Empat Bunga

Empat Bunga

Nitalya

0

Seorang pria berambut cokelat terang berjalan cepat, sedikit tergesa dengan langkah panjang dan sesekali menoleh ke belakang. Napasnya memburu cepat, sejalan dengan langkah kaki yang entah akan membawanya kemana. Tujuannya hanya satu, bersembunyi.

Saat hendak berbelok arah ke tempat jajaran ruko, ekor mata pria ini menangkap dua pria berpakaian serba hitam yang tengah berlari di belakangnya, dengan sepasang kepala yang masih memutar mencari target mereka hari ini.

"Sial!" desis pria bertubuh jangkung ini.

Rasa nyeri pada lutut kanannya mulai mengganggu. Dia meringis menahan sembari mencari solusi tercepat. Keringat ketakutan akan tertangkap ini mulai memperparah semuanya.

Langkah kakinya terhenti di depan toko bunga. Dia kembali menoleh ke belakang, sejalan dengan kaki yang melangkah ke arah pintu kaca, dan tangan yang segera mendorong cepat pintu itu.

Dalam napas memburu, pria bernama Luis ini tercekat dengan pandangan mata menyisir bunga-bunga cantik yang tertata di lemari pendingin. Kepalanya mulai mencari tempat persembunyian disana.

Sialnya, seluruh bagian tempat luas ini dipenuhi lemari pendingin berisi bunga dan menyisakan ruang di tengahnya yang luas sebagai ruang tunggu, ruang kerja merangkai bunga, dan juga meja kasir yang tanpa menyekat ruangan.

Spontan sebelah tangannya meremas lutut yang tak bersahabat, disertai desisan tertahan. Hari ini, lutut itu terlalu terforsir untuk diajak berlari.

Pandangan matanya tetiba saja terpatri di sudut ruang ujung belakang. Tempat dimana bunga mawar berwarna hitam itu tertata rapi di lemari pendingin.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"

Suara wanita membangunkan Luis untuk menoleh ke sumber suara, lalu mencoba mengatur napas dan urat kecemasan yang semula tergambar jelas di wajahnya.

"Boleh lihat bunganya dulu?" tunjuk Luis ke arah bunga mawar hitam.

"Mawar hitam?" tanya wanita berhidung lancip ini. "Baru datang kemarin, dia dari Halfeti," tambahnya dengan senyuman, lalu meneruskan langkah ke meja kerjanya.

Luis melangkah pelan mendekati bunga itu dengan sedikit terseok-seok menahan nyeri. Tatapan matanya seolah tak memikirkan apa yang membuatnya bersembunyi di tempat ini.

"Misterius, elegan dan langka. Anda termasuk yang mana? Setia dan cinta mati, atau malah ketragisan dalam sebuah perjalanan? Semuanya selalu punya dua sisi yang berbeda."

Langkah kaki Luis terhenti tepat di depan lemari pendingin penyimpan bunga mawar hitam yang sejak tadi tak mengubah arah pandangnya sama sekali. Jemarinya tergerak pelan membuka lemari pendingin untuk memeluk sekuntum bunga.

Tepat disaat itulah dua pria berpakaian serba hitam melewati jalanan depan toko bunga ini. Meski dengan kepala dan mata yang masih menyisir penjuru arah, nyatanya mereka tak menyadari keberadaan orang yang berada di toko bunga ini.

Begitu jemari itu membelai lembut, benak Luis memutar ingatan tentang bunga mawar. Bukan hitam, tapi ungu tua.

Buket mawar ungu tua itu tersirami tetesan darah. Pelan tapi pasti, warnanya mulai tercemari. Seolah warna merah darah ini berhasil mengubahnya menjadi titik-titik noda hitam. Sejalan dengan derasnya darah yang keluar mengenai buket itu, seolah mawar ungu tua ini sepenuhnya segera menghitam.

"Gina ...." parau Luis dan segera bangunkan diri dari lamunan yang mampu buramkan matanya, terpenuhi embun yang siap menetes.

"Apa itu terlalu berat?" tanya wanita berambut kehijauan pemilik toko bunga ini.

"I-iya," spontan Luis dengan menutup lemari pendingin, mengusap ujung mata seolah dia merasa sudah menangis.

"Tolong buatkan buket mawar hitam ini. Semuanya," ucap Luis sembari berbalik menghadap pemilik toko bunga.

"Semuanya?" Wanita ini melebarkan mata tak percaya, dan perhatiannya segera teralihkan ke pintu toko yang terbuka.

Remaja itu berjalan pelan dengan wajah murung seolah tak punya harapan hidup di dunia. Kelopak matanya seolah enggan semangat untuk terbuka. Penutup kepala dari jaket hitam yang dia kenakan, menambah kesan tampan dan misterius dalam wajah remaja ini.

"Ada yang bisa saya bantu? Biar saya pilihkan bunga sesuai apa yang sedang Anda alami saat ini."

Mata remaja bernama Bimo ini segera memandang lurus ke arah pemilik toko. "Tolong buatin buket bunga berpesan kekecewaan dalam ketidaksetiaan."

Bimo berjalan pelan menghampiri dengan nyalakan benda pipihnya. "Bisa kirim hari ini, kan?" tambahnya pada pemilik toko.

"Bisa, dengan ongkos tambahan. Silahkan pilih model buket yang bagaimana dan kartu ucapannya. Setelah itu tulis di sini nama pengirim, penerima, isi dari kartu ucapan, dan alamat tujuannya. Oya, sebelum itu, mau jenis bunga apa? Mawar? Atau bunga lainnya?"

"Mawar? Yang bener aja? Bukannya mawar buat orang jatuh cinta? Kayanya gue salah masuk sini." Bimo memasukan benda pipihnya ke saku jaket, dan berbalik arah hendak ke luar toko.

"Hyacinth ungu, aconitum, poppy merah, bisa siratkan lambang kesedihan, kekecewaan atas ketidaksetiaan seseorang. Bunga anyelir kuning, mawar kuning dan hyacinth kuning melambangkan penolakan, penghinaan, kekecewaan, kecemburuan dan kesedihan."

Bimo segera membalik badan, kembali mendekat ke meja kasir, mengambil sembarang kartu ucapan, dan menulis sesuai arahan pemilik toko bunga.

"Buatin kombinasi tiga bunga kuning itu dan kirim segera."

"Atas nama Bimo Aldyansyah untuk Nona Celine. Baiklah, saya akan menghubungi Anda jika buket sudah berhasil dikirim di tempat tujuan. Terima kasih sudah memesan di toko ini. Silahkan pilih metode pembayaran."

Usai selesaikan pembayaran, dengan wajah dingin Bimo pergi begitu saja. Tapi saat di depan pintu toko, langkahnya terhenti begitu melihat pria yang masih berdiri menghadap mawar hitamnya.

"Apa arti mawar hitam?" tanya Bimo.

"Tergantung dari sudut mana kita memaknainya. Misterius, elegan dan langka. Bisa saja kesetiaan dan cinta mati. Atau juga berkabung, perpisahan, kematian, kesedihan, dan ketragisan."

Pemilik toko menjeda ucapannya dengan memandang ke Bimo, lalu berganti ke arah pria yang berdiri di sudut ruangan itu.

"Tak bisa patenkan hanya melambangkan untuk kesedihan atau kesetiaan. Seperti kenyataan mawar hitam itu sendiri. Yang sebenarnya berwarna merah brugundi gelap dan semakin memekat sesuai kandungan Ph tanah di Halfeti. Jika ditanam di tempat lain, mungkin warnanya akan berbeda. Menurtku itulah arti sebenarnya mawar hitam. Sesuai dengan keadaan apa yang sedang terjadi dari si pemberi maupun si penerima."

Begitu selesai mendengarnya, Bimo segera melangkah pergi, sedang Luis yang di sudut ruang segera mendekat ke meja kasir. Dia memilih bentuk buket, kartu ucapan, menulis nama pengirim, penerima dan alamat tujuan.

"Atas nama Luis Ken Horner dan penerimanya, Anda sendiri?"

Luis tak merespon mata bertanya itu, pria ini melangkah menjauh setelah menyelesaikan transaksi.

"Baiklah, saya akan menghubungi Anda jika buket sudah berhasil dikirim di tempat tujuan. Terima kasih sudah memesan di toko ini."

Luis berjalan untuk membuka pintu, dan berpapasan dengan pria berpakaian rapi yang hendak memasuki toko ini. Pria itu memiliki pengawal pribadi bertubuh jangkung seperti Luis. Luis menepi sejenak memberi jalan pada mereka.

Entah apanya yang salah, pria jangkung bernama Ryu yang berdiri di hadapan Luis ini meninggikan alis seolah tercekat sejenak, sebelum meneruskan langkah memasuki tempat ini dan diikuti pria muda berambut cokelat kehitaman, bermata cokelat kekuningan, dan berwajah berkarisma wibawa.

Melihat Ryu, sejenak Luis merasa tak bisa bernapas. Luis mengenali dengan benar siapa Ryu, yang bahkan pria itu tak mengenal Luis sama sekali. Spontan, bayang wajah pemilik mata bulan sabit saat tersenyum ini penuhi kepala Luis.

"Su-suka," gumam Luis pada dirinya sendiri, yang seolah menatap Ryu tanpa kedip.

"Anne!" lantang pria yang datang bersama Ryu, seolah toko bunga ini miliknya. Sedang Ryu yang kini berdiri di belakangnya tak henti menatap Luis tajam.

"Nona Anne mungkin sedang di belakang, Tuan Muda."

"Ryu, suruh Anne buat buket kombinasi mawar merah dan ungu, seperti biasanya. Aku mau ketemu Gina siang ini. Kenapa dia lama sekali, Ryu?"

Langkah Luis terhenti begitu dia mendengar pria itu menyebut nama Gina. Pria ini menoleh, ingin bertanya tapi enggan.

"Mungkin sedang menyiapkan bahan buket, Tuan Muda. Kita tak punya banyak waktu, saya bisa menelfonnya saat kita di perjalanan."

"Aku pengen bicara empat mata sama dia. Gimana sama Cat?"

"Dia baru saja berkirim pesan, terpaksa membatalkan urusannya siang ini, sesuai perintah Anda, Tuan Muda."

Pria itu berbalik badan berjalan kembali ke arah pintu, dimana Luis masih mematung disana. Lidahnya ingin bertanya tapi masih enggan.

"Oke Ryu, suruh Cat sekalian jemput Anne."

Ryu yang mengekori langkah Tuan Mudanya itu, segera lakukan panggilan telepon, meski dengan mata tajam menatap ke Luis sembari berjalan ke luar toko bunga ini.

"Dimana? Tuan Muda tak bisa nunggu," ucap Ryu sembari menatap tanpa kedip ke Luis sebelum menghilang di balik pintu kaca.

"Andrew!" lantang Anne si pemilik toko bunga. "Loh, sudah keluar?" Arah pandang Anne kini terpaku ke Luis yang masih mematung di depan pintu.

"Mobil pria itu baru saja pergi," ucap Luis dan hendak membuka pintu kembali.

"Dino!" lantang Anne dengan suara gembira yang langsung membuat Luis kembali terdiam.

Luis menatap pria berambut hitam legam yang berdiri di hadapannya. Berpakaian rapi dengan kesan seksi, berotot tubuh sempurna yang tercetak jelas meski terbalut kain sekalipun.

Pria yang dipanggil sebagai Dino itu meninggikan alis bertanya pada Luis, sebelum dia berjalan begitu saja melewati Luis untuk menghampiri Anne, memeluknya layaknya seorang kekasih yang lama tak bertemu.

"Andrew ngajak kita makan siang bareng Gina, jangan sedih," ucap Dino sembari memeluk Anne.

"Lebih baik ucapan itu untukmu, Dino."

"Buatin aku hadiah untuk mereka."

"Mawar orange lagi?" tanya Anne dengan senyuman sebelum melepas pelukan, usai matanya menatap Luis yang masih mematung di depan pintu.

"Siapa?" tanya Dino bersuara dingin. Wajah datarnya tergambar seksi di mata Anne.

"Harus dikirim hari ini. Jadi, orderanmu nunggu antrian dulu."

"It's oke. Kulkasmu sudah ada isinya?" tanya Dino dengan melangkah ke ruang tengah usai melihat Luis tinggalkan toko bunga ini.

"Aku akan ambilkan minuman kesukaanmu." Anne berjalan kembali ke ruang belakang toko ini.

"Oya, apa Gina bakalan tahu arti mawar orange ku?"

Anne tertawa pelan. "Munculnya perasaan di antara persahabatan? Takut kalau ketahuan? Dia tak akan tahu kalau tak tanya padaku. Orang lain akan berasumsi berbeda dari makna yang kubuat khusus untukmu."

Bayang wajah Dino tersenyum terlihat jelas dari dinding kaca bagian luar toko bunga ini. Entahlah, apa yang membuat Luis penasaran dengan pria bernama Dino itu.


***