Eternally Yours

Eternally Yours

Cindydream

5

Prolog

 “Jangan mengada-ada!” pekik seorang wanita dengan suara berat dan serak dari sebuah kamar pasien VIP sebuah rumah sakit di California. “Mana mungkin kita adalah sepasang kekasih yang kau bilang… saling mencintai… lalu apa tadi kau bilang? Akan segera menikah? Jangan menguji kewarasanku lebih daripada ini,” lanjut wanita itu seraya melemparkan senyum kecut dan memejamkan kedua matanya seakan merinding mengulangi kata demi kata yang didengarnya barusan. Meskipun suaranya tidak mampu memekakan telinga keempat orang yang mengelilinginya, tetapi tatapannya seakan mampu menusuk salah seorang pria yang memiliki sepasang mata berwarna hitam legam berbentuk seperti kacang almond. Keempat orang lain itu hanya bisa menatap wanita yang sedang duduk di ranjang rumah sakit dengan heran.

 Kerutan di dahi pria yang memiliki warna bola mata hitam kelam dan hidung mancung tersebut semakin terlihat semakin banyak. Ia menoleh ke orang-orang di sekelilingnya seakan berharap kata-kata yang barusan diucapkan bukanlah untuk dirinya. Tapi, wanita itu kembali membuka matanya dan menatapnya lekat-lekat. Kebencian seperti menyeruak dari dalam tubuh lemah wanita itu yang baru saja sadar dari koma selama dua minggu. Jantungnya berdebar. Ia tidak pernah membayangkan wanita yang biasanya menatapnya dengan penuh kehangatan, sekarang menatapnya seakan ingin menghajarnya. Ingin rasanya ia peluk erat wanita ini dengan harapan wanita ini akan kembali seperti sediakala.

 Wanita itu memutar bola matanya dan memiringkan kepalanya dengan perlahan. “Kau dengar baik-baik, Pangeran Yong Ji atau siapapun namamu di kehidupan ini. Aku Li Yan di kehidupan lalu dan kehidupan ini tidak akan pernah mungkin menjadi milikmu,” tuturnya dingin.

 “Lisa, dear, kau tahu. Kau membuatku bingung. Ada apa denganmu? Apa maksudmu?” tanya pria memaksakan tawa kecil setelah dibuat kebingungan dengan kata-kata tidak masuk akal yang dilontarkan kekasihnya yang baru saja ia lamar dua minggu lalu. “Kenapa kau memanggilku dengan Pangeran? I’m Kayden, your fiancé.” Suara pria itu berusaha meyakinkan, meskipun sudah terbalut frustasi.

 Seperti tidak memedulikan perkataan pria di hadapannya barusan, wanita itu kembali melontarkan kata-kata dingin, “Mungkin kau tidak ingat ini, Tuan Kayden.” Sudut bibir wanita itu naik. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan paksa dan melanjutkan seraya menatap pria di hadapannya dengan tatapan menusuk, “Kau adalah orang yang menghabiskan nyawaku di kehidupan sebelumnya. Aku Li Yan, kau Yong Ji, dan dia adalah… Hu Zhang Wei, tunanganku.” Wanita itu dengan gerakan pelan menunjuk seorang pria berkacamata dengan bentuk mata turun yang berdiri dengan kedua tangan melipat di depan dada dengan raut wajah datar, namun dari sorot matanya seakan tidak sedatar yang dibayangkan ketika Lisa mengarahkan telunjuk ke arahnya. Seperti pilu.

 “Kau mengerti sekarang apa maksudku?” tanya wanita itu lagi dalam Bahasa Mandarin, yang bahkan tidak pernah ia pelajari sebelumnya.

*

 Kedua mata berbentuk seperti kacang almond milik pria di hadapannya itu seakan bergetar samar. Entah karena cuaca malam itu yang dingin atau memang karena menunggu dirinya untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh pria itu. Kedua bola mata pria itu yang berwarna hitam legam seperti warna langit di malam itu seharusnya memancarkan aura kekuatan, namun setidaknya di saat ini, kedua bola mata itu menyuarakan rasa penuh harap dan frustasi di saat yang bersamaan.

 Ia menarik napas panjang seraya mengepalkan kedua telapak tangannya, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan pria di hadapannya itu. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari kedua bola mata berwarna kelam itu. Ia dan pria itu hanya ditemani oleh pepohonan dan penerangan dari lampu jalan. Ia kemudian mencengkeram ujung cardigan rajutnya sebelum memantapkan hatinya untuk menatap pria tersebut lekat-lekat.

 “Aku tidak akan mengubah keputusanku. Baik itu dulu, maupun sekarang. Keputusanku adalah sama. Dulu aku menginginkan Hu Zhang Wei, seorang jenderal dari Dinasti Ming. Sekarang aku juga menginginkan dirinya. Di kehidupan lalu, kau menghabisiku dengan pedangmu setelah aku menjawab pertanyaan ini. Lalu, apakah sekarang kau juga sudah bersiap untuk menghabisiku juga?” Ia berusaha membuat tatapan dirinya kepada pria itu terlihat sedingin mungkin meskipun sebenarnya tubuhnya gemetar. Tapi, jelas ini bukan gemetar karena ia takut akan dihabisi nyawanya.

Kenapa ia merasakan adanya keraguan dari dirinya?

Kenapa hatinya terasa begitu pilu?

 Aku belum gila untuk jatuh cinta pada orang yang pernah menghabisi nyawaku di kehidupan lalu. Lagipula, tujuanku adalah mengubah takdir akhir kisah cintaku dengan Hu Zhang Wei di kehidupan lampau yang tragis menjadi akhir bahagia. Tapi, kenapa sepertinya segalanya telah berubah?

BAB 1 Mimpi yang Menjadi Awal Segalanya

Dua minggu sebelum kecelakaan (30 Juli)

 Seorang pria dengan tubuh tinggi dan pundak yang kokoh mengangkat sebelah tangannya untuk menghalau semburat sinar matahari yang menyorot wajah seorang wanita. Jubahnya yang berwarna terang, seterang senyum di wajahnya membuat hati wanita tersebut terasa hangat. Jari telunjuk tangan yang satunya lagi menyentuh lembut wajah wanita itu. “Aku akan meminta restu orang tuamu setelah malam bulan purnama di bulan ini.”

 Kenapa sosok pria ini terasa familiar? Sungguh aneh, namun sentuhan lembut itu dapat dirasakannya.

 “Nona, kumohon jangan menangis lagi. Riasan nona… Sebentar lagi nona sudah harus naik ke tandu…” Seorang wanita dengan atasan berlengan panjang seperti di drama sejarah dari sisi kiri tempatnya duduk terus menyeka air mata seorang wanita yang menatap kosong pada bayangannya di depan cermin berwarna kekuningan. Riasan di wajahnya memang sudah lengkap, namun roman wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Meskipun cermin ini berwarna kekuningan, tapi siapapun akan mengakui kecantikan wanita yang berbalut atasan putih yang terlapisi jubah berlengan panjang dengan warna merah menyala tersebut. Kulit yang putih pucat, mata besar, dan bibir mungil. Rambutnya yang panjang hingga mencapai pinggang, disisir dengan lembut oleh salah seorang wanita yang lain. Mata wanita berbusana merah itu menangkap sesosok pria dari balik bilik pintu kamarnya yang terbuka sedikit dengan sebagian wajah bagian bawah yang ditutup dengan kain berwarna hitam, senada dengan jubah dengan panjang hingga selutut yang juga berwarna hitam. Dengan wajah yang tertutup sebagian tersebut, menyisakan kedua mata berbentuk turun yang menatap nelangsa wanita yang sedang dirias wajahnya itu. Dahi pria tersebut berkerut samar. Hati wanita itu terasa keluh hingga air mata kembali mengalir.

 Pria ini bukankah pria yang tadi berjanji di malam bulan purnama akan meminta restu? Meski wajah pria itu tidak begitu jelas, namun entah kenapa ia bisa mengenalinya sebagai pria yang tadi. Wanita ini juga sungguh tidak asing. Kenapa bahkan sentuhan saputangan yang menyeka air mata itu terasa begitu nyata? Rasa rambut yang tertarik halus ketika disisir pun juga dapat dirasakannya dengan jelas. Perasaan sedih di hatinya seperti ada benda yang menyayat hatinya, kenapa dapat ia rasakan juga?

 Kilau ujung mata sebuah pedang semakin terlihat seraya ditarik perlahan oleh seorang pria yang memakai jubah berwarna coklat kemerahan dengan ornamen rumit berwarna keemasan dari sarung yang ada di pinggangnya. Pria itu menatap tajam wanita yang ada di hadapannya dengan kedua bola mata yang berwarna hitam segelap langit malam. Begitu tajam hingga membuat sekujur tubuh wanita itu gemetaran. Pria itu mulai mengacungkan pedang yang digenggamnya dengan erat secara perlahan ke leher wanita di hadapannya. Dinginnya sisi dari pedang itu dirasakan leher wanita itu hingga membuatnya sontak menghindarinya. “Li Yan, kutanya sekali lagi, apakah kau masih ingin memilih untuk pergi ke pelukan Hu Zhang Wei dan meninggalkan statusmu sebagai calon istriku?” Suara pria itu begitu dingin dan nyaris datar tanpa intonasi berarti.

 “Jangan lukai dia,” pinta wanita itu seraya menggenggam tangan pria itu yang sedang memegang pedang. Tangannya gemetar. Rasa ingin berteriak keras meminta pertolongan sempat terlintas beberapa detik di benaknya, namun ia tidak melakukannya karena ia tahu akan sia-sia saja karena tidak mungkin akan ada orang yang menolongnya. “Kau boleh membunuhku, tapi tolong jangan lukai dia.” Hanya itu yang dapat keluar dari bibir mungilnya.

 Kedua mata pria itu yang berbentuk seperti kacang almond seketika bergetar samar. “Jadi, kau tetap memilihnya? Kau akan menyesalinya.” Sebelah tangan yang tidak memegang pedang, melepaskan kedua tangan wanita itu yang menggenggam tangan sebelahnya. Pedang itu diacungkan lebih tinggi sebelum dilayangkan ke wanita itu yang hanya bisa memejamkan matanya. Jantung wanita itu mulai mengentak-entak dadanya membuatnya sulit bernapas. Lalu, semuanya gelap.

 Seorang wanita terbangun dengan mata terbelalak. Apa yang baru saja ia alami!? Sebelah tangannya memegang dadanya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Sungguh aneh. Bagaimana mungkin mimpi yang seperti sebuah drama dengan genre romantis di awal, lalu berganti ke genre melodrama, berakhir menjadi tragedi?

“Apakah wanita itu dibunuh? Sudah pasti dibunuh,” gumam Lisa Jung pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat berusaha menghilangkan perasaan negatif yang dirasakannya sekarang akibat dari mimpi dramatis tersebut. Ia mengacak pelan rambutnya yang panjang dan melihat pantulan dirinya di depan kaca berwarna bening, tidak seperti kaca yang ada mimpinya tadi.

 “Kenapa gadis itu sepertinya aku pernah melihatnya,” gumamnya pada dirinya sendiri dengan suara agak berat, khas suara orang bangun tidur. Ia memiringkan kepalanya. Dahinya berkerut. Ia menyipitkan kedua mata besarnya yang selalu dikagumi oleh orang-orang di sekitarnya. “Tapi di mana? Apa ini karena efek aku menyukai drama-drama berlatar jaman dulu makanya fantasiku menjadi liar?” tanyanya pada dirinya sendiri.

 “Nona, kumohon jangan menangis lagi.”

 “Aku akan meminta restu orang tuamu setelah malam bulan purnama di bulan ini.”

“Jadi, kau tetap memilihnya? Kau akan menyesalinya.”

Suara-suara itu seakan masih terngiang-ngiang jelas di telinganya. Ia menepuk pelan pipinya untuk menyadarkan dirinya bahwa itu hanyalah bunga tidur. Ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. Dengan ujung jari telunjuknya, ia menyeka kotoran di ujung matanya. Lalu, ia menjulurkan kakinya satu per satu untuk turun dari tempat tidurnya.

Sinar matahari menyeruak masuk menembus jendela kamar tidurnya yang seakan menyapanya membuatnya tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangannya seraya meregangkan otot lehernya yang kaku dan matanya terarah pada jam di samping tempat tidurnya yang menunjukkan pukul 7.00. Ia terkesiap dan lantas menggigit bibirnya. Senyumnya sontak menghilang. Matilah! Umpatnya dalam hati. Ia sungguh tidak pernah melakukan hal seperti ini di hari kerjanya. Bahkan dari sejak ia masih bersekolah, ia tidak pernah terlambat datang ke sekolahnya, sekalipun sedang hujan atau macet sekalipun.

Dengan cepat ia melesat ke kamar mandinya untuk menggosok giginya. Kalau ada orang yang tinggal bersamanya, ia jamin orang tersebut akan mengira bahwa Lisa entah sedang melakukan pertarungan apa hingga menyebabkan kegaduhan terjadi di apartemennya yang bertipe studio sederhana yang terletak di California, mulai dari suara pintu lemari pakaian yang dibuka dengan gaduh hingga pintu kamar mandi yang tidak sengaja mengeluarkan bunyi banting setelah bersentuhan dengan dinding kamar mandinya karena Lisa yang bergerak bak seekor banteng. Gantungan pakaian pun sampai ada yang patah ketika ia ingin mengeluarkan pakaiannya dengan paksa dari gantungan tersebut. Hanya Sabtu dan Minggu ia tinggal bersama orang tuanya karena ia dari dulu ingin hidup mandiri.

Biasanya, ia akan menikmati pemandangan pagi apalagi kalau langitnya sedang cerah seperti saat ini dimana angin juga tidak bertiup kencang, sembari bersenandung mengikuti lagu yang didengarnya dari ponselnya. Biasanya. Namun, tentunya tidak demikian di hari ini dimana ia harus berlari mengejar waktu pembukaan perpustakaan tempatnya bekerja. Biasanya pula ia akan memilih untuk naik kereta bawah tanah sebagai langkah penghematan uang daripada menggunakan taksi seperti yang dilakukannya sekarang.

“Ahjussi , I'm really in a hurry, so can you take the quickest route please?” pintanya dengan wajah memelas kepada supir taksi yang ia lihat merupakan seorang pria keturunan Korea dengan usia kira-kira pertengahan lima puluhan seraya menyisir rambutnya sebelum dicepol. Supir taksi tersebut terlihat bingung beberapa detik sebelum mengangguk mengerti dan mulai menjalankan mobilnya. “Tolong ya, ahjussi. Aku hanya punya waktu lima belas menit lagi,” lanjutnya dengan suara resah. Lisa mengganti posisi duduknya menjadi ke tengah di bangku penumpang belakang agar dapat melihat pantulan dirinya di kaca mobil taksi tersebut.

Jumlah warga Amerika Serikat keturunan Korea di California memang paling banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Amerika Serikat, walaupun jumlahnya hanya sekitar 1.2% dari keseluruhan penduduk California. Jadi, sesekali Lisa bisa bertemu dengan sesama orang keturunan Korea sepertinya. Lisa, adiknya, dan ibunya menetap di California setelah ibunya menikah lagi lima tahun lalu dengan seorang pria keturunan Korea berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ibunya menikah dengan cinta pertamanya ketika masih SMP bak sebuah drama Korea dimana mereka bertemu saat masih SMP, jatuh cinta, lalu sang pria harus meninggalkan Korea karena keluarganya. Tapi, takdir mempertemukan mereka lagi. Ayah Lisa meninggal setahun setelah kelahiran adiknya, cinta pertama ibunya juga baru saja bercerai dengan mantan istrinya.

Dengan sisi bawah tangan kirinya bertumpu pada bahu kursi pengemudi dan sebelah tangannya lagi dengan perlahan ia gunakan untuk menggambar alisnya dengan pensil alis berwarna abu-abu mengandalkan kaca yang terletak di tengah tersebut. Meskipun goncangan dari polisi tidur dan cara mengendarai yang berlaju sangat cepat membuat alisnya sulit untuk tergambar dengan rapi, tetapi setidaknya ia dapat membuat alisnya terkesan lebih penuh daripada penampilannya sebelum menggambar alis. Oh, sungguh tidak elegan yang dilakukannya ini!

Dapat dilihat oleh Lisa lirikan secara bergantian antara jalanan dan dirinya oleh paman pengemudi taksi ini. “Apakah kau ingin aku berhenti sebentar sampai kau selesai mewarnai alismu?” tanya supir taksi tersebut dengan sopan dan mulai mengurangi kecepatan begitu selesai mengupcapkan pertannyaannya.

“Jangan!” pekiknya seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat. Menyadari suaranya tadi terlalu besar dan membuat supir taksi itu terkejut, sambil tetap fokus menggambar bagian ujung alisnya, ia melanjutkan, “Maaf, maaf. Tapi, aku tidak ingin terlambat. Aku tidak ingin membuat catatan terlambat dalam hidupku, apalagi ini karena alasan konyol.” Ia mengerang kesal mengingat ia bangun kesiangan hanya karena sebuah mimpi yang seperti serial drama sejarah. Setelah selesai menggambar alisnya yang untungnya tetap terlihat lumayan rapi, ia melanjutkan sesi merias wajahnya dengan lipstik berwarna merah muda. Ya, ia tidak pernah ingin terlihat menor untuk riasannya saat bekerja. Terlebih, ini adalah sebuah perpustakaan dimana pengunjung-pengunjung yang datang ke sana kebanyakan adalah pelajar atau mahasiswa, bahkan ada yang dari universitas terkenal, seperti Stanford University dan UC Berkeley. Hanya segelintir orang-orang yang berada di atas atau di bawah usia mahasiswa.

Setelah berhasil merias wajahnya dan menyemprotkan parfum favoritnya, ia dapat menghirup napas lega ketika melihat jam di ponselnya masih 7.35. Ia dapat menarik napas lega. Masih lima menit lagi menuju jam kerjanya di perpustakaan ternama di California dimulai dan taksi sudah berhenti tepat di depan sebuah gedung yang berukuran cukup lebar yang didominasi dengan warna coklat. Dengan cepat ia mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar supir taksi tersebut dan mengangguk menghormatinya, baru kemudian ia melesat keluar dengan cepat. Setidaknya ia harus sampai di mesin absen sebelum 7.40 karena sebagai pustakawati sepertinya, setidaknya ia harus sampai ke perpustakaan dua puluh menit sebelum perpustakaan dibuka.

Di depan gedung perpustakaan tersebut terdapat papan nama besar yang ditulis dalam Bahasa Inggris, The Next Bright Star Library. Lisa menyapa seorang petugas keamanan yang berdiri di depan gedung dengan senyuman dan anggukan yang dibalas juga dengan hal serupa. Getaran dari ponsel berwarna silvernya membuatnya kembali merogoh ponsel yang baru saja dimasukkan olehnya ke dalam tas dan tidak jadi memegang gagang pintu gedung perpustakaan. Nama Kayden Park muncul di layar ponselnya tersebut dan mampu membuatnya seketika itu juga menyunggingkan senyum. “Kau punya waktu empat menit sebelum pembukaan,” sapa Lisa ceria. “Terhitung mulai dari sekarang. Pittt…”

“Kau di luar?” Suara rendah di ujung sana terdengar bingung. “Terdengar bising.”

Dengan gerakan spontan, Lisa melirik sekelilingnya meskipun ia sudah tahu bahwa ia memang masih di luar gedung. Dengan satu hentakan, ia membuka pintu masuk perpustakaan yang terbuat dari kaca. “Iya, mungkin kau akan cukup terkejut mendengarnya. Tapi, aku hampir saja terlambat.”

Kayden terdiam sebentar sebelum membuka suara kembali. “Terlambat!? Kau tidak pernah terlambat. Apakah terjadi sesuatu?” Suaranya semakin terdengar khawatir.

Rasanya sungguh bahagia memiliki seseorang yang akan mengkhawatirkan kita bahkan ketika kita hanya memberikan sedikit petunjuk yang bahkan tidak ada hubungannya. Lisa tersenyum. “Aku tidak terluka. Aku tidak juga kehilangan sesuatu,” jawabnya dengan artikulasi yang jelas. “Kau tidak perlu khawatir, Kayden,” lanjutnya menenangkan suara di ujung sana seraya mendekatkan wajahnya di mesin absen yang berada di sebelah kiri setelah ia memasuki perpustakaan tersebut. Mesin absen yang berukuran setinggi dirinya mendeteksi wajahnya sebelum mengeluarkan notifikasi ‘Absen Sukses’.

Terdengar hembusan napas lega dari Kayden yang kemudian bergumam dengan nada lebih santai, “Untunglah. Aku pikir terjadi sesuatu padamu.” Pria di ujung telepon itu terdiam selama tiga detik dan seakan seperti baru mengingat lagi persoalan yang belum ia dapatkan jawabannya, ia kembali bertanya, “Jadi apa yang membuat si Nona Tepat Waktu tiba-tiba hampir saja meninggalkan jejak kaki di sejarah keterlambatan di dalam hidupnya?” Intonasi dari sindiran yang digunakan Kayden terdengar seperti seorang detektif yang sedang menginterogasi orang yang dicurigainya walau Lisa tahu itu hanya sebuah gurauan belaka.

Pertanyaan Kayden membuatnya mengingat kembali mimpi-mimpi yang datang serampangan kepadanya. Lisa mendengus keras seraya memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia tetap berjalan menuju eskalator yang membawanya naik ke lantai dua dari perpustakaan besar tersebut dimana rak buku besar dan tinggi yang terbuat dari kayu kokoh, membentuk setengah lingkaran mengelilingi kedua sisi eskalator yang bergerak naik di sebelah kiri dan turun di sebelah kanan. Alisnya terangkat sebelah. “Benar-benar tidak begitu penting untuk diceritakan,” ujar Lisa enggan. Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Ini terdengar konyol memang, tapi aku terlambat bangun karena mimpi.”

Tidak terdengar jawaban dalam beberapa detik. Sepertinya memang terdengar konyol di telinga Kayden. Lisa memang tidak pernah bercerita apapun tentang mimpinya karena ia jarang sekali mampu mengingat bunga tidurnya. Sering kali ia berusaha mengingat, namun begitu ia menyikat gigi atau mencuci mukanya, segalanya langsung buyar lagi.

“Tidak konyol. Hanya saja aku tidak menyangkanya. Mimpi buruk?” sahut Kayden dengan tenang, seperti tidak ingin Lisa berpikir bahwa apa yang diceritakannya konyol. Inilah salah satunya yang Lisa suka dari pria yang usianya hanya tepat sebulan lebih tua daripadanya. Kayden tidak suka membuat lawan bicaranya terkesan konyol atau bodoh, jadi Lisa nyaman berceloteh padanya.

“Mimpi-mimpi yang seperti berkesinambungan, tapi juga terlihat tidak berhubungan. Entah bagaimana menjelaskannya,” desis Lisa seraya menggigit bibirnya.

“Oh, kukira mimpi tentang kita berdua,” sahut Kayden pura-pura terdengar kecewa.

Lisa memiringkan kepalanya dan memindahkan ponselnya ke telinga sebelahnya. “Untuk apa memimpikan kita berdua? Kita tinggal membuka ponsel lalu memencet tombol video call dan kita bisa langsung berbicara. Tidak perlu lewat mimpi.”

Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang terbuat dari kaca. Ruang kerja tersebut masih kosong karena dua rekan kerjanya yang lain bekerja mulai dari jam 8.40. Lisa selalu memilih shift kerja lebih pagi agar ia dapat pulang ke rumah lebih awal dan melakukan aktifitas lain, salah satunya adalah mengajar kursus Bahasa Korea secara online yang sudah dilakukannya selama setahun belakangan. Perpustakaan tempatnya bekerja ini buka hingga pukul setengah enam. Ia berjalan menuju sisi kanan ruangan dan menempati sebuah kubikel yang tepat bersebelahan dengan sebuah pot tanaman hias. Di atas mejanya terdapat barang-barang miliknya, termasuk dua buah bingkai foto yang terdapat foto dirinya dan keluarganya dan satu bingkai foto lagi berisi foto dirinya dengan Kayden Park. Tampak Kayden mengusap kepalanya dengan tatapan penuh kasih di foto tersebut.

“Sungguh tidak romantisnya dirimu, Lisa,” kelakar Kayden dengan nada menyenangkan. “Jadi, sebenarnya apa ketiga mimpi yang seperti berkesinambungan tetapi tidak terlihat berhubungan itu yang hingga membuatmu bangun kesiangan dan bahkan hampir terlambat datang bekerja?”

Lisa meraih sebuah Galaxy Tab dari laci mejanya yang sebelumnya terkunci dan mulai menyalakan benda tipis tersebut. “Mimpi pertama, aku bermimpi seorang pria dengan baju seperti di jaman kerajaan yang menyentuh wajah seorang wanita dan bilang ingin meminta restu dari orang tua wanita itu. Mimpi kedua, aku melihat seorang wanita menangis hingga riasannya rusak di hari pernikahannya dan lagi-lagi lelaki yang sama di mimpi sebelumnya sedang menatapnya dengan pandangan sedih sepert I seorang pria yang kehilangan kekasihnya. Lalu, mimpi yang ketiga yang paling ekstrem dimana aku memimpikan seorang pria dengan bola mata berwarna hitam gelap sekali dan bentuk mata seperti kacang almond yang menanyakan kepada wanita yang sama dengan wanita di mimpi pertama dan kedua, apakah wanita itu memilihnya atau laki-laki yang kalau tidak salah ingat bernama Hu… Hu apa ya, aku lupa. Pria itu bertanya sambil mengeluarkan pedangnya dan menempelkannya ke sisi leher wanita itu. Sayangnya wanita itu sepertinya tidak mencintai pria itu dan pria itu menebasnya karena setelah itu aku tidak dapat melihat apa-apa lagi,” jelas Lisa panjang lebar dengan antusias seperti menceritakan alur cinta tragis khas yang ada di drama-drama kerajaan. “Kuharap kau mengerti ceritaku barusan dan tidak sedang setengah tertidur,” lanjutnya karena ia yakin orang seperti kekasihnya itu tidak tertarik dengan cerita-cerita seperti ini, namun hanya terpaksa mendengarkannya karena Lisa-lah yang menceritakannya.

Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Lisa memutar bola matanya. Alisnya berkerut. “Dia tidak benar-benar tertidur, bukan?” gumamnya pada dirinya sendiri walau ia tahu dirinya masih tersambung dengan Kayden Park di telepon. Pertanyaan tersebut juga tidak benar-benar berarti ia menganggap Kayden mengantuk mendengar ceritanya karena ia tahu betul Kayden adalah tipe orang yang tidak meremehkan apapun persoalan yang diceritakan kepadanya.

Kayden menjawab dengan cepat, “Tidak, aku tidak tertidur. Aku hanya bingung dengan deskripsimu pada mimpi terakhir. Pria dengan mata berbentuk seperti kacang almond dan bola mata berwarna hitam yang gelap sekali…”

“Ada apa?” tanya Lisa tidak mengerti maksud Kayden. Namun, saat matanya mengedarkan pandangannya pada bingkai foto dirinya dan Kayden yang terpajang di sisi kiri mejanya. Seperti tersadar dengan apa yang lelaki itu pikirkan, ia membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu ketika Kayden sudah lebih dahulu membuka suara.

“Kenapa deskripsi itu mirip mataku ya?” Dengan nada ragu, Kayden menanyakan itu. “Kau yakin pria dengan mata berbentuk kacang almond dan bola matanya berwarna hitam gelap itu menebas wanita itu dengan pedangnya?”

Lisa menghempaskan dirinya ke sandaran kursinya dan membuat kursi itu sedikit berputar. Ia tertawa karena tahu apa yang sedang kekasihnya itu pikirkan. Ia tidak berpikir pria itu akan serius menanggapi cerita mengenai mimpinya. Tadinya ia berasumsi pria yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu akan menanggapinya dengan gurauan. “Jangan konyol, Kayden. Kau tidak mirip dengannya. Ya, kuakui matamu mirip, tapi sorot matanya saja berbeda dengan sorot matamu yang ceria. Aku hanya bercerita kepadamu karena kau bertanya. Tadinya malah aku tidak ingin menceritakannya karena aku merasa tidak begitu penting.”

Sejenak kemudian, Kayden menyahut, “Tidak, aku hanya kesal saja orang yang memiliki bentuk mata dan warna bola mata sepertiku itu. Kenapa dia menjadi pemeran pembantu di mimpimu dan menjadi tokoh antagonis?” Pria itu kembali mengeluarkan keahliannya dalam bersenda gurau.

Ya ampun, pria ini mampu membuat Lisa kembali tersenyum lebar dan sekaligus merasa geli dengan sarannya barusan untuk pria dengan mata berbentuk seperti kacang almond dan bola mata berwarna hitam kelam di mimpinya itu. “Baiklah, Sir, aku harus mulai bekerja. Kau tidak mau mempunyai pacar pengangguran, bukan?” katanya sambil memandang teduh foto dirinya dan Kayden yang berada di dalam bingkai foto bermotif sepasang panda yang merupakan hewan kesukaannya. “Sudah susah payah aku mendapatkan restu orangtuamu untuk bersamamu. Jangan membuatku harus mengulang usahaku lagi,” lanjutnya seraya menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga.

Tidak ada sahutan dari orang di ujung sana untuk sesaat membuat Lisa berpikir apakah koneksi panggilannya terputus. Ia lantas memeriksa ponselnya, namun panggilan tersebut masih tersambung dengan Kayden. "Hello? Kayden?” panggilnya memastikan pria itu masih bisa mendengar suaranya.

“Lisa.” Suara Kayden berubah menjadi lebih serius.

“Mm?” sahut Lisa ringan. “Kupikir koneksinya terputus.”

“Apakah kau ada waktu nanti malam?”

 “Hmm. Murid les privatku hari ini tidak bisa mengikuti kelas karena ada acara keluarga. Jadi, malam ini aku tidak ada acara.” Lisa mengerutkan kening. “Ada apa? Kau ingin mengajak makan malam bersama?”

“Iya.”

 “Okay, kita bisa berangkat begitu aku pulang kerja.”

“Aku akan menjemputmu. Bilang saja padaku kalau kau sudah mau selesai.”

“Mau makan di mana memangnya?” tanya Lisa berbasa-basi.

“Lihat saja nanti,” jawab Kayden membuat rasa penasaran Lisa bangkit.

Lisa mendesis. “Kau tahu, ini justru membuatku penasaran.”

Kayden tertawa. “Oh my dear, Lisa, bukankah tadi kau bilang kau sudah harus mulai bekerja? Aku tidak akan mengganggumu lagi. Sampai bertemu nanti setelah kau selesai bekerja.”

Setelah mengucapkan itu, pria itu menutup teleponnya, membuat Lisa semakin merasa penasaran. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Baiklah, mulai bekerja,” gumamnya bersemangat. Tepatnya, ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya ini agar ia bisa segera menemui orang yang telah membuat hidupnya jauh lebih berwarna semenjak tiga tahun lalu.