istrinya.

Kim Minhee hanyalah warga sipil biasa yang tak tahu apa-apa soal pekerjaan Sanghoon. Selepas pernikahan, dengan jujur Sanghoon membuka diri dan mengajak istrinya pindah dari Paju. Keduanya menetap di Seoul dan menemukan tempat yang baik. Sanghoon nyaris lupa bahwa dia pria tak terdaftar di negara istrinya saking lamanya tak berurusan dengan mantan rekan seperjuangannya.

Tiba-tiba, mantan ketuanya yang brengsek itu muncul, mengancam dirinya dengan memanfaatkan keluarga Sanghoon. Sampai kapan pun Sanghoon tak akan memaafkan Letnan Jeon.

Tanpa mereka ketahui—di balik pintu kamar—Yohan mendengar semuanya. Ancaman Letnan Jeon begitu mencekam. Tangan mungilnya terkepal. Matanya membelalak ngeri. Tetapi Yohan sudah memantapkan tekad.

Demi ayahnya yang dikejar maut di tangan orang Korea Utara. Demi ibunya yang ibu rumah tangga biasa. Demi adik laki-lakinya yang nyenyak tidur dan mendengkur halus di kamar utama. Juga demi hidupnya sendiri yang menjadi tumbal sang ayah secara tak sengaja.

Yohan ikhlas menghadapinya. Anak berusia delapan tahun ini mengerti, menangis ketakutan tidak akan ada gunanya. Dia akan bekerja keras demi mewujudkan keutuhan keluarga.

Sewaktu dikunci dari luar, Yohan kelaparan. Dia ingin mengambil sepotong roti di dapur. Selagi bermain dengan kotak senjata milik ayahnya, Yohan menemukan kumpulan anak kunci yang tersemat di dasar kotak dari kayu. Dengan hati-hati, Yohan mencocokkan anak kunci dengan lubang pintu tanpa suara.

Dan itu lah yang terjadi. Pemandangannya terlalu mengejutkan saat ibunya mengangkat tangan, gemetar setengah mati berada di jarak tembak salah satu pengawal. Pucuk pistol ditempelkan ke dahi Minhee. Pelatuk siap ditarik kalau Minhee dan Sanghoon bertindak di luar izin Letnan Jeon.

Semestinya anak itu menggigil kedinginan. Menangis sejadi-jadinya di depan orang dewasa. Memohon pengampunan agar orang tuanya dibebaskan. Tapi si kecil Yohan tak melakukan itu. Yohan tahu, bukan dirinya yang terancam bahaya, melainkan ayahnya yang amat Yohan cintai.

Dengan hati-hati, Yohan mengunci pintunya lagi. bersikap tak tahu apa-apa. Cukup lama Yohan menunggu salah satu dari orang tuanya membuka pintu kamar. Yohan menyimpan pisau lipat milik ayahnya ke dalam saku celananya ketika pintu terbuka. Anak itu pura-pura membaca buku dongeng.

Wajah Sanghoon tampak ceria. Seolah tiada sesuatu yang mencekam. Yohan tersenyum. Melakukan hal yang sama.

Paling tidak, anak berusia delapan tahun ini mengerti bahwa bersikap tak tahu apa-apa adalah pilihan terbaik. Selama mereka hidup dalam kebohongan demi kebaikan yang lain, itu adalah solusi terbaik sampai bom kembali diaktifkan beberapa waktu kemudian.

Appa, aku mengantuk,” ucap Yohan merengek manja. Tangan kecilnya merengkuh pinggang sang ayah.

Sanghoon balas mendekap erat putranya. Dia membenamkan semua permintaan maaf kala mencium kening putra sulungnya. Air matanya meleleh. Bersalah karena anak berusia delapan tahun harus menanggung perbuatannya.

Mestinya dia tidak menikah dengan Kim Minhee. Mestinya dia sudah mati bertahun-tahun lalu dalam pelarian. Namun kenyataannya, hidup memang tidak pernah muncul tanpa masalah. Ini adalah keputusannya sendiri untuk bahagia.

“Maafkan Appa, Nak,” ucap Sanghoon parau. Suaranya tercekat, tak mampu meredam kepedihan yang menggumpal di tenggorokan.

Waeyo? Hanya karena Appa tak mau mendongeng, bukan berarti Appa tidak salah. Kau berhak menolak keinginanku, Appa.”

Secara tersirat, Yohan menenangkan sang ayah.

Semestinya Sanghoon menolak gagasan Letnan Jeon untuk menjerumuskan putranya sebagai pembunuh. Pria itu tidak menginginkan Yohan mengikuti jejaknya sebagai iblis tidak berperasaan. Sudah berapa banyak nyawa yang darahnya menggenang di kaki Sanghoon semasa menjadi bagian pasukan elite? Pria itu dibayangi ketakutan akan orang-orang sekarat yang ditembak dei sebuah tugas.

“Kau benar, Yohan. Tetapi malam ini, Appa akan menceritakan kisah bagus untukmu,” sahut Sanghoon dan berdehem. Pria itu menarik napas dan menceritakan dua saudara bernama Heongbu dan Neolbu.

Malam merayap semakin pekat. Sepasang anak dan ayah tertidur di kasur, saling mendekap seakan menyatu dalam lembah pikiran bahwa takdir mereka memang telah ditetapkan melakukan perlawanan demi sebuah kebenaran. Seakan Sanghoon paham, putranya seorang jawara di kemudian hari.