Jakarta, 17 Maret 2012
Tengah malam ...
Tristan Alexander meraih sebotol wine di atas rak meja bar yang berada tepat di celah bawah tangga rumahnya. Membuka tutupnya lalu menuangnya ke dalam gelas sloki yang berada di dalam genggaman tangannya. Menenggaknya berulang-ulang.
Kasar ia melepas dasi yang membelit lehernya sejak tadi, membuka paksa kancing kerah kemeja biru gelap lengan panjang yang ia kenakan dan sangat membuatnya begitu sesak seharian.
Sengaja ia pulang larut malam. Besok pagi adalah hari pernikahannya bersama Davina Fransiska, wanita yang menjadi pilihan mama untuk mendampingi hidupnya. Perjodohan itu tak sesuai keinginannya. Ia menerima itu dengan hati yang sangat terpaksa.
Tristan sama sekali tidak mencintai sosok Davina meskipun wanita itu telah hadir dalam kehidupannya sejak usia belasan tahun saat mereka masih sama-sama duduk di bangku SMP. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hari-harinya bersama Davina, sementara di dalam hatinya hanya ada satu nama yang sudah lama terpatri, yakni Solandra Eliana?
Tristan merogoh kantung celana panjangnya dan mengeluarkan kotak bungkusan rokok yang sempat ia beli di sebuah kios pinggir jalan. Mengambilnya sebatang lalu menyulutnya. Ia menyesapnya bergantian, antara wine dan rokoknya. Asapnya mengudara, menari-nari di hadapan wajahnya. Hal yang paling dibenci oleh Solandra dan ia lakukan lagi malam ini.
“Akh ...,” geram Tristan kesal sambil mengacak-acak rambutnya.
Tristan mendongak saat ia mendengar suara pintu utama yang dibuka dari luar. Meskipun dalam kegelapan nyatanya ia dapat menangkap sosok wanita yang berjalan perlahan menuruni anak tangga satu persatu. Ia bangkit dari duduknya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan matanya dari wanita itu.
“Solandra!”
Solandra terperanjat karena tak menyangka pemilik suara bariton yang sangat ia kagumi itu ada di sana, di sudut ruangan, di bawah tangga, di dalam kegelapan. Langkahnya sempat terhenti. Meskipun ragu, namun hatinya tetap berkata untuk menghampirinya.
“Tristan?” lirihnya yang saat ini hanya menyisakan jarak tiga meter saja di antara keduanya.
Tatapan mereka bertemu. Bergeming tanpa suara seolah biar mata yang berbicara. Sorot mata itu begitu penuh makna. Ada berjuta rasa bercampur aduk saat ini. Begitu membelenggu jiwa. Begitu menyakitkan.
Suasana hening. Lama sekali. Mereka masih saling memandang. Tristan berjalan menghampiri, mendekat dan semakin dekat lalu menangkup kedua belah pipi Solandra, tanpa aba-aba mencium bibir ranum wanita itu. Solandra terkesiap namun tetap membiarkan perlakuan Tristan padanya. Air matanya mengalir. Ia membelai kepala Tristan dengan perasaan cinta yang begitu dalam. Tristan melepas ciumannya. Menatap lekat telaga bening yang kini ada di hadapannya.
“Bagaimana mungkin kita bisa melewati semua ini?” tanyanya. Solandra menggeleng, sementara ia tak tahu harus menjawab apa.
“Beritahu aku bagaimana caranya, Andra?” tanyanya lagi.
“Apa kita harus pergi diam-diam, hidup bersama dan bahagia selamanya?” Tristan terus mendesak. Solandra menggelang, air matanya semakin mengalir.
Tristan kembali menciumi bibir Solandra, melumatnya tanpa memberikan wanita itu sedikit ruang untuk bernapas. Mungkin saja ini adalah malam terakhirnya bersama Solandra. Malam terakhir ia bisa mencium bibir wanita itu. Menyentuhnya. Sebelum akhirnya semua yang ada di tubuhnya akan menjadi milik Davina seutuhnya.
Tristan terus mendesak tubuh Solandra hingga menyentuh dinding lalu mengangkat ke dua tangan wanita itu ke atas. Kembali saling berciuman, saling memagut, saling melumat. Tristan begitu menikmati ciuman itu, meskipun perasaannya sedang kalang kabut saat ini.
“Kamu dari mana baru pulang jam segini? Hah?” tanya Tristan setengah berbisik sambil menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher jenjang milik wanita itu. Meresapi aromanya dalam-dalam.
Tangan kekar itu terus menjulur membuka satu persatu kancing blouse bewarna maroon yang melekat pada tubuh Solandra. Menariknya hingga buah dada indah itu menonjol keluar. Tristan meremasnya, menjalari ciumannya hingga ke bawah, menjilatnya dan menghisapnya. Meninggalkan beberapa tanda merah di sana.
Hening, yang terdengar hanyalah deru napas mereka yang saling memburu, seolah berlomba satu sama lain. Solandra semakin menekan kepala Tristan hingga ke dalam. Ia begitu menikmati tiap sentuhan yang diberikan oleh lelaki itu meski ia tahu bahwa rasa ini adalah terlarang baginya.
“Aku sudah bilang jangan pulang larut malam. Apalagi sendirian begini,” sambungnya. Napasnya terengah-engah. Sementara Solandra justru menangis mendengar apa yang Tristan katakan barusan. Begitu perhatiannya lelaki itu padanya. Sejak dulu dan tak pernah berubah.
“Besok aku nikah, seharusnya kamu tetap di rumah mempersiapkan semuanya,” ceracau Tristan. Solandra semakin pilu, begitu menyayat hati. Ia menarik tubuh Tristan, memeluknya erat-erat dan menangis tanpa suara di dalam dekapannya.
“Selamat ya,” lirih Solandra. Meski berat hati dirinya harus mengatakan itu.
“Tidak, Andra. Aku ingin terus bersama kamu. Ayo, kita pergi saja dari sini! Tidak akan ketahuan, semuanya sudah tidur. Ayo!” Tristan menarik kuat lengan Solandra. Langkahnya terhenti karena sosok wanita itu enggan melangkahkan kakinya. Tristan menoleh.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kita tidak bisa seperti ini. Aku tidak mau merusak semuanya, Tristan. Aku tidak ingin mengecewakan semua orang di rumah ini yang sudah begitu menyayangiku sejak kecil,” jawabnya. Tristan menautkan kedua alisnya.
“Tidak ingin mengecewakan semua orang? Tapi kamu mengecewakan aku, Andra,” ucap Tristan dengan suara tertahan karena takut akan membangunkan salah satu penghuni rumah ini.
“Mengertilah, Tristan. Keadaannya berbeda,” jawab Solandra. Tristan termangu. Ia tersadar dengan apa yang barusan Solandra ucapkan. Ada sejumlah hati yang harus ia jaga perasaannya. Bukan hanya mama dan Hellena. Kalau Davina dia tak akan peduli. Tapi, bagaimana dengan Paskal?
Solandra menjatuhkan beban tubuhnya ke sebuah sofa yang ada di sampingnya. Ia menunduk, menatap lantai marmer yang terasa begitu dingin dalam pijakannya. Tristan berjalan menghampiri lalu bersimpuh di hadapannya. Jemarinya menyelipkan rambut panjang yang terjuntai milik wanita itu ke belakang telinganya.
“Kamu yakin?” tanyanya. Solandra bergeming. Bimbang akan perasaanya sendiri. Hanya satu yang ia tahu, bahwa ia sangat mencintai sosok lelaki itu.
“Bagaimana dengan kejadian malam itu? Hmm?” tanya Tristan.
Solandra menengadah dengan bulir bening memenuhi pelupuk matanya. “Lupakan saja kejadian itu!”
“Semudah itu?” Tristan kembali bertanya seakan meminta keyakinan. Tatapan matanya tajam seolah menghunus jantung wanita itu.
“Lambat laun kamu pasti akan bisa melupakannya,” jawab Solandra
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kejadian itu? Itu sama saja melupakanmu yang sudah sangat aku cintai sejak kecil, bayangkan saja Andra, dari umurmu sepuluh tahun, masih memakai seragam merah putih, kelas enam SD, aku diam-diam sudah menyukaimu. Berikan jawabannya! Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok wanita yang aku cintai sejak lima belas tahun silam?!” desak Tristan sambil terus mengguncang ke dua bahu Solandra. Suasana hening sejenak.
“Anggap saja kejadian malam itu tidak pernah ada, Tristan,” pinta Solandra.
“Bagaimana kalau ternyata ia bersemi di sana, Andra?” tanya Tristan. Tangannya menjalar menyentuh dengan lembut bagian perut wanita itu.
Solandra menepisnya. “Tidak akan mungkin! Kita hanya sekali melakukannya.”
“Sedang apa kalian di sana?! Apa yang barusan kalian bicarakan?! Apa yang sudah kalian lakukan?!” Bak disambar petir di siang bolong, wanita yang suaranya tak asing itu sudah berdiri di tengah ruangan, di dekat pilar besar di sana. Keadaan telah terang benderang karena wanita itu menghidupkan lampunya.
“Hellena?!” Tristan dan Solandra terlonjak hampir bersamaan.
Hellena mendekati mereka. Solandra segera berdiri. Buru-buru mengusap air matanya dan kembali mengancingi bajunya satu-persatu. Ia membereskan semuanya yang berantakan karena cumbuan Tristan padanya beberapa menit yang lalu. Hellena memicingkan matanya. Ia menangkap sebuah kejanggalan di sana.
“Ada rahasia apa di antara kalian berdua?!” tanyanya. Mereka masih bergeming. Hellena menghela napas beratnya.
“Cepat katakan yang sejujurnya sebelum aku berubah pikirkan dan membangunkan semua orang yang ada di rumah ini, terutama Paskal!” ancam Hellena. Tristan panik dan cepat meraih bahu Hellena, adik perempuan satu-satunya itu.
“Aku dan Solandra ....” Tristan mengatur napasnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Sudah lama saling mencintai, Hellen.”
Hellena terperangah dengan mulut yang menganga. Sungguh tak menyangka dan nyaris tak percaya dengan apa yang barusan diungkapkan kakak tertuanya itu. Sementara Solandra terduduk lemas dan menyesali tindakan Tristan karena mengatakan yang sejujurnya pada Hellena.
“Apa?!” Hellena tercekat dengan bola mata membulat sempurna.
***