ENIGMA

ENIGMA

Nina Ang

5

Kali pertama Mauren bisa menjangkau tepi kesadarannya, dia berteriak sangat nyaring hingga tenggorokannya sakit. Ada darah di mana-mana. Dia ingat melihat lantai ruangan yang penuh dengan darah. Itu sebabnya dia berteriak. Beberapa wanita dengan pakaian serba putih tergesa-gesa menghampirinya, menahan tangan dan kakinya. Lalu dunianya kembali gelap.

            Kali kedua Mauren membuka matanya, dia hanya bisa terpaku. Seorang pria dengan jas putih khas dokter tampak berbicara pada ibunya. Di saat itulah Mauren sadar dia sedang berada di rumah sakit. Tubuhnya terhubung melalui selang pada monitor-monitor entah apa. Mereka sesungguhnya hanya berdiri di samping ranjang pasien tempat Mauren berbaring, tetapi Mauren tidak bisa mendengar apa yang tengah mereka bicarakan. Dia seperti sedang menyaksikan televisi yang di-mute. Dia seperti tengah menyaksikan mereka dari kejauhan. Mauren mencoba mengingat-ingat kenapa dia bisa berada di sini. Apa yang terjadi? Namun setiap kali dia memaksakan otaknya bekerja, kepalanya menjadi sangat sakit. Dia memutuskan memejamkan mata dan beberapa saat kemudian dirinya kembali dipeluk kehampaan. Mauren jatuh tertidur.

            Kali ketiga Mauren tersentak dari tidurnya, dia memandang langit-langit yang terlihat sangat familiar baginya. Dia hafal pola yang ditinggalkan rembesan air pada plafonnya dan juga aroma khas buku-buku fiksi kegemarannya, beberapa lembaran telah menguning dan koyak karena terlalu sering dibaca. Aroma seperti itu hanya ada di kamarnya. Bagaimana dia bisa berada di kamar masa kecilnya?

            “Mari kita lupakan segalanya. Ikutlah denganku dan kita mulai semua dari awal tanpa menoleh ke belakang.”

            Mauren tahu dia sedang sendiri di kamar itu tetapi entah kenapa dia seperti bisa mendengar suara Noah di dekatnya. Begitu dekat seolah berasal dari dalam kepalanya.

            Noah?

            Di mana Noah?

            “Noah!?” Mauren seolah baru saja dientakkan oleh kesadaran. Dia berusaha bangkit untuk duduk namun mendadak kepalanya terasa sakit. Dia bersandar pada kepala ranjang berharap rasa sakitnya bisa berkurang. “Noah!?”

            “Ren, Sayang, kau sudah sadar, Nak?” Desi, nama lengkapnya Desire Van Derslood, nama belakangnya demikian tetapi sesungguhnya wanita itu asli penduduk Kota Praia, tergopoh-gopoh menghampiri putri semata wayangnya. “Ada yang sakit?”

            Mauren tidak tahu ini jam berapa tapi,rasanya sudah malam karena jendela di kamarnya tertutup dan dia tidak mendengar suara bising kendaraan di luar. Rumah tempat dia bertumbuh terletak di samping jalan raya yang lumayan padat di waktu siang. Mauren menggeleng, “Ma, kenapa aku bisa ada di sini? Di mana Noah?”

            Desi tidak langsung menjawab melainkan menatap Mauren lekat-lekat. Jenis tatapan yang biasa Mauren dapatkan jika ibunya itu sedang banyak pikiran dan gelisah.

            “Ada apa, Ma?” Mauren mengernyitkan keningnya. “Di mana Noah?”

Dia dan Noah sudah delapan bulan menikah dan sejak saat itu Noah tidak pernah meninggalkannya sendirian dalam waktu yang lama. Ya, Mauren ingat saat dia tersadar di rumah sakit pun dia tidak melihat keberadaan Noah. Tapi, apa yang terjadi sampai dia harus masuk rumah sakit? Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Benarkah dia masuk rumah sakit? Mauren mencoba mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelum ini. Dia dan Noah di dalam kendaraan menuju ke rumah ibunya. Noah duduk di kursi kemudi, dia di kursi penumpang, kue ulang tahun mereka letakkan di kursi belakang.  Sembilan September ulang tahun Desire. Mereka berkunjung untuk merayakan ulang tahun ibunya yang ke 48. Ya, dia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah ibunya. Lalu, lalu apa yang terjadi? Mauren tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Apa mereka mengalami kecelakaan?

“Ini tanggal berapa?”

“Mauren ….”

“Ini tanggal berapa, Ma? Aku dan Noah sedang menuju ke mari. Aku ingat kami naik mobil bersama. Lalu aku ingat aku tersadar di rumah sakit.” Mata Mauren berkaca-kaca. Bukan karena bersedih, tapi karena tidak tahu apa yang sudah dia alami. Dia seolah tengah mengalami disorientasi. Lupa akan tanggal, siang atau malam dan juga peristiwa sebelum ini.

“Ini tanggal dua belas.” Desi menjawab pelan

Tanggal dua belas? sudah tiga hari beralalu sejak dia berkendara bersama Noah menuju ke rumah Desi. Apa yang terjadi setelahnya? Apa yang terjadi dalam tiga hari ini? Mauren berusaha keras mengingat dan sakit yang memilukan kembali menyerang kepalanya. Seperti ada ribuan jarum tak kasat mata yang menghujam tengkoraknya, mengoyak sel-sel otaknya. Mauren memejamkan mata sambil meringis kesakitan. Refleks kedua tangannya terangkat memegangi kepalanya. Di saat itulah dia bisa merasakan sesuatu di sana. Perban.

“Apa kami kecelakaan!? Apa yang terjadi? Di mana Noah?”

Melihat Mauren panik, Desi memegang pundak Mauren dengan kedua tangan, berusaha menenangkannya. “Mauren, tenanglah. Tenanglah. Kau baik-baik saja.” Desi merengkuh Mauren dan membawa wanita muda itu ke dalam pelukannya.

            “Apa yang sudah terjadi padaku dan Noah? Apa yang terjadi pada kami?”

            Desi membelai rambut putrinya dan mengembuskan napas berat, seolah ada beban berton-ton menggelayut di sana. Dia kemudian berujar, “Aku tidak tahu apakah sudah saatnya menceritakan ini semua padamu.”

            “Apa maksud Mama?” Mauren melepaskan pelukan ibunya, merenggangkan jarak tubuh mereka agar dia dapat langsung menatap mata ibunya yang cokelat muda. “Apa aku mengalami kecelakaan? Apa Noah baik-baik saja?”

            Desi menggeleng. “Bukan kecelakaan. Lebih tepatnya insiden. Dan Noah, Noah … aku tidak tahu Noah di mana saat ini. Nak, dia pergi setelah mencampakkanmu dan … dan ….” Suara Desi tertahan di tenggorokan. Dia tercekat serta tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ada kabut kristal yang membayangi kedua bola mata tua itu.

            “Mencampakkanku?”

Mauren bukan tidak percaya apa yang diucapkan oleh Desi. Selama ini wanita paruh baya itu selalu berkata jujur padanya. Dia pun demikian. Ibunya membesarkan Mauren seorang diri sejak Mauren baru berumur sepuluh tahun. Mereka memiliki hubungan yang begitu dekat. Terkadang Mauren merasa hubungannya dengan Desi tidak hanya sebatas orang tua dan anak. Desi berperan sebagai sahabat baik bagi putri tunggalnya itu. Namun, informasi bahwa Noah mencapampakkan Mauren sama sekali susah dipercaya. Noah adalah suami yang baik dan penyayang. Noah adalah hadiah terbaik yang Tuhan pernah hadirkan dalam kehidupan Mauren. Tidak mungkin Noah mencampakkannya. Apa maksud ibunya berkata demikian?

“Tidak mungkin, Ma.” Mauren menggelengkan kepalanya. Terlalu cepat hingga rasa sakit kembali menyapa.

“Lihat ini.” Desi menyentuh lengan Mauren. Ada bekas memar yang meski sudah memudar tetap terlihat di sana. “Ini juga.” Tangan Desi berpindah ke bahu Mauren dan seketika rasa sakit hadir di tempat itu. Dia menoleh ke arah bagian tubuh yang terasa sakit tersebut dan lebam lain tercetak pada permukaan kulitnya, dengan ukuran yang lebih besar, dengan warna yang lebih gelap. “Noah memukulimu. Apa kau tidak ingat?”

Ucapan Desi pelan saja tapi Mauren seolah merasakan gempa tektonik berkekuatan tujuh skala richter baru saja melanda. Noah melakukan itu? tidak mungkin! Noah bukan ayahnya yang senang mabuk-mabukan dan menjadikan tubuh ibunya sasaran amarah. Noah bukan ayahnya yang tidak akan ragu mendaratkan pukulan, tamparan bahkan tendangan di tubuh ibunya. Noah bukan lelaki seperti ayahnya maka untuk itulah Mauren bersedia menikah dengannya.

“Tidak mungkin!”

“Aku juga tidak ingin percaya. Tapi dia mengantarmu di hari itu dengan kondisi yang sangat buruk. Lebam di mana-mana. Kau tidak berhenti menangis hingga pingsan di kamar mandi.”

Air sudah mengalir deras dari mata Mauren dan menimbulkan jejak-jejak pada pipinya. “Karena itukah aku dirawat di rumah sakit?”

“Ya.” Desi menjawab pelan. “Kau pingsan di kamar mandi dan kepalamu membentur sesuatu, entah dinding entah lantai, saat terjatuh. Aku panik dan menelpon Nicko. Kami membawamu ke rumah sakit. Hanya luka jahitan kecil. Tapi, dokter bilang sepertinya kau mengalami trauma psikis.”

Mauren menyentuh bagian kepalanya yang dibebat perban. “Noah ….”

“Noah tidak pernah muncul sejak dia mengantarmu kemari.” Desi gegas menyela.

Mauren menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah dan mulai menangis hingga bahunya berguncang.

“Aku tahu kalian tengah mengalami masa yang sulit. Keguguran yang baru saja kau alami, kau ingat itu? mungkin itu juga yang menyebabkan Noah meninggalkanmu.”

Mauren refleks menyentuh perut dan meremasnya. Ya, dia ingat tentang keguguran yang dialaminya seminggu lalu. Dia sangat terpukul. Dia menangis berhari-hari. Menangisi kepergian janin yang kata dokter kandungan baru berusia enam minggu. Kenapa Noah meninggalkannya dalam kondisi terpuruk seperti ini?

Dia ingat hari itu dirinya dan Noah di dalam kendaraan menuju ke rumah ibunya. Noah duduk di kursi kemudi, dia di kursi penumpang, kue ulang tahun mereka letakkan di kursi belakang.  Itulah ingatan terakhirnya tentang Noah. Noah bilang, “Mari kita lupakan segalanya. Ikutlah denganku dan kita mulai semua dari awal tanpa menoleh ke belakang.”

Mauren tersentak. Tidak! Tidak mungkin Noah tega meninggalkannya seperti ini. Pasti ada yang salah.[]