Enggak Ada yang Salah Denganmu

Enggak Ada yang Salah Denganmu

Astrid SV

4.9

Hai, aku Mentari 

Dan ini ceritaku …

 

Aku sudah telanjur diajarkan bahwa ada yang salah denganku, dan bahwa aku tidak sempurna. Tapi kenyataannya, tidak ada yang salah denganku dan aku bukannya tidak sempurna

Juga, kecuali kamu dibesarkan oleh Calon Arang si penyihir mandraguna, maka tidak ada yang salah denganmu.

Dulu, saat aku tumbuh dewasa, aku kerap mendengar kalimat-kalimat berikut ini - mungkin kamu juga pernah meski tidak semuanya:

  • Apa kubilang, kamu sih nggak mau dengerin, malah ngeyel.
  • Kamu tuh kayak anak tolol tau nggak sih.
  • Kalau nggak mau nurut, kucubit kamu sampai nangis.
  • Halaaah, itu kan cuma perasaanmu aja.
  • Masa sih cuma kayak gitu aja baper? Dasar lemah.
  • Kamu tuh masa nggak bisa bedain mana yang benar mana yang salah?
  • Otakmu ditaruh di mana?
  • Mestinya kamu malu sama dirimu sendiri.
  • Bikin malu aja, awas ya kalau kamu sampai kayak gitu lagi.
  • Sukurin, makanya jangan bandel.
  • Makanya perhatiin kalau orang tua ngomong.
  • Kamu itu bikin kacau saja, nggak mikir apa kalau kamu itu bikin orang tua susah.
  • Tega banget ya kamu bikin orang tua sengsara.
  • Dasar anak kurang ajar. Pasti ada yang nggak beres sama kepalamu.
  • Bisa nggak sih sekali aja kamu lakukan sesuatu dengan benar?
  • Aku tuh sudah berkorban banyak buatmu, beginikah balasannya?
  • Jangan membantah, kamu harus nurut sama orang tua
  • Memangnya kamu tuh siapa?
  • Dasar anak nakal, tingkahmu bikin pusing aja, sengaja ya bikin aku gila?
  • Apa kata tetangga nanti?
  • Berani-beraninya kamu melototin orang tua, awas ya kupotong lehermu nanti.
  • Dasar anak nakal, aku benci kamu.
  • Kalau tahu begini, aku nyesel ngelahirin kamu.
  • Kamu harus makan ini karena banyak anak di luar sana yang kelaparan
  • Awas ya kamu kalau berani begitu lagi
  • Udah kalau nggak mau nurut, pergi aja kamu dari rumah!

 

Dari semua ungkapan di atas, aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah denganku.

 

TENTU SAJA

MEMANGNYA ADA KESIMPULAN LAIN?

 

Jika tidak ada yang salah denganku, MEREKA TIDAK AKAN MEMPERLAKUKANKU SEPERTI ITU! MEREKA TIDAK AKAN BERKATA BEGITU PADAKU!

 

SALAH!

 

Lantas, kenapa mereka melakukannya? Kenapa mereka bicara begitu padaku?

Ya, karena dulu mereka pun mendapat perlakuan seperti itu.

Karena kita hanya melakukan apa yang telah diajarkan kepada kita.

Itu dinamakan “mengasuh anak” atau parenting

 Aku menyebutnya “luka batin dan kesedihan”

 

Awal Mula

Kebanyakan orang memegang erat keyakinan akan cara yang paling benar dalam mengasuh anak, sebagian besar dari keyakinan itu bahkan tidak tergoyahkan. Bahwa alasan utama mereka bersikap “baik” adalah karena mereka harus menghukum diri saat bersikap “buruk”.

Dengan kata lain, agar aku nantinya jadi orang baik, maka aku harus terbiasa ‘dihukum” sejak kecil.

 

Tapi, aku enggak suka dihukum—apalagi saat aku benar-benar enggak tahu apa kesalahanku. Lagian, siapa sih di dunia ini yang suka dihukum?

 

Ironisnya, sampai hari ini aku tetap saja ketagihan dihukum. Bukan, bukan oleh orang tuaku. Usiaku sudah 25 tahun, jadi enggak mungkin mereka menghukumku dengan cara yang sama dengan semasa kecil. Karena itu, untuk memenuhi ketagihanku akan hukuman, supaya aku senantiasa jadi orang yang baik, maka aku menghukum diriku sendiri. Iya, aku musuh bagi diriku sendiri.

 

Iya, ini sama persis seperti kata kutipan yang mungkin sering kamu lihat di Google Image atau Pinterest bahwa “Musuh terbesar adalah diri sendiri”.

 

Aku bisa saja mengabaikan orang lain yang membenci dan mengritikku, tapi lain halnya kalau si pembenci dan si pengkritik itu adalah diriku sendiri. Pada kenyataannya, perasaan tidak berharga dan benci diri menjadi sesuatu yang sangat membatasi hidupku.

Bukan sekali atau dua kali aku mengatakan pada diri sendiri, “Aku benci diriku!”—entah karena aku gagal pada satu hal, karena bentuk tubuhku nggak sekeren orang lain, atau karena hidupku enggak seberuntung orang lain.

 

Lucunya, di sisi sebaliknya, aku sering bertanya-tanya dari mana asalnya perasaan ini? Bagaimana perasaan tersebut bisa memengaruhiku, dan bagaimana aku bisa mengatasi perasaan tersebut agar bisa menjalani kehidupan yang bebas dari sikap kasar kritik batinku?

 

Si Tukang Kritik dan Si Pembenci


  • Kamu itu terlalu gemuk, terlalu tua, terlalu malas.
  • Kamu itu payah, hal semudah itu aja nggak bisa
  • Kamu itu nggak tahu apa-apa, nggak punya otak, nggak pernah cukup baik.
  • Kamu itu nggak seperti si Ani, makanya hidup kamu begitu-begitu saja.

 

Aku enggak tahu bagaimana dengan kamu, tapi aku akrab dengan kalimat-kalimat yang diucapkan tukang kritik dalam kepalaku. Sejak bangun pagi hingga hendak tidur malam, suara-suara itu riuh sekali, mengoreksi, men-judge, menyalahkan semua yang kulakukan, kukatakan dan bahkan yang hanya kuucapkan dalam batin.

 

Untungnya, aku enggak sendirian. Banyak orang melihat dirinya dari sudut pandang negatif, bahkan orang-orang yang paling keren, mudah disukai dan mudah menyesuaikan diri sekali pun memiliki perasaan semacam ini.

 

Menurut Dr. Robert Firestone, seorang psikolog dan penulis, dalam bukunya “Conquer Your Critical Inner Voice”, perasaan itu biasa terjadi karena setiap orang memiliki dua diri, yakni diri sejati dan anti diri.



Diri Sejati dan Anti Diri


Yang dimaksud dengan Diri Sejati adalah bagian dari diri kita yang menerima diri sendiri, mengarahkan pada tujuan dan meneguhkan hidup, sedangkan Anti Diri adalah bagian dari diri kita yang membenci dan menyangkal diri sendiri, paranoid dan selalu curiga.

 

Anti Diri diekspresikan dalam suara kritik batin (inner critic voice). Suara kritik batin ini seperti seseorang di dalam kepala yang terus menerus mengomentari kehidupan kita secara negatif, memengaruhi cara kita berperilaku dan perasaan kita tentang diri sendiri.

 

Suara-suara itu kadang merusak tujuan kita dengan berkata, "Memang kamu itu siapa? Kamu tidak akan pernah sukses!”, kadang meremehkan pencapaian kita dengan bilang, “Tidak selamanya keadaan akan baik seperti ini, cepat atau lambat kamu pasti akan membuat kesalahan.”

 

Suara itu ada untuk menyabotase hubungan kita dengan sok menasihati, "Dia tidak benar-benar mencintaimu. Kamu seharusnya tidak memercayainya," atau mengritik orang-orang yang dekat dengan kita, "Kok dia mau ya berteman denganmu? Pasti dia belum tahu kamu tuh sebenarnya kayak apa." Sesekali, suara itu bisa terdengar menenangkan, memanjakan akan tetapi sebenarnya sedang mendorong kita untuk merusak diri, lalu menghukum kita. Misalnya ketika berkata, “Habisin saja kue cokelatnya. Seminggu ini kamu sudah bekerja keras jadi kamu layak mendapatkannya," dan beberapa saat kemudian suara itu akan muncul lagi dengan komentar seperti, "Dasar pecundang gendut. Kok bisa-bisanya kamu mengacaukan dietmu lagi?”.

 

Meskipun mungkin tampak aneh melihat diri sendiri melalui sudut pandang ini, kita semua memiliki suara kritik batin. Proses pemikiran tersebut begitu mengakar sehingga hampir-hampir tidak kita sadari kemunculannya. Sedihnya, alih-alih mengakui suara tersebut sebagai musuh, kita malah mengartikannya sebagai sudut pandang Diri Sejati. dan kita memercayai apa yang dikatakannya tentang diri kita.

 

Kalau boleh berbagi pengalaman, suara-suara di kepalamu sering bilang hal-hal buruk apa tentang kamu? Terima kasih.

 

Love, Mentari.

***