Bulan seolah meleleh di atas kota malam itu. Warna keemasan terlihat di sebagian langit. Nir masih memastikan bahwa serpihan batu-batu bintang tersusun rapi di wadah yang disediakan sang mama. Ia harus segera menyelesaikannya, agar malam ini, ia bisa tidur lebih cepat.
Serpihan batu-batu bintang yang disusunnya berasal dari bintang jatuh yang ada di lapangan khusus kota sebelah. Ada area luas yang diperuntukkan bagi bintang-bintang yang ingin menjatuhkan diri mereka. Pemerintah menyediakannya dan batuan bintang yang pecah serta berserakan itu bebas diambil oleh siapa saja. Batuan bintang yang jatuh bisa dijual, tapi harus disortir lebih dulu sebelum diserahkan kepada pengepul.
"Nir, kau masih di sana?" Suara Jimmy, anak tetangga sebelah rumah Nir terdengar. Ia lalu terlihat menggeser pagar dan kepalanya menyembul dari sana.
"Ssst. Ya, aku masih menyusun batu bintang. Pergilah. Aku akan cepat-cepat menyelesaikannya dan tidur."
"Sebelum tidur, kau harus baca buku. Besok ujian."
Nir mengangguk.
Setelahnya, Jimmy kembali menggeser pagar dan pergj. Nir hanya tersenyum melihat kepergian Jimmy. Seolah sudah menjadi rutinitas, Jimmy selalu mengecek Nir di malam hari. Ia memang selalu tahu bahwa Nir masih akan di teras rumahnya, menyusun batu bintang, tapi Jimmy akan tetap melakukan itu.
Sambil meletakkan batu-batu terakhir di wadah, Nir kembali ingat kata-kata Jimmy beberapa waktu lalu.
"Seharusnya, kakakmu yang menyusun batu-batuan bintang itu. Semua keluarga di kota ini, memberikan pekerjaan berat kepada anak tertua. Bukan anak tengah. Atau kalau tidak, mamamu yang melakukannya. Kau ini masih SMA. Seharusnya banyak belajar dan bantu sedikit. Jangan memaksakan diri."
Saat itu, Nir menggeleng dan membantah. Pekerjaan berat, tak harus dilakukan oleh anak tertua saja. Nir suka membantu keluarganya. Ia suka mengumpulkan dan menyusun batuan bintang. Ia suka bekerja. Meskipun kadang ia merasa lelah, tapi ia merasa lebih baik begitu. Nir merasa ia tidak bisa melihat kakaknya bekerja lebih keras lagi. Kakaknya, hampir setiap hari di depan komputer, mengetik banyak kata-kata dan bahkan karena pekerjaannya, mata sang kakak jadi minus.
Nir merasa, setelah papanya tiada, semua orang di rumahnya bekerja keras. Kecuali Tommy. Ia masih berusia empat tahun. Hobinya adalah menangis dan berteriak. Ah, mungkin saja Tommy juga menganggap menangis dan berteriak adalah pekerjaan yang berat. Ya, Nir merasa lebih baik dengan berpikir seperti itu.
Nir masuk diam-diam ke dalam rumah. Mamanya terlihat tertidur dan memeluk Tommy di kursi panjang, di depan televisi. Nir mengendap-endap, masuk ke kamar mamanya dan mengambil selimut. Ia lalu menyelimuti keduanya. Terlihat wajah lelah sang mama dan wajah lucu Tommy. Ah, Tommy … damai sekali melihatnya tertidur. Beda lagi kalau ia bangun dan bermain. Seisi rumah akan jadi kapal pecah.
Sebelum Nir benar-benar melangkah ke kamarnya sendiri, suara Mama yang pelan terdengar.
"Cuci piring dulu sebelum tidur," katanya.
Nir terdiam seketika. Memang ia selalu melakukannya, tapi ia pikir malam ini bisa jadi pengecualian.
Ia ingin berkata bahwa besok ia akan menghadapi ujian, berharap mamanya mengerti. Namun, mulutnya sulit berucap demikian.
"Juga besok, bangunlah lebih pagi, Nir. Siapkan sarapan. Besok Ibu akan pergi mengambil batu-batu bintang di kota sebelah," ucap sang mama lagi.
"Mama, biar aku saja yang ambil. Setelah pulang sekolah, aku akan ke kota sebelah naik bus dengan Jimmy."
"Jangan. Tidak perlu. Lakukan saja yang Mama suruh."
Mama memangku Tommy dengan hati-hati, meninggalkan Nir di ruang tamu. Beberapa saat, Nir merasa sedih. Tak ada ucapan selamat malam untuknya, tak ada susu hangat, tak ada semua hal menyenangkan sebelum tidur yang selalu diberikan Mama kepada Tommy. Tidak untuknya.
Nir memang sudah SMA. Sudah besar. Ia tak seharusnya mengharapkan hal-hal manis yang boleh didapatkan oleh anak-anak kecil.
Semua berubah. Entah sejak kapan tepatnya, Nir tidak ingat, tapi setelah ayahnya meninggal, perubahan itu semakin terasa saja. Mamanya jadi lebih dingin dan hanya mencurahkan kasih sayangnya kepada Tommy.
Sebelum ke dapur untuk mencuci piring, Nir melewati kamar kakaknya. Pintunya terbuka sedikit dan jelas terlihat sang kakak sedang menghadap komputer dan mengetik.
"Kak Lenka?" tanya Nir.
"Hmmm?" Kakaknya itu hanya menjawab tanpa menoleh.
"Mau kubuatkan mie instan?"
"Tidak perlu. Tidur sajalah."
"Aku akan cuci piring dulu."
"Tidak perlu."
Nir tak bisa menuruti sang kakak. Ia akan tetap mencuci piring.
"Jangan selalu menurut pada Mama. Mama tak suka padamu. Pada kita."
"Memangnya kenapa Mama tak suka kita? Kalau Mama tak suka kita, dia tidak akan mengurus kita."
"Dia tak mengurus kita. Sudah tidak lagi. Terimalah kenyataan, Nir. Kita bukan anak kandungnya."
"Tapi aku menyukai Mama. Semua yang Mama lakukan, semuanya untuk kita bertiga."
"Jangan menyukai seseorang terlalu dalam. Ketulusan tak selalu dibalas dengan ketulusan."
"Mama sayang kepada kita."
"Kau ingin percaya begitu?"
Nir mengangguk.
"Silakan saja. Tapi Mama memang tak menginginkan kita sejak awal. Seharusnya Papa tidak cepat-cepat mati. Kalau Papa masih hidup, mungkin Mama akan memperlakukan kita dengan lebih baik."
Nir sebenarnya setuju, tapi fakta itu terlalu menyedihkan untuk diterima mentah-mentah. Mama hanya lelah. Mama hanya ingin anak-anaknya tidak kekurangan. Makanya Mama bekerja keras, makanya Mama menyuruh Nir dan Kak Lenka bekerja keras. Nir percaya, ingin percaya, semua yang mamanya katakan, semua yang mamanya suruh, semua yang mamanya lakukan hanya demi ia, kakaknya, dan adik kecilnya, Tommy.
Nir buru-buru mencuci piring, membereskan yang harus dibereskan, lalu naik ke atas kasur. Ia hampir saja langsung tidur karena sudah terlalu mengantuk, tapi kata-kata Jimmy membuatnya memaksakan diri untuk membuka buku pelajaran. Walau hanya sebentar.
Besok ujian.